Pekanbaru, (antarariau.com) - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengisyaratkan untuk perlunya pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap perempuan nelayan karena mereka telah berkontribusi lebih dari 48 persen untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarga.
"Hal ini ditandai dengan selain berperan penting dalam proses pengolahan dan pemasaran, perempuan nelayan berperan sebagai penyedia dan pelestari pangan, serta pengusaha dalam kegiatan pengolahan ikan," kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, dalam surat elektroniknya diterima Antara Pekanbaru, Jumat.
Ia mengatakan itu terkait, masyarakat dunia memperingati Hari Perempuan sedunia tiap 8 Maret sejak awal abad XIX dilatari oleh perjuangan hak berpolitik kaum perempuan.
Menurut dia, berbagai prestasi yang ditoreh perempuan nelayan seperti Jumiati, perempuan nelayan asal Serdang Bedagai, Sumatera Utara yang menggerakkan perempuan nelayan di sekitarnya untuk merehabilitasi hutan mangrove seluas 5 hektar.
Selain itu mengelola usaha ekonomi seperti memproduksi kerupuk jeruju, dan mengolah hasil tangkapan ikan nelayan.
"Kegiatan ini mampu menggerakkan ekonomi perempuan dan menambah pendapatan keluarga," katanya.
Disamping itu, Habibah di Desa Marunda Kepu, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, yang menggerakkan perempuan untuk mengupas kerang guna menambah pendapatan ekonomi keluarga di tengah maraknya praktek pengkaplingan wilayah pesisir lewat reklamasi pantai dan rencana tanggul laut raksasa.
Keduanya juga membuka usaha ekonomi produktif seperti koperasi simpan-pinjam bagi anggotanya.
"Ironisnya, pengakuan dan perlindungan dari negara masih belum optimal menyangkut peran perempuan. Bahkan perempuan nelayan justru rentan dikriminalisasi lewat Pasal 89 jo Pasal 141 UU Pangan," katanya.
Dalam pasal 89 jo pasal 141 Undang-Undang Pangan menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memperdagangkan pangan yang tidak sesuai dengan keamanan pangan dan mutu pangan yang tercantum dalam lebel kemasan pangan bisa diancam pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp4 miliar.
Bahkan, dalam UU Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan maupun UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, misalnya, terkesan negara belum maksimal memberikan penghargaan terhadap peran besar perempuan dalam penyediaan dan pelestarian pangan perikanan.
Karena itu, harapnya, momentum Hari Perempuan sedunia 2013 harus dipergunakan oleh negara untuk menghubungkan kebijakan nasional dan daerah agar dapat memenuhi dan melindungi hak-hak dasar perempuan, khususnya perempuan di sektor perikanan.
Disamping itu, melibatkan kaum perempuan dalam perumusan kebijakan, baik di tingkat lokal maupun nasional dan meningkatkan kapasitas perempuan dalam aktivitas perikanan tradisional.
Sebab, dalam perikanan tradisional perempuan memegang peran penting dalam pemenuhan hak atas pangan perikanan. Perempuan tidak hanya berperan membantu laki-laki dalam kebutuhan dasarnya, tetapi memberikan kontribusi besar dalam mata rantai pangan perikanan tradisional.
Hiungga dalam setiap tahapan usaha perikanan, baik tangkap maupun budidaya, yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran kaum perempuan berperan.
Berdasarkan data FAO tahun 2008 menunjukkan data dari 86 negara bahwa 5,4 juta perempuan bekerja sebagai nelayan dan pembudidaya. Jumlah ini setara dengan 12 persen dari jumlah pekerja di sektor perikanan dunia.
Di Cina dan India, sebanyak 21 dan 24 persen perempuan bekerja sebagai nelayan dan pembudidaya. Sementara di dalam kegiatan perikanan budidaya, sebanyak 42 persen perempuan Indonesia terlibat aktif dari hulu ke hilir. Di Cina dan Vietnam, masing-masing sebesar 33 dan 80 persen (Kusabe dan Kelker, 2011).