Air Keruh Dan Derita Warga

id air keruh, dan derita warga

Dumai, Riau, (ANTARARIAU News) - Di pagi yang cukup cerah, Nurleha, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Jalan Sidorejo, Kota Dumai, Provinsi Riau, masih termenung menyaksikan air berwarna kemerah-merahan di penampungnya.

"Ya, untuk mandi dan cuci, terpaksa saya pakai air ini, meski berwarna-warna aneh. Namun untuk minum dan masak, kami beli dari pedagang keliling," tuturnya kepada ANTARA, Senin.

Kendati tak bisa memastikan air yang dibeli dari pedagang keliling itu aman dikonsumsi, Nurleha dan masih banyak lagi ibu rumah tangga di 'kota pelabuhan utama' Provinsi Riau tersebut, pasrah dengan keadaan sedemikian.

"Habis, mau bagaimana lagi? Orang-orang percaya air yang dibawa dengan sepeda motor gerobak berkeliling kampung tiap hari itu katanya cukup baik untuk minum dan memasak," tuturnya disertai raut muka bingung.

"Air untuk mandi dan cuci, tak apalah pakai yang berwarna-warna itu. Tapi untuk kebutuhan minum dan memasak, kami beli air bersih per jerigen yang harganya beda setiap saat dari si pedagang keliling," ungkapnya lagi.

Keadaan ironis memang. Daerah berstatus "kota internasional" (karena sering ada lalu-lalang warga Malaysia, Singapura khususnya) yang berpenduduk lebih dari 250 ribu jiwa ini, belum memiliki fasilitas air bersih yang layak.

Warganya terus hidup dalam derita berkepanjangan karena problem ketiadaan stok cukup air bersih. Atau mereka terpaksa pasrah dengan infrastruktur air yang jauh dari kaidah ideal.

Lalu, satu persatu persoalan muncul akibat minimnya pengadaan air bersih ini.

Di antaranya, tak jarang warga mengalami gangguan kesehatan kulit. Ini tentu berakibat menambah beban biaya bagi masyarakat miskin pada umumnya yang membutuhkan air bersih karena harus membeli per jerigen.

Janji Kosong

Pada awal 2008, Pemerintah Kota (Pemkot) Dumai mulai meluncurkan pembangunan infrastruktur jaringan air minum. Proyek "multiyears" tiga tahun untuk pekerjaan (fisik) dan empat tahun anggaran pembayarannya, yang dipatok total Rp233 miliar.

Sudahkah persoalan derita warga akibat ketiadaan air bersih bagi warga teratasi?

Ternyata upaya Pemerintahan Kota Dumai untuk mengalirkan jaringan air bersih ke rumah warga sejak tahun 2008 tersebut sangatlah rumit, berliku, bahkan penuh intrik yang melibatkan birokrasi, apalagi sedikit-sedikit ada intervensi politik.

Akibatnya, rencana mewujudkan keinginan masyarakat yang sudah lama terpendam ini sampai sekarang belum juga terealisasi.

Padahal ketersediaan air sebagai bahan pokok kehidupan ini sangat dibutuhkan warga.

Di bawah kepemimpinan Wali Kota Zulkifli AS ketika itu, pelaksanaan pekerjaan proyek dimulai. Ini ditandai dengan janji pemerintah, yakni air akan mengucur pada akhir 2010.

Namun, realitasnya, hingga saat ini, air tak kunjung mengalir. Air bersih masih jauh dari warga.

Padahal, proyek itu dipercayakan kepada tiga rekanan BUMN berpengalaman secara nasional, yakni PT Nindya Karya, PT Waskita Karya dan PT Adhi Karya.

Untuk lebih meyakinkan, sebagai payung hukum, diterbitkanlah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 24 tahun 2007 tentang Jaminan Kepastian Pendanaan Anggaran Proyek tersebut.

Masing-masing BUMN memegang peranan untuk satu prioritas pekerjaan. PT Nindya Karya fokus pada pekerjaan "engineering, procurement & construction" (EPC) pembangunan "uprating IPA" dari kapasitas 40 liter per detik menjadi 80 liter perdetik di Jalan Jenderal Sudirman. Perusahaan negara ini juga menangani Pembangunan Baru IPA Kapasitas 250 liter per detik di Bukit Timah dengan nilai proyek Rp70.551.000.000,-.

Selanjutnya, PT Waskita Karya kebagian pekerjaan pengadaan dan pemasangan pipa transmisi air baku dan pipa distribusi, sekunder, tersier serta sambungan rumah kota Dumai, dengan nilai paket proyek Rp69.059.410.000,-.

Kemudian, PT Adhi Karya menangani pekerjaan pengadaan dan pemasangan pipa distribusi, sekunder, tersier dan sambungan rumah Kota Dumai (Paket II), dengan nilai proyek Rp83.701.000.000,-.

Ketika "launching" digelar, Ketua Tim Percepatan Pembanguan Infrastruktur Air Minum, Syukri Harto mengatakan, untuk sumber bahan baku air, akan menggunakan air Sungai Dumai.

Dijelaskan, saat itu air dari sungai ini sudah melalui proses pengkajian dan studi kelayakan yang memiliki kapasitas cukup untuk memenuhi prediksi kebutuhan jangka panjang air minum bagi masyarakat setempat.

Dengan gamblang diungkapkan, air akan mengalir ke rumah warga pada akhir tahun 2010. Itu sudah dikategorikan sebagai air layak minum dengan harga Rp3.500,- per meter kubik.

Tahap awal, Pemkot Dumai memprioritaskan air mengaliri 5.000 rumah atau 25 ribu Kepala Keluarga (KK) di dua kecamatan pusat kota.

"Kami sangat mengerti dan menjamin hak masyarakat Dumai untuk mendapatkan kebutuhan pokok air minum. Pipa jaringan air akan ditanam pada kedalaman tanah 1,5 meter dan akan terbentang sepanjang 95 kilometer," papar Syukri Harto saat itu.

Belum tuntas

Tetapi hingga akhir tahun 2010, pekerjaan proyek yang didanai sepenuhnya oleh APBD Kota Dumai ini belum kelar.

Alhasil, warga dengan penuh penderitaan, masih harus menanti pemenuhan haknya akan air bersih yang sudah sangat diidam-idamkan sejak lama tersebut.

Menanggapi keterlambatan pekerjaan ini, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan, Wan Ramli mengatakan, pelaksanaan pekerjaan proyek tersebut terkendala kondisi faktor alam di lapangan yang tidak bisa dihindari.

Selain itu, ia mengaku, ada masalah dengan kondisi keuangan daerah saat itu yang mengalami defisit pembayaran.

Air Keruh

Singkat cerita, memasuki tahun anggaran 2011, terjadilah pergantian kepala daerah dan kini kepemimpinan kota diambil alih Wali Kota Khairul Anwar.

Makin jelaskah sekarang proyek air bersih ini? Ternyata, situasinya semakin membingungkan.

"Dan kenyataannya, keadaan sekarang kian membuyarkan harapan masyarakat untuk mendapatkan air bersih," kata seorang aktivis "Indonesia Monitoring Development" (IMD) Riau.

Dengan dalih tidak ingin melanjutkan pekerjaan yang bisa berisiko kesalahan oleh pemerintahan sebelumnya, Khairul bersama Dinas Pekerjaan Umum (PU) setempat melakukan evaluasi dan audit keuangan. Mereka mengungdang dan memanfaatkan jasa BPKP Riau dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP).

Seiring penundaan penyelesaian pekerjaan, Pemkot dan DPRD Dumai mengeluarkan Perda Perubahan tentang Penambahan Jangka Waktu Pembiayaan Proyek.

Ini pun belum memberi solusi konkrit. Tetap saja infrastruktur yang diharapkan bisa cepat selesai ini belum membuahkan hasil manis demi memupus derita warga kota.

Lalu bertambah pusinglah Pemkot Dumai ketika muncul klaim somasi tuntutan pembayaran nilai proyek yang tertunda oleh sejumlah rekanan.

Karena tidak ingin dibebani denda somasi sesuai besaran suku bunga Bank Indonesia (BI) atas tuntutan ini, Parlemen kota itu mendesak pemerintah melakukan pembayaran.

Terakhir, datang lagi gugatan hukum dari sebuah lembaga swadaya masyarakat IMD Riau kepada pejabat Wali Kota Dumai atas dasar keterbukaan informasi publik terkait proyek bernilai ratusan miliar ini.

Proses pengaduan hukum ini, kini masih bergulir di Pengadilan Negeri Dumai. Sementara hasil dari klaim somasi rekanan, Pemkot Dumai diperintahkan untuk membayar pekerjaan yang telah terlaksana.

Lika-liku birokrasi, intrik-intrik politik praktis dan intervensi pihak-pihak tertentu, akhirnya membuat proyek ini benar-benar semakin memenderitakan warga kota.

Entah sampai kapan masyarakat harus menunggu realisasi air bersih atau air minum sebagaimana yang dijanjikan pemerintahnya.

Warga cuma berharap berbagai persoalan yang menggayuti pelaksanaan pengadaan air ini tidak menjadi sebuah klimaks air bersih masih menjadi impian yang sangat jauh dari pelupuk mata.

Karena derita warga terus saja berlanjut dan sering hanya bisa sejuk sejenak oleh siraman air-air yang semakin berwarna keruh.

Oleh: Abdul Razak/Jeffrey Rawis