Pekanbaru, (AntaraRiau-News) - Ujian nasional 2011/2012 mulai dilaksanakan serentak secara nasional pada Senin, 16 April 2012.
Peserta adalah kalangan pelajar yang bersama duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat seluruhnya ambil bagian, "bertarung" meraih kelulusan setelah tiga tahun "bergelut" dengan ilmu.
Penantian UN sejauh ini memang masih dianggap sebagai "momok" yang membuat "bulu kuduk" tiap pelajar merinding, mengingat tumbuh kembangnya rasa takut itu dari tahun ketahun.
Dahulu sekira sebelum 2010 banyak kalangan berpandangan jika ujian nasional (UN) memang merupakan penentu kelulusan siswa.
Jadi, perjuangan selama tiga tahun di bangku sekolah, habisnya uang jutaan rupiah untuk buku ini-itu dan lain sebagainya dianggap sebagai perjuangan yang sia-sia.
UN juga bukan merupakan "perahu" menuju "seberang" pendidikan yang lebih tinggi.
Kondisi ini kemudian menimbulkan pro-kontra di kalangan elite eksekutif dan legislatif.
Pro dan kontra tentang UN puncaknya "terparkir" di "meja" DPR. Para wakil rakyat mengeluarkan pernyataan tidak akan menganggarkan UN tahun 2010 jika pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tetap bersikukuh UN sebagai penentu kelulusan siswa.
Para petinggi di DPR RI kemudian menyatukan suara untuk minta Kemendikbud mengajukan formula baru tentang UN, salah satunya materi yang menegaskan bahwa UN bukan lah penentu kelulusan bagi siswa.
Sebenarnya sudah sejak lama penyelenggaraan UN sebagai penentu kelulusan menuai banyak kritik dari para ahli pendidikan, guru, orangtua, dan para siswa sendiri.
Dasar munculnya kritik ini bukan berangkat dari ruang kosong. Banyak fakta "telanjang" yang menjadi dasar kuatnya desakan agar UN segera dihapus.
Alasannya cukup banyak, salah satunya menurut petinggi legislatif, UN dianggap telah "mengangkangi" Undang-undang (UU) tentang Pendidikan Nasional yang memberi otonomi kepada lembaga pendidikan untuk berkreasi.
Selain itu, evaluasi yang didesain secara sentralistik sebenarnya secara berlahan juga telah "menikam" semangat UU Pendidikan Nasional itu sendiri, hingga banyak siswa merasa tercekam dalam belenggu ketidak pastian.
Kemudian banyak pandangan pakar pendidikan juga menilai bahwa UN telah terjebak ke dalam perangkap evaluasi instant.
Proses pendidikan yang dengan "tumpah darah" serta "banjir keringat" dijalankan para siswa selama tiga tahun, dipersingkat penilaiannya hanya menjadi lima hari saja.
Selain sejumlah alasan diatas, para ahli pendidikan juga menganggap evaluasi yang sentralistik dan seragam telah mencederai keragaman dan keunikan masing-masing lembaga pendidikan.
Bahkan sekolah dianggap tak ubahnya seperti lembaga kursus yang hanya menjanjikan keberhasilan bila anda memiliki kemampuan dini tanpa harus melalui proses yang panjang.
Bukan penentu
Namun di tahun yang sama (2010), kecaman tentang UN dari berbagai pihak kemudian membuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Mohammad Nuh angkat bicara.
Ia kerap berulang menegaskan, bahwa UN bukan lagi satu-satunya penentu kelulusan bagi siswa, baik Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun SMA/sederakat.
Menurutnya kelulusan seorang siswa sekarang (sejak tahun 2010 hingga saat ini-red) tidak lagi UN melainkan ditentukan oleh empat kriteria yang harus dipenuhi secara keseluruhan.
Syarat-syarat kelulusan yang dimaksud Mendikbud yakni siswa harus menyelesaikan seluruh program pendidikan di sekolah.
Kemudian harus memenuhi kriteria persyaratan akhlak seperti budi pekerti yang baik dan memiliki tata krama yang baik pula.
Artinya, kalau ada siswa yang lulus UN tapi memiliki tabiat buruk yang di luar batas kewajaran, maka akan menjadi pertimbangan tersendiri pula.
Kesimpulannya, meskipun dalam UN siswa dapat nilai lebih tinggi dari yang disyaratkan, namun tidak memiliki akhlak yang baik maka dia bisa tetap tidak lulus.
Begitu juga kalau dalam UN, siswa lulus tapi ternyata dalam ujian sekolahnya tidak lulus, maka siswa itu tetap dinyatakan tidak lulus.
Artinya semua kriteria itu harus dipenuhi demi mencapai kelulusan yang sejati.
Di tahun 2012 ini,Mohammad Nuh kembali menegaskan hal-hal yang sama tentang UN.
Nuh ingin memberikan doktrin positif, yakni merubah pemikiran banyak kalangan tentang UN yang selama ini dipandang begitu mengerikan, menjadi sebuah jenjang upaya untuk meraih keberhasilan yang positif.
Paspor PT
Nuh mengatakan, ada beberapa perbedaan dalam pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2012 ini dibandingkan tahun sebelumnya, yakni dari sisi kebijakan, UN akan diberlakukan sebagai paspor untuk masuk perguruan tinggi.
"Mulai tahun 2013, sebanyak 60 persen mahasiswa baru diseleksi melalui nilai rapor dan UN, saat ini baru mencapai 25 persen saja, " kata Mohammad Nuh dalam jumpa pers menjelang pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA/SMK dan Madrasah Aliyah (MA) di Jakarta.
Sedangkan mengenai substansi UN 2012, yakni Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) selaku lembaga penyelenggara UN menyiapkan lima jenis soal berbeda dengan tingkat kesulitan yang sama.
"Jika dulu soal nomor satu di tipe A bisa jadi soal nomor 10 di tipe B, sekarang tidak lagi. Soalnya benar-benar berbeda dengan tingkat kesulitan yang sama, sehingga diharapkan bisa meminimalisasi terjadinya upaya kecurangan," katanya.
Terkait masalah teknis dalam pelaksanaan UN 2012, terletak pada jumlah percetakan untuk mencetak soal-soal UN.
Percetakan soal UN tidak lagi di tiap provinsi melainkan ada di empat titik dengan kualifikasi security printing.
Empat titik lokasi pencetakan soal UN, yakni di Jakarta, Surabaya, semarang dan Riau.
"Dengan semakin rampingnya jumlah perusahaan dan lokasi pencetak soal UN, maka akan memudahkan bagi kami untuk mengawasi bila sampai terjadi kebocoran soal. Kami akan segera mengetahui, misalya kebocoran di propinsi A, maka bisa segera ditelurusi dari wilayah distribusi yang mana," katanya.
Pelaksanaan Ujian Nasional, ujar Mendikbud harus tetap harus dilaksanakan sebagai sebuah proses evaluasi siswa, sebab UN dilakukan bukan tanpa dasar, yakni bertujuan memotret kompetensi sang anak secara komprehensif.
"UN adalah bagian dari evaluasi kompetensi siswa. Namun, UN hanya merupakan evaluasi kognitif, bukan afektif dan psikomotorik," katanya.
Pakar pendidikan di Riau yang juga menjabat sebagai Rektor di Universitas Islam Riau (UIR) Prof. Dr. Haji Detri Karya beranggapan, bahwa memang tidak sepantasnya lagi UN saat ini dipandang sebagai hal yang menakutkan.
Menurutnya, UN merupakan langkah upaya pemerintah dalam mencari "bibit unggul" bagi negara ini sehingga tidak ada salahnya, UN tetap dilaksanakan, namun dengan upaya-upaya yang cerdas.
"Jika dipandang secara positif, maka UN sebenarnya merupakan sebuah penentu kelulusan yang baik hati. Karena tidak sedikit, siswa yang menemukan kesulitan selama tiga tahun berjuang dibangku sekolah, justru menemukan kemudahan saat UN hingga menuai kelulusan," katanya.
Tolok ukur mengapa UN menjadi sebuah penentu kelulusan yang baik hati menurut dia adalah masih adanya kesempatan kedua bagi siswa yang ternyata memang tidak mampu menghadapinya di UN utama.
Satu hal juga harus dipahami adalah, UN diselenggarakan dengan tujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hasil UN nantinya juga digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program atau satuan pendidikan, penentuan kelulusan peserta didik, dasar seleksi untuk jenjang pendidikan berikut, dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Adapun kriteria lulus dalam satuan pendidikan, adalah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir dari seluruh mata pelajaran, dan lulus UN.
Jadi, sebaiknya adik-adik yang berada di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat jangan lagi pernah takut menghadapi UN.
Kecerdasan mu menjadi penentu masa depan bangsa. Jadi jangan acuhkan janji-janji manis yang ditawarkan kalau hanya akan menjerumuskan mu dalam pencapaian instant yang nantinya justru merugikan ahlak negeri ini.
Semoga juga, persoalan kecurangan-kecurangan dan kebocoran soal UN, yang sering terjadi pada masa tahun-tahun sebelumnya bisa diminimalisir atau dihilangkan sama sekali, sehingga kita bisa mengetahui seberapa besar kemampuan dan mutu pendidikan di Indonesia meski hanya melalui pemberian nilai semata.