Pekanbaru, (AntaraRiau-News) - Pengelolaan potensi gas metana batu bara (coal bed methane/CBM) di Provinsi Riau hingga kini belum optimal karena terkendala tumpang tindih lahan dengan izin perkebunan kelapa sawit.
"Target tidak tercapai karena masih ada kendala di lahan," kata Kepala Perwakilan BP Migas Wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), Julius Wiratno, di Pekanbaru, Selasa.
Potensi CBM di Riau sebenarnya dikelola sejak 2011, setelah perusahaan energi Indon CBM mendapatkan izin di wilayah kerja yang meliputi Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu. Namun, Julius mengatakan wilayah kerja perusahaan asal Australia itu tumpang tindih dengan hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan PT Inti Indosawit.
"Belum ada kesepakatan dalam ganti rugi dengan perusahaan sawit, padahal Indon CBM sudah mendapatkan izin dari pemerintah daerah dan sudah ada kajian lingkungannya," kata Julius.
Ia berharap kedua pihak segera menghasilkan kesepakatan agar pengelolaan potensi CBM di Riau bisa segera dilaksanakan. Menurut dia, sejaih ini perusahaan Indon CBM kini masih melakukan tes (coring bor).
Dalam proses tersebut, lanjutnya, perusahaan akan mengambil batuan dari dalam bumi untuk melakukan pemeriksaan di laboratorium mengenai potensi CBM yang terkandung dilapisan batubara.
Menurut dia, pengelolaan CBM sangat menguntungkan karena gas metana tersebut bisa diambil tanpa merusak lapisan batubara. Selain itu, Indon CBM juga hanya mendapat izin untuk mengelola CBM bukan untuk penambangan batubara.
Ia menambahkan, Provinsi Riau memiliki potensi CBM yang cukup besar. Kementerian ESDM kini dikabarkan juga tengah melelang ladang CBM di Kabupaten Kampar, Riau.
CBM merupakan gas yang terperangkap pada batubara, karena batuan itu ibarat spon yang mampu mengadsorpsi gas. Gas metana batubara termasuk dalam klasifikasi energi "unconventional" yang dinilai lebih bersih ketimbang gas alam.
Sumber energi tersebut tergolong baru digarap di Indonesia sebagai alternatif energi minyak dan gas yang terus berkurang.