Dumai, 1/7 (ANTARA) - Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kota Dumai, Riau, mengatakan kondisi hutan alami yang merupakan lahan konservasi harimau Sumatra di Sinepis-Buluhala, Kecamatan Sungai Sembilan terus dirusak oleh sekelompok masyarakat mengatasnamakan Kelompok Tani.
"Kasus ini sudah menjadi sorotan kita sejak lima tahun lalu dan telah dievaluasi mendalam," kata Kepala Bidang Kehutanan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut) Dumai, Hadiono, di Dumai, Jumat.
Hasil evaluasi lima tahun itu kata dia, sudah dilaporkan ke pihak Kepolisian Daerah (Polda) Riau di Pekanbaru untuk selanjutnya dilakukan penyelidikan mendalam.
Pengrusakan hutan, atau pembalakan secara liar dan pengalihfungsian lahan hutan alami menjadi lahan perkebunan kelapa sawit di Dumai oleh masyarakat mengatasnamakan Kelompok Tani (Kepoktan) menurut Hadiono merupakan kasus klasik yang belum pernah tuntas.
"Sebelumnya, segala kegiatan non prosedural atau ilegal oleh kelompok masyarakat serta perusahaan tak bertanggungjawab juga telah dievaluasi oleh sejumlah pihak tertinggi," katanya.
Seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Satgas Mafia Hukum, Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI di Mabes Polri, kata Hadiono, sebelumnya juga telah melakukan evaluasi.
"Kabarnya mereka juga akan turun untuk memantau langsung kondisi hutan alami di Dumai," ujarnya.
Penelusuran di lokasi lahan konservasi harimau Sumatra atau "panthera tigris sumatrae" di Sinepis-Buluhala, Kelurahan Basilam Baru, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai, menunjukkan beberapa lokasi saat ini telah terdapat banyak rumah warga yang telah membentuk suatu perkampungan.
Di sana juga muncul desa atau dusun-dusun baru dengan jumlah penduduk per kelompok mencapai 100 sampai 150 keluarga.
Beberapa perkampungan yang baru muncul empat tahun terakhir (sejak 2006-red) yakni Dusun Mekar Sari dengan jumlah penduduk sekitar 120 kepala keluarga, Ashari dan Dusun Asarun masing-masing di huni oleh lebih dari 50 keluarga.
Sejarah menyatakan, Pemerintah Kota Dumai menetapkan daerah Senepis-Buluhala menjadi kawasan konservasi harimau sejak tahun 2004, namun hingga kini penetapan itu tak kunjung diresmikan oleh pihak Kementrian.
Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah setempat guna segera mendapat izin dari Menteri Kehutanan. Salah satunya bekerja sama dengan Program Konservasi Harimau Sumatera (PKHS/2005) dan sempat melakukan uji kelayakan lokasi.
Namun pada kenyataannya, kerusakan hutan di lahan tempat berlindungnya kawanan harimau Sumatra terus menyempit dan memaksa hewan buas dilindungi negara itu keluar dari "sarang" dan berkonflik dengan manusia yang ada di sekitar habitatnya.