Pekanbaru (Antarariau.com) - Akademisi dari Pusat Penelitian Perkebunan Gambut dan Pedesaan Universitas Riau Dr Djaimi Backe menilai regulasi gambut yang tertuang Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17 Tahun 2017 berpotensi menimbulkan ketimpangan.
"Dalam beberapa hal regulasi ini baik, namun nanti dalam pelaksanaannya akan terjadi ketimpangan antara pemerintah pusat dan daerah," kata Djaimi di Pekanbaru, Sabtu.
Permen LHK Nomor P.17 Tahun 2017 merupakan salah satu dari aturan operasional dari PP Nomor 57/2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Regulasi tersebut memberikan kebijakan kepada pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-HTI) yang areal kerjanya di atas atau sama dengan 40 persen ditetapkan menjadi Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung, dapat mengajukan areal lahan usaha pengganti (land swap).
Kebijakan tersebut dinilai kalangan akademisi tidak memungkinkan untuk diterapkan. Salah satunya ketersediaan lahan pengganti untuk menggantikan lahan yang terdampak dari kebijakan Permen LHK P.17/2017 ini. Meskipun ada, lahan baru itu belum tentu baik untuk dunia usaha.
"Kalau, misalnya, pabriknya di Riau, bahan bakunya ada di Kalimantan atau di Papua sana, mungkin tidak untuk usaha? Secara nasional ini akan sangat mengganggu kepastian investasi," katanya.
Djaimi mengatakan, daerah-daerah yang wilayahnya didominasi lahan gambut seperti Provinsi Riau akan mengalami masalah. Sumber utama APBD Riau datang dari industri kehutanan.
Karena itu Riau bakal kehilangan pendapatan daerah karena adanya kebijakan tersebut. Perekonomian masyarakat juga akan terganggu karena jumlah masyarakat Riau banyak yang hidupnya bergantung pada industri kehutanan.
"Khusus untuk Riau dan Indonesia pada umumnya, kita harus buka mata lebar-lebar," katanya.
Ia menambahkan, regulasi tersebut yang mengharuskan dikembalikannya lahan gambut menjadi fungsi lindung dan diserahkan ke pemerintah berpotensi menimbulkan masalah baru.
"Bukannya menghindari kebakaran hutan, dengan menyerahkan lahan ke pemerintah dan yang kemudian tidak terpantau justru berpotensi menimbulkan kebakaran yang lebih besar," ujarnya.
Peraturan Menteri KLHK P.17 Tahun 2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri mengatur tentang perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung ekosistem gambut.
Pada pasal 8e menyebutkan, perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung, yang telah terdapat tanaman pokok pada lahan yang memiliki IUPHHK-HTI, tanaman yang sudah ada, dapat dipanen satu daur dan tidak dapat ditanami kembali.
Kemudian wajib dilakukan pemulihan dan dialokasikan sebagai kawasan fungsi lindung ekosistem gambut dalam tata ruang IUPHHK-HTI. Pasal di atas, membuat banyak pemegang IUPHHK-HTI berpotensi kehilangan sebagian area garapan.
Selanjutnya pada pasal 8G berbunyi, pemegang IUPHHK-HTI yang areal kerjanya di atas atau sama dengan 40 persen, ditetapkan sebagai ekosistem gambut dengan fungsi lindung, dapat mengajukan areal lahan usaha pengganti (land swap) yang diatur dengan peraturan menteri.
Berita Lainnya
Akademisi nilai kemenangan Timnas Indonesia U-22 SEA Games dipengaruhi mental juara
17 May 2023 9:59 WIB
Akademisi: Publik nilai Menteri BUMN Erick Thohir miliki kemampuan personal
13 January 2023 10:11 WIB
Akademisi nilai BUMN masuk Fortune Indonesia 100 bukti keberhasilan transformasi
15 August 2022 11:22 WIB
Akademisi nilai kawasan Indonesia timur jadi magnet baru tujuan investasi asing
29 July 2022 14:34 WIB
Akademisi: Implementasi nilai-nilai luhur Pancasila di medsos guna jaga persatuan
29 April 2022 15:51 WIB
Akademisi nilai pencabutan hak politik Edhy Prabowo selama tiga tahun tak maksimal
19 July 2021 14:13 WIB
Akademisi Nilai RUU Pembalakan Liar Lemah
29 November 2010 16:06 WIB
FPESGR Nilai Regulasi Gambut Mengganggu Produktvitas Industri Kertas
19 July 2017 11:35 WIB