Pemanfaatan Sumber Daya Lokal Menuju Swasembada Sapi

id pemanfaatan sumber, daya lokal, menuju swasembada sapi

Pemanfaatan Sumber Daya Lokal Menuju Swasembada Sapi

Pekanbaru (antarariau) - Pemerintah Provinsi Riau mengakui selama ini wilayah itu mengalami ketergantungan kebutuhan sapi dari luar daerah bahkan hingga mencapai 70 persen.

"Sekitar 70 persen kebutuhan sapi di Riau dipasok dari luar daerah, terutama Lampung yang memang menjadi pemasok tetap," kata Kepala Dinas Peternakan (Disnak) Riau, Patrianov, di Pekanbaru, beberapa waktu lalu.

Bahkan selain Lampung, lanjut dia, kebutuhan sapi di Riau juga dipasok dari beberapa wilayah lainnya seperti Sumatera Barat.

Ketergantungan terhadap sapi luar daerah itu, diakui Patrianov disebabkan produksi sapi di Riau yang masih sangat minim. Riau juga bukan daerah penghasil sapi namun upaya untuk swasembada masih terus dilakukan meski dalam tempo waktu yang tidak singkat.

Dia juga menjelaskan, tingginya tingkat ketergantungan Riau terhadap sapi luar daerah juga disebabkan semakin tingginya tingkat konsumsi daging di wilayah itu.

"Mulai dari awal hingga pertengahan November 2012 ini saja, laporan yang masuk ke saya, yakni sudah sebanyak 537 ekor sapi yang dipotong kemudian dipasarkan," katanya.

Itu artinya, demikian Patrianov, kebutuhan daging sapi di Riau mengalami peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya.

Disisi lain, Patrianov menguraikan, pengadaan sapi pada tahun 2012 ini diprediksi meningkat sangat signifikan dibandingkan tahun 2011, bahkan tumbuh mencapai 400 persen.

Jika tahun sebelumnya masih berkisar 400 ekor, tahun ini pengadaanya mencapai 2.300 ekor. Sumber dananya berasal dari APBD Provinsi Riau, APBD kabupaten dan kota, belum termasuk APBN.

Ia menjelaskan, pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota sangat mendukung program peningkatan populasi sapi di Riau.

Mengenai berapa besar nilai anggaran yang dialokasikan untuk mendapatkan 2.300 ekor sapi tersebut, Patrianov mengaku tidak begitu memahaminya.

Hal itu karena anggaran yang dialokasikan dilakukan secara bergulir. Yang jelas, kalau dibanding tahun sebelumnya, untuk pengadaan ternak saja, perbandingannya sangat jauh, bahkan mencapai lebih dari empat kali lipat, katanya.

Program Swasembada

Untuk terlepas dari ketergantungan sapi luar daerah, pihak Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Peternakan terus perupaya mencari trobosan dengan berbagai program unggulan.

Salah satunya, menurut Patrianov, program pemanfaatan sumberdaya lokal untuk pengembangan peternakan di Riau.

Latar belakang program ini merupakan makro dimensi di mana berupaya untuk mengintegrasikan lahan perkebunan dengan peternakan atau pembibitan sapi.

Untuk diketahui, demikian Patrianov, posisi Sumatera dalam konteks Koridor Ekonomi Indonesia (KEI) dengan "core competence" perkebunan dan energi, sangat sinergi dengan pendekatan sektoral dan pendekatan spesial akan mempercepat capaian kinerja pembangunan daerah.

Integrasi taman dengan peternakan juga diyakini mampu menghindarkan konflik spasial, serta integrasi tanaman dan peternakan akan mampu membangun keseimbangan atau pertumbuhan dan pemerataan yang menciptakan diversifikasi pendapatan masyarakat.

Untuk diketahui, kata Patrianov, Rencana Induk Koridor Ekonomi Indonesia adalah mengembangkan potensi unik masing-masing koridor.

Untuk di Kalimantan, pengembangan mengarah pada pusat produksi dan pengolahan hasil tambang serta lumbung energi nasional.

Begitu juga dengan Sulawesi, yakni sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional'.

Kemudian Pulau Jawa sebagai daerah pendorong industri dan jasa nasional serta Bali sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional.

Lalu untuk Maluku, sebagai daerah pengolahan sumberdaya alam yang melimpah dan Sumberdaya Manusia (SDM) yang sejahtera.

"Maka tentunya banyak pihak yang bertanya tentang Sumatera. Daerah ini merupakan daerah dengan keunikan yang berbeda. Layaknya, kekayaan alam yang ada di jadikan sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional," katanya.

Koridor Ekonomi Sumatera menurut Patrianov terdiri dari tujuh hubungan interkoneksi antara daerah satu dengan yang lainnya.

Mulai dari Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Lampung, serta menghubungkan ke wilayah luar Sumatera khususnya Jawa yakni Serang dan Jakarta.

Koridor diestimasikan dapat meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 3,4 kali dari 139 miliar dollar US di 2010 hingga menembus angka 473 miliar dollar US di tahun 2030 dengan laju pertumbuhan koridor sebesar 6,3 persen dibandingkan estimasi baseline sebesar 4,5 persen.

Fokus Sektor

Fokus sektor Sumatera akan mengarah pada minyak kelapa sawit dan produk minyak mentah kelapa sawit atau CPO.

Kemudian yakni industri hulu melalui peningkatan panen dan konversi mature plantation. Serta yakni pada perkebunan karet, dengan upaya meningkatkan hasil panen dan memperluas industri hilir.

Satu lagi yang tidak kalah, yakni untuk sentra produksi batu bara yang juga diupayakan untuk mampu meningkatkan produksi pertambangan melalui percepatan infrastruktur rel kereta api.

"Keseluruhannya juga harus didukung dengan upaya distribusi melalui jalur penghematan anggaran. Salah satunya yakni pelabuhan," kata Patrianov.

Untuk itu pula, demikian Patrianov, pihaknya juga akan mengintegrasikan jalur metro yang menghubungkan wilayah Medan, Sumatra Utara dengan Kota Dumai, Provinsi Riau dan Palembang.

Untuk trans Sumatera yang difokuskan pada rel kereta atau jalur darat, termasuk rel

kereta untuk CPO akan difokuskan di Riau.

Selanjutnya, kata dia, juga akan dikembangkan pembangkit listrik di Sumatera untuk

menumbuhkan industri hilir, serta "mine mouth dan processing plant" untuk batubara di Sumatera.

Upaya integrasi pada sektor ekonomi kenegaraan ini tengah digesah dan diharapkan tercapai pada tahun yang telah ditentukan.

Khusus Riau

Sementara khusus Riau yang berada di wilayah strategis atau tepat di kawasan tengah pulau, fokus sektor akan mengarah pada minyak kelapa sawit dan produk minyak mentah kelapa sawit atau CPO yang memang berlimpah.

Namun pada program pokok ini, Pemerintah Provinsi Riau mencoba menyelipkan program unggulan lainnya yang tujuannya adalah melepaskan ketergantungan sapi seperti yang selama ini didera provinsi "kaya minyak" ini.

Patrianov menguraikan, pihaknya akan mencoba mengintegrasikan lahan perkebunan yang luas di Riau dengan pengembangan peternakan khusus sapi.

Untuk dimengerti, bahwa kawasan adalah suatu besaran atau satuan wilayah yang tidak dibatasi dengan wilayah administratif pemerintahan, mememiliki kondisi dan tujuan tertentu sesuai dengan alokasi tata ruang wilayah.

Sementara pengertian dari kawasan peternakan adalah kawasan yang secara khusus diperuntukkan untuk kegiatan peternakan dan atau terpadu sebagai komponen usaha tani (berbasis tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau perikanan) dan terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung, suaka alam).

Kemudian cluster adalah suatu besaran terkecil dari pengembangan komoditas sejenis dalam suatu kawasan yang memiliki tujuan tertentu sesuai alokasi tata ruang wilayah.

"Nah, untuk pengembangan peternakan sapi di Riau, akan terintegrasi dengan kawasan perkebunan yang ada. Dimana hasil dari lahan perkebunan akan menjadi sumber pakan yang tak terbatas," katanya.

Nantinya, demikian Patrianov, untuk komponen pengembangan sumberdayanya, akan dikembangkan melalui para peternak, baik perorangan, kelompok ataupun badan usaha.

Potensi Agroekosistem

Kemudian untuk pengembangan ternak sapi ini, kata dia, juga memiliki potensi agroekosistem yang andal.

"Potensi agroekosistem pengembangan ternak sapi potong, mampu mendukung 1,7 juta ekor. Neraca defisit transaksi perdagangan daging sapi potong, merupakan potensi pasar yang luas," katanya.

Untuk daya dukung lahan, kata dia, bisa menghidupi sedikitnya 1,7 juta ekor sapi dari total daya dukung 2,1 juta setara ruminansia yakni dengan luas kebun sawit mencapai lebih 2,3 juta hektare.

Dengan demikian, lanjut dia, populasi ternak sapi di Riau jikalau program ini terlaksana, yakni mencapai 161,2 ribu ekor dengan sentralisasi mencapai 9,19 persen.

"Untuk peluang pengembangan bisa mencapai 1.545.719 ekor sapi yang ecara potensial sangat mungkin tercapai," katanya.

Untuk daya dukung potensi lahan di Riau menurut dia sangatlah luas dan sangat mungkin bisa diintegrasikan dengan peternakan.

Seperti Kota Dumai, menurut Patrianov, memiliki daya dukung untuk pengembangan sebanyak 20.075 ekor sapi, dengan existing 3.325 ekor dan peluang mencapai 16.750 ekor.

Selanjutnya Kabupaten Rokan Hilir dengan daya dukung lahan berpotensi mengembangkan sebanyak 74.124 ekor sapi, existing18.994 ekor dan peluang minimum mencapau 55.130 ekor.

Kemudian Kabupaten Bengkalis yakni berdaya dukung mencapai 86.677 ekor sapi, Rokan Hulu (278.386 ekor), Siak (263.272 ekor), Pelalawan (135.656 ekor), Kampar (225.363 ekor) Indragiri Hilir (74.248 ekor) dan Kuantan Singingi (261.937 ekor), Indragiri Hulu (291.613 ekor) serta Pekanbaru dengan daya tampung maksimum mencapai 15.911 ekor sapi. ***2*** (T.KR-FZR)