Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengusulkan strategi pemanfaatan batu bara dan energi baru terbarukan (EBT).
Dengan memanfaatkan cadangan melimpah batu bara, teknologi CCS (Carbon Capture and Storage) akan diterapkan untuk menangkap emisi karbon dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang kemudian disimpan di bekas sumur minyak serta gas.
"Jadi, judulnya batubara bukan kotor, ini batu bara bersih,” kata dia dalam Indonesia Economic Summit di Jakarta, Rabu.
Di sisi lain, penggunaan EBT seperti energi surya dan angin akan dioptimalkan pada siang hari, sementara baru bara digunakan pada malam hari. Kombinasi ini diharapkan dapat menjaga harga listrik tetap terjangkau dan daya saing industri tetap terjaga.
“Kita blending agar harganya pas masuk. Karena kalau tidak, saya yakinkan bahwa kita akan mengalami persoalan yang susah. (Strategi ini dilakukan) supaya industri kita bisa tetap kompetitif dengan produk-produk yang lain,” ungkapnya.
Saat ini, dunia sedang menjadikan isu EBT sebagai perbincangan. Hal ini terkait dengan Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement, inisiatif yang digagas oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) untuk menekan emisi karbon dan beralih ke energi yang lebih bersih.
Sebagai bagian dari komitmen global, Indonesia disebut telah berencana "mempensiunkan" sebagian PLTU batu bara. Bahkan, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, pemanfaatan batu bara sebagai pembangkit listrik akan berkurang signifikan dan digantikan dengan gas serta EBT lainnya.
Namun, pasca AS keluar dari Perjanjian Paris karena Donald Trump selaku Presiden mementingkan kepentingan domestik, Bahlil menduga ada kekeliruan dari kesepakatan global tersebut.
Apalagi, Indonesia juga memiliki tantangan besar implementasi EBT dalam hal biaya produksi listrik dari gas yang ternyata jauh lebih mahal dibandingkan batu bara dengan selisih Rp5-6 triliun per gigawatt (GW) per tahun.
Apabila Indonesia hendak membangun 10 GW PLTU gas hingga tahun 2029, lanjutnya, maka selisih biaya yang harus ditanggung bisa mencapai Rp50 triliun dalam setahun. Artinya, dibutuhkan Rp500 triliun hingga tahun 2034 jika ditargetkan pembangunan PLTU gas sebanyak 21 GW.
Untuk menanggung beban biaya sebesar itu, maka opsi yang ada ialah meningkatkan tarif listrik untuk rakyat atau negara memberikan subsidi. Jika negara memilih subsidi, maka beban anggaran bakal semakin besar.
Ketersediaan gas juga menjadi problem tersendiri, mengingat dibutuhkan 250 kargo gas LNG (Liquefied Natural Gas) untuk membangun 10 GW PLTU gas (dengan perhitungan 1 GW PLTU gas membutuhkan 25 kargo gas LNG dalam satu tahun). Ini berarti hampir seluruh produksi gas dalam negeri bakal habis dipakai guna memenuhi kebutuhan listrik.
“Jadi, ini dilema yang sangat luar biasa. Sudah harganya tinggi, gas kita dipakai semua ke sana,” ucap Bahlil.
“Saya laporkan kepada Pak Presiden, saya bilang kalau batu bara kita ini kan masih banyak, kenapa harus kita ikut gendang negara-negara besar? China, India, masih batubara, cuma di-blending. Saya sampaikan kepada Pak Presiden, Pak, kalau Bapak izinkan, kasih kami waktu, kita buat strategi agar cost-nya tidak mahal, tapi energi baru terbarukan tetap ada,” ujar Menteri ESDM.