KPK Tanpa Suplemen Berantas 'Benalu-Sosial'

id kpk tanpa, suplemen berantas benalu-sosial

KPK Tanpa Suplemen Berantas 'Benalu-Sosial'

Dalam sebuah ruang Catur Prasetya Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Riau di Pekanbaru, tampak segerombolan manusia tengah serius membincangan sebuah persoalan yang menjadi musuh bangsa ini. Salah seorang diantaranya, seperti menjadi moderator, menjelaskan sesuatu yang rahasia.

Apalagi kalau bukan korupsi dan gratifikasi atau suap. Dua persoalan ini setidaknya yang terus mewarnai berbagai halaman media cetak dan menguasai ruang lingkup pertelevisian Tanah Air selama kurun waktu yang tidak singkat. Bahkan hingga berbagai jaringan sosial tak pernah luput membahas persoalan yang tak kunjung tuntas ini.

Mereka, yang berada dalam ruang tak ber-AC berukuran kurang dari lapangan badminton itu adalah segerombolan manusia "super", bekerja tanpa henti demi membrantas "benalu sosial" yang telah lama "menggerogot" bangsa ini. Siapa lagi kalau bukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tidak hanya lembaganya yang "super body", para pekerjanya pun tergambar bagaikan manusia "super tangguh". Bayangkan saja, tanpa suplemen atau vitamin guna memperkuat daya tahan tubuh, mereka bekerja siang malam. Katanya, demi tugas kenegaraan.

"Semua ini kami jalankan dengan ikhlas, walau terkadang menemukan berbagai kendala. Baik itu di kelembagaan, maupun person," ungkap seorang penyidik KPK yang dihampiri ketika keluar dari ruang tempat dirinya melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi atas kasus dugaan gratifikasi bersama belasan anggota "lembaga super body" lainnya, Kamis malam (12/4).

Pria berkaca mata mengaku sebagai ketua tim penyidik untuk kasus dugaan gratifikasi revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Pembangunan Arena (venue) Menembak Pekan Olahraga Nasional (PON) ke XVIII/2012 Provinsi Riau ini terlihat tetap gagah, meski telah seharian berada di ruang kerjanya yang tak permanen itu.

"Tidak ada hal lainnya yang membuat kami tetap semangat bekerja, selain dorongan dan dukungan dari masyarakat serta teman-teman media," katanya.

Pria yang memegang teguh tata tertib dan kode etik lembaganya ini menjelaskan, tidak ada yang ganjal, saat ditanya mengapa dirinya bersama rekan-rekan mampu bekerja sedemikian keras.

"Mungkin hanya tuhan yang tahu, kalau kami hanya menjalani hidup dan bekerja secara disiplin. Itu saja, dan tidak ada yang lain. Termasuk suplemen tak pernah kami konsumsi," ujarnya.

Demi etika kelembagaan, pria ini pun tetap tak bersedia menjelaskan identitasnya, termasuk namanya yang tetap dirahasiakan, meski upaya "ngotot" dilakukan segerombolan si "kuli tinta" (wartawan).

"Kami memang diajarkan untuk tetap taat kepada aturan kelembagaan. Salah satunya adalah tidak bisa memberikan keterangan dan identitas pribadi kepada khlayak. Nah, untuk penjelasan segala persoalan yang kami tangani, ada orang yang khusus pula," katanya.

Tak lama kemudian, pria berjenggot itu "melenggangkan" kakinya, sembari pamit untuk meneruskan pekerjaannya yang masih tersisa di tengah malam buta.

Mulai Kerja Keras

Kondisi demikian tidak sekali ini saja dilakukan para penegak hukum KPK. Sekitar sepuluh hari lalu, tepatnya Selasa 3 April 2012, "manusia super" ini sudah lebih dulu memulai kerja kerasnya.

Mereka memeriksa sebanyak tujuh orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau dan beberapa pegawai negeri sipil (PNS) serta pihak swasta demi terungkapnya kasus gratifikasi yang mendera "tubuh" perhelatan akbar olahraga nasional (PON) di Provinsi Kaya Minyak, Riau.

Kala itu, tim penyidik KPK yang berjumlah sekitar sepuluh orang bahkan bekerja lembur selama lebih 24 jam. Kerja keras itu membuahkan hasil di pagi buta, dua anggota DPRD Riau yakni FA dan MD serta seorang PNS berinisial ED dan R dari pihak swasta berhasil ditetapkan sebagai tersangka atas kasus tersebut.

Hal ini merujuk pada sejumlah barang bukti seperti uang tunai yang ditaksir senilai Rp900 juta dan berbagai perangkat bukti pendukung serta kesaksian bahkan psikologis para terperiksa.

Sejak penetapan empat tersangka itu, tim penyidik KPK terus bergulir tiada henti memeriksa sejumlah saksi lainnya, baik dari kalangan legislatif, eksekutif bahkan pihak swasta.

Awalnya, pemeriksaan dilaksanakan di Markas Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda Riau, Jalan Gajah Mada Pekanbaru, sebelum kemudian berpinda ke kompleks Sekolah Polisi Negara (SPN) di Jalan Patimura Pekanbaru. Katanya, hal itu dilakukan guna opimalisasi kinerja.

Sepintas penjelasan, bahwa kasus yang tengah ditangani KPK dimulai dari tertangkapnya seorang anggota DPRD Riau berinisial FA. Bersamanya disita barang bukti berupa uang tunai senilai Rp900 juta milai yang diindikasikan akan dibagi-bagi ke sejumlah rekan anggota DPRD Riau lainnya sebagai wujud hadiah atas disahkannya revisi Perda Nomor 6 tahun 2010 tentang Penambahan Dana atas Proyek Arena (venue) Menembak yang rencananya akan digunakan saat PON ke XVIII/2012 di Riau.

Saat ini, tim penyidik KPK tengah bergegas menuntaskan perkara itu. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan bertambahnya para tersangka mengingata penyidikan yang masih terus berlanjut.

"Sejauh ini segalanya masih sangat dimungkinkan, termasuk bertambahnya tersangka," kata juru bicara KPK Johan Budi.

Bahkan perkembangan terkini, KPK juga telah memohon ke pihak Menteri Hukum dan hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Amir Syamsudin guna melakukan pencegahan terhadap Gubernur Riau Haji Muhammad Rusli Zainal dan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Riau Lukman Abbas guna kepentingan penyidikan.

Pencegahan diminta KPK melalui surat KPK Nomor R-1380/01-23/04/2012 tertanggal 10 April 2012 dan mulai efektif untuk enam bulan ke depan tercatat hingga 10 Oktober 2012 mendatang, seperti yang disampaikan Wakil Menkumham RI Denny Indrayana.

"Cinta Segitiga"

Pengamat hukum dari Universitas Islam Riau (UIR) Dr Syahrul Akmal Latif berpandangan bahwa kasus gratifikasi yang menjerat keempat tersangka yang kini masih dalam penyidikan dan pengembangan tidak lepas dari kerja keras lembaga "super body" KPK.

Karena menurut dia, pengungkapan skandal jalinan "cinta segitiga" yang harmonis di kalangan elite tersebut (eksekutif, legislatif dan swasta/rekanan-red) sebenarnya bukan merupakan hal yang mudah.

Dikatakan, "cinta segitiga" antara oknum anggota legislatif, eksekutif dan pihak swasta ini terus bermunculan seiring tumbuhnya berbagai rencana pembangunan proyek fasilitas penunjang pagelaran PON Riau.

Namun bersyukur, demikian Syahrul, "cinta segitiga" tersebut berakhir tak seromatis seperti yang di khayalkan para pemeran utamanya.Tim KPK akhirnya menangkap "basah" anggota DPRD Riau diduga saat hendak berbagi hadiah secara ilegal.

Sebelum berakhir diungkap, menurut dia, hubungan antara para pejabat legislatif, eksekutif dan pihak swasta ini bagaikan rantai yang saling erat berhubungan hingga mampu memutarkan roda dan mencapai tujuan sesungguhnya.

"Klimaks" tersebut menurutnya adalah hasil dari jalinan cinta, bisa berupa proyek yang menghasilkan banyak hadiah (gratifikasi), atau bisa juga menghasilkan sebuah keuntungan langsung dari manipulasi data (korupsi).

Jalinan "cinta segitiga" di kalangan elite kaum koruptor ini, menurut Syahrul sebenarnya sempat merepotkan barisan terdepan lembaga penegak hukum.

"Tetapi hari ini, kita melihat 'cinta segitiga' antara eksekutif, legislatif dan pihak swasta di Provinsi Riau berlahan mulai terkuak, hingga harus berakhir tragis," katanya.

Meski bertindak dengan tidak insidentil, menurut dia, KPK telah terbukti berhasil mengungkap skandal "cinta segitiga" di kalangan "benalu sosial". Bahkan menjalani upaya pengembangan kasus secara ekstra, tanpa henti dan tanpa suplemen.