Harga mati etika untuk jurnalis

id harga mati, etika untuk jurnalis

Harga mati etika untuk jurnalis

Pekanbaru (antarariau.com) - Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo, Priyambodo R.H, menyatakan begitu pentingnya penerapan etika dan kode etik bagi wartawan saat ini. Baginya, etika dan kode etik adalah "harga mati" yang harus dijalankan oleh awak media untuk luput dari jeratan hukum.

Pernyataan Priyambodo sekaligus menjawab ungkapan spontan seorang wartawan dalam acara lokakarya wartawan bertema "Meliput Perubahan Iklim", Rabu (26/9), yang mengatakan, "persetan dengan etika dan kode etik."

Satu hal yang harus diketahui, bahwa setiap manusia harus memiliki pedoman bagi hidup dan kehidupannya. Termasuk insan pers, menurut pria yang juga pewarta senior Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara itu, pedomanan penulisan dan kerja wartawan adalah etika dan kode etik.

Menurutnya pula, wartawan yang bekerja membuat berita dan menyajikannya ke tengah publik tanpa mempedulikan etika dan kode etik penulisan, maka rentan terhadap berbagai hal yang dipandang sangat merugikan.

Merugikan...!, mengapa ?

Priyambodo menjawab; salah satu contoh kasus adalah ketika seseorang wartawan menuliskan sebuah permasalahan yang melibatkan seseorang lainnya, atau bahkan merugikan kelompok baik perusahaan atau suatu lembaga.

Maka, demikian Priyambodo, sebaiknya seorang wartawan tersebut melakukan upaya-upaya konkrit semisal mencari tahu kebenaran atas informasi tersebut lewat investigasi atau bahkan meminta pendapat ahli.

Tidak ketinggalan, lanjut pernyataannya, wartawan tersebut kemudian mengkonfirmasikan permasalahan tersebut terhadap sejumlah pihak yang ada di dalamnya.

Ini yang disebut sebagai keberimbangan suatu berita atau tulisan versi media (wartawan), Priyambodo membenarkan.

Lantas timbul pertanyaan dari seorang wartawan yang ikut dalam kepesertaan lokakarya tersebut ; apa keuntungannya kenapa berita tersebut harus berimbang ?

Priyambodo menjelaskan, bahwa suatu berita atau tulisan tentang persoalan yang berimbang, maka akan tersaji sebuah informasi yang tidak menyudutkan. Hal tersebut juga tidak seakan-akan menggiring publik untuk mengarah kesuatu opini tertentu, terlebih mendatangnya opini dari seorang wartawan tersebut.

Ia juga menguraikan bahwa banyak kasus-kasus wartawan yang pada akhirnya merugikan diri sang penulis itu sendiri. Tanpa mengetahui atau memahami etika dan kode etik, menulis secara "semberono", dan pada ujungnya berurusan dengan pihak berwajib.

"Hal demikian sangat sering terjadi," katanya.

Pentingnya Etika

Seorang pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), Petrus Suryadi, dikesempatan yang sama pada acara lokakarya wartawan "Meliput Perubahan Iklim" juga menyatakan ; "etika dan kode etik tidak bisa dipisahkan dari wartawan".

Etika jurnalistik baginya merupakan masalah penting dalam situasi Indonesia saat ini, di mana kebebasan pers begitu besar dan terus saja berkembang pesat.

Seperti ungkapan Winarto selaku senior news producer RCTI dalam tulisannya, bahwa etika sangat dibutuhkan dengan kondisi kebebasan yang dimiliki pers di Indonesia yang terus saja berkembang.

Bisa meliput dan memberitakan apapun yang dianggap mempunyai nilai berita tanpa khawatir ada pembreidelan sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru, menurutnya jika tanpa etika, maka hal itu bisa saja terjadi.

Kondisi seperti itu di satu sisi menurutnya sangat baik bagi pengembangan iklim demokrasi di tanah air. Namun disisi lain, ia berpandangan kalau tidak berhati-hati, maka pers dengan kebebasannya bisa terjebak menjadi sekadar institusi bisnis yang misi utamanya tak lain dari semata-mata mencari keuntungan, mengingat pers media dewasa ini telah menjadi industri.

Maka, oleh karena itu lah seorang pengajar LPDS, Petrus Suryadi, menyarankan agar wartawan jangan sekali-sekali melupakan atau bahkan memandang "sebelah mata" persoalan pentingnya etika dan kode etik.

Contoh kasus

Salah satu contoh kasus pelanggaran kode etik dan etika jurnalistik menurut para pakar LPDS sebenarnya jika dicermati sangat banyak terjadi di Tanah Air.

Tidak jauh-jauh, di suatu acara lokakarya wartawan "Meliput Perubahan Iklim" di Pekanbaru, para pemerhati jurnalisme ini juga menemukan contoh kasus yang dituliskan oleh seorang pewarta peserta acara tersebut.

Kasus tersebut yakni sebuah berita yang mengambil tema tentang peranan perusahaan (dengan menyebut namanya dengan jelas di bagian judul) atas pengrusakan lingkungan yang pada akhirnya merugikan bagi alam sementa.

Para pakar ini mengkritik bahwa tulisan tersebut telah melanggar pasal-pasal terkait kode etik dan rentan tuntutan hukum.

Selain tidak mencantumkan data yang akurat, demikian Warief Djajanto Basorie, tulisan tersebut juga tidak menuliskan adanya konfirmasi terhadap perusahaan yang tentunya sangat dirugikan.

Hal itu menurut pria yang juga pengajar di LPDS ini, telah memenuhi unsur lengkap atas pelanggaran kode etik dan etika jurnalistik.

Kode etik jurnalistik menurut para ahli merupakan faktor penting yang akan membantu pembentukan sikap profesional jurnalis.

Namun etika dan kode etik jurnalistik saja menurut sebagian kalangan pakar sebenarnya belum cukup. Pada beberapa lembaga media, juga "memainkan" satu sistem perangkat lain yang digunakan untuk membantu meneguhkan sikap profesionalisme jurnalis, yaitu kode perilaku.

Kode perilaku biasanya dibuat di masing-masing lembaga media yang mengatur perilaku para jurnalis karyawan lembaga media bersangkutan. semisalnya menyangkut hubungan jurnalis dengan narasumber, masalah amplop (honor tambahan dari narasumber), plagiarisme serta sebagainya.

Karena dibuat oleh lembaga media yang bersangkutan, maka sangat dimungkinkan kode perilaku bisa lebih efektif menuntun tindakan para jurnalis karena disertai sanksi yang jelas.

Nemun tetap "benar tidaknya suatu tindakan yang dilakukan seorang wartawan, ditinjau dari segi etika tidak hanya menyangkut hal-hal teknis, seperti keterampilan bahasa atau kecermatan menulis, etika juga berkaitan dengan prilaku etis pada kemampuan dan kepekaan wartawan," demikian William Rivers. ***1***

(T.KR-FZR)