Pekanbaru, 8/11 (antarariau.com) - Ratusan orang memadati ruang sidang ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru, Riau, menggelar sidang perdana Gubernur Riau HM Rusli Zainal dalam agenda pembacaan dakwaan.
Sementara di luar ruangan itu, lebih 600 orang dari berbagai kalangan terlihat penuh sesak mengelilingi bangunan yang luasnya sekitar dua kali lapangan badminton tersebut.
Puluhan otsmh lainnya, juga tampak sibuk merekam suara Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang membacakan dakwaan untuk gubernur nonaktif itu melalui alat pembesar suara (speaker) yang terpasang tepat di samping pintu utama ruang sidang.
Di antara ribuan orang itu, terdeteksi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka datang secara sembunyi-sembunyi tanpa mengenakan pakaian dinas, hanya untuk menyaksikan sidang perdana sang gubernur.
Sementara sebagian kelompok wartawan, begitu "ngotot" merekan ritual peradilan yang sumpek. Sebagian lagi (komunitas yang sama) tampak duduk dan berusaha cepat melaporkan tiap peristiwa.
Dari depan gedung di sebalik pagar yang berdiri kokoh, puluhan massa dari kelompok mahasiswa berorasi menggunakan alat pembesar suara. Mereka menyuarakan tuntutan agar hakim menghukum berat terdakwa.
Sorakan antikorupsi kelompok massa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau itu mendapat aksi tandingan. Puluhaan pria bertato dan berpakaian loreng kuning hijau tidak kalah semangat meneriakkan dukungan untuk Rusli Zainal.
Aksi dua kelompok massa saling bertentangan ini mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian setempat. Peristiwa itu mengakibatkan ratusan kendaraan harus berjalan lamban di sekitar pengadilan.
'Kekacauan' itu tidak menghentikan jalannya sidang. Sang gubernur nonaktif tetap dihadapkan dengan tiga orang hakim dan enam orang Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK yang secara bergantian membacakan surat dakwaan setebal 82 lembar.
Mengenakan kemeja butih dan celana hitam serta berkaca mata, Rusli Zainal selama disidang tampak tegang.
Sejarah Tersangka
Rusli Zainal sejak 8 Februari 2013 diumumkan oleh KPK telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dua kasus dengan tiga perbuatan, yakni menerima hadiah atau janji, dan melakukan pemberian yang diduga bertentangan dengan hukum.
Penetapan tersangka itu dilakukan setelah KPK memeriksa dan menghadirkan Gubernur Riau sebagai saksi di persidangan untuk sejumlah terdakwa terdahulu, baik dalam kasus korupsi kehutanan maupun Pekan Olahraga Nasional (PON).
Setelah penetapan status tersangka, KPK kemudian mencabut izin keluar negeri sang gubernur dan kemudian pada 14 Juni 2013 menahannya di Rumah Tahanan (Rutan) Cabang Rutan KPK Kelas I Jakarta Timur hingga 03 Juli 2013 dan diperpajang tiga bulan lagi.
Pada 13 Agustus 2013, jaksa KPK kemudian melimpahkan berkas perkara sang gubernur ke Pengadilan Tipikor Pekanbaru hingga status penahanan berubah menjadi tahanan pengadilan hingga 11 Oktober 2013.
Hingga kemudian, penahanan dilakukan di Rutan Kelas II B Pekanbaru jelang sidang perdana yang baru dilaksanakan pada Rabu (6/11).
Perjalanan panjang proses penyidikan Rusli Zainal hanya berbuah pada pelimpahan berkas perkara tanpa ada pengungkapan status tersangka untuk pihak berkaitan lainnya yang masih menghirup udara bebas. Khususnya untuk kasus korupsi kehutanan di Kabupaten Pelalawan dan Siak.
Korupsi Kehutanan
Pada kasus korupsi kehutanan, Gubernur Riau Rusli Zainal didakwa telah merugikan negara Rp265,912 miliar karena turut serta melakukan serangkaian perbuatan yang masing-masing dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri dan melawan hukum. Khususnya dalam pengesahan Bagan Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (BKT UPHHKHT).
Hal tersebut dilakukan Rusli selaku Gubernur Riau pada periode 2003-2008 untuk sembilan perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHKHT) di Kabupaten Pelalawan dan Siak.
Sebelumnya, kasus serupa telah menyeret mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau Syuhada Tasman, Bupati Pelalawan Azmun Djaafar dan Bupati Siak Arwin AS ke penjara.
Delapan perusahaan di Pelalawan peenrima izin ilegal tersebut adalah PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Taninusa Sejati, PT Rimba Mutiara Permai, PT Selaras Abadi Utama, CV Bhakti Praja Mulia, PT Mitra Hutani Raya, PT Satria Perkasa Agung, dan CV Putri Lindung Bulan. Sedangkan, satu perusahaan di Kabupaten Siak untuk PT Seraya Sumber Lestari.
JPU menyebutkan bahwa tindakan Rusli tersebut bertentangan dengan peraturan kehutanan, di antaranya Keputusan Menhut No.10.1/Kpts-II/2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman dan Keputusan Menhut No.21/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Stadar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Usaha Kayu Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
Terdakwa disebut tidak mengindahkan laporan dari Syuhada Tasman bahwa ada perizinan yang tidak sesuai dengan peraturan sehingga tidak bersedia menyetujui dan mengesahkan permohonan UBKT UPHHKHT tersebut.
"Atas laporan Syuhada Tasman itu, terdakwa menyampaikan karena BKT IUPHHHKHT merupakan hal yang rutin guna percepatan hutan tanaman untuk pemenuhan bahan baku, maka terdakwa meminta untuk disiapkan keputusan tentang pengesahan yang akan ditandatangani oleh terdakwa, dan meminta pembuatan nota dinas ditujukan kepada terdakwa yang isinya tentang permintaan pengesahaan usulan agar seolah-olah pengesahannya sesuai ketentuan yang berlaku," kata JPU KPK, Riyono.
Atas dasar pengesahan BK UPHHKHT oleh terdakwa, perusahaan melakukan penebangan kayu hutan alam yang memperkaya korporasi dan mengakibatkan kerugian keuangan negara keseluruhannya mencapai sekitar Rp265,912 miliar.
Tak Seimbang
Perjalanan panjang kasus korupsi kehutanan Riau meski telah menyeret sejumlah pejabat pemerintah daerah, namun dipandang sebagian kalangan masih belum seimbang.
Pasalnya, sejumlah perusahaan yang diindikasi terlibat termasuk PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan PT Indah Kiat (Sinarmas Group) sejauh ini masih belum tersentuh oleh hukum. Padahal, korporasi pun bisa dijerat dengan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan KPK harus segera menetapkan status tersangka dari pihak penerima izin ilegal Gubernur Riau karena diindikasi juga merupakan pihak pemberi suap meski tidak secara langsung.
Menurut dia, penegakan hukum untuk kasus tersebut baru seimbang jika KPK berhasil menyeret pihak perusahaan yang selama ini masih beroperasi dengan tanpa rasa bersalah.
Aktivis dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau sebelumnya sempat mendesak agar KPK segera menetapkan status tersangka dari perusahaan pemanfaat kayu hasil hutan dan pengelolaan lahan hutan penerima izin ilegal sang gubernur itu.
Para aktivis ini bahkan mengaku telah menemukan indikasi adanya pencucian uang atas kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper.
"Hal itu bahkan sempat diakui oleh Lim Win Lin selaku Direktur Keuangan PT RAPP saat memberikan kesaksian di persidangan terdakwa sebelumnya," kata Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Muslim Rasyid kepada wartawan di Pekanbaru beberapa waktu lalu.
Dalam suatu kesempatan di acara Diskusi/Clearing House Integritas dan Akuntabilitas Pengelolaan Hutan di Pekanbaru, Selasa (29/10/2013), Muslim juga menjelaskan, bahwa dalam kesaksian di persidangan Lim Win Lin mengaku masih terus menerima pasokan kayu dari sejumlah perusahaan penerima Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT).
Dia bahkan mengatakan bahwa dana atau harga kayu hasil hutan secara ilegal itu dibeli dari sejumlah perusahaan penyuplai dengan harga yang bervariasi.
"Itu bukan kata Jikalahari, melainkan fakta persidangan. Dan ini sudah suatu bentuk pencucian uang yang seharusnya bisa menjadi landasan KPK untuk menjerat pihak perusahaan," katanya.
Desakan juga muncul dari aktivis di Koalisi Anti Mafia Hutan yang disuarakan oleh Tama S Langkun. Ia berharap KPK agar menggunakan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus korupsi penerbitan izin kawasan hutan di Provinsi Riau.
Tama mengatakan dalam kasus yang juga menjerat Gubernur Riau Rusli Zainal dan telah mempidanakan sejumlah kadis kehutanan hingga bupati di Riau, KPK masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dituntaskan.
Selain itu, KPK juga belum menyentuh pihak perusahaan yang menikmati hasil dari gratifikasi dalam kasus itu.
Jalan panjang proses hukum kejahatan kehutanan di Provinsi Riau agaknya masih akan menempuh jalan panjang dan berliku.