Siapa sangka, seekor kucing rumahan yang kerap dimanja oleh keluarga manusia, sanggup memberikan perlawanan bagi sekelompok monyet liar. Raungan dengan kemarahan bahkan diperagakan hewan mamalia itu ketika para primata mencoba menguasai unsur fisik lingkungan.
"Itu merupakan fenomena aneh. Karena kucing itu sebenarnya kucing yang sangat penakut bahkan dengan anak kucing sekalipun," kata Tiva Permata, Manager Komunikasi PT Chevron Pasific Indonesia mengawali acara pertemuan dengan sejumlah wartawan di Pekanbaru, Kamis (21/11).
"Mengenal Chevron Lebih Dekat" adalah program baru yang dicanang perusahaan industri minyak dan gas bumi ini. Tema yang diusung ketika itu ; "Strategi Chevron Dalam Perlindungan Lingkungan".
Bicara soal lingkungan, Tri Wisono, pakar lingkungan (Senior Environmental Energineer) dari perusahaan itu memaparkan penjelasan yang mirip dengan kisah kucing rumahan milik Tiva Permata.
Perlindungan terhadap lingkungan, tidak lepas dari tetap terjaganya keutuhan unsur hayati (biotik) dan unsur fisik (abiotik) serta sosial dan budaya. Bisa jadi, seekor kucing "manja" memaksa ganas ketika satu dari unsur penunjang kehidupannya mulai terancam oleh sekelompok monyet liar.
Seseorang bahkan bertanya, seberapa besar biaya yang dikeluarkan untuk menjaga keutuhan lingkungan hidup dengan tiga unsur tersebut ? "Yang jelas sangat besar".
Pakar lingkungan dari Rona Lingkungan Hidup Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, mengatakan, satu hal yang paling dikhawatirkan jika lingkungan berupa kawasan hutan terus tergarap oleh pihak-pihak berkepentingan adalah hilangnya keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.
Keanekaragaman hayati walau bagaimana pun, demikian Amri, tidak akan bisa tergantikan dengan uang sebesar apapun bahkan dengan cara apapun. Maka yang paling penting untuk menghindari kerugian besar tersebut adalah penerapan sistem pencegahan yang optimal. Semisal !
Menjadi perusahaan energi global yang dihormati karena karyawan, kemitraan dan kinerjanya, Chevron kemudian menetapkan nilai-nilai mulia. Mulai dari melakukan kegiatan usaha dengan penuh tanggung jawab secara sosial dan etis, hingga menghormati hukum dan mendukung hak asasi menusia yang brlaku universal.
Nilai yang terpenting, tetap melindungi lingkungan dan memberikan keuntungan bagi komunitas sekitar area operasi. "Itu dilakukan untuk menjadi perusahaan energi global yang dihormati atas kinerja perlindungan lingkungan tingkat dunia," kata Tri Wisono.
Unsur Fisik (Abiotik)
Sebagai perusahaan berkelas dunia, demikian Tri, strategi lingkungan hidup menjadi hal yang paling mendasar bagi Chevron. Beberapa poin yang paling utama adalah menjaga unsur fisik seperti tanah, air, udara, dan iklim. Salah satu upaya itu yakni dengan beroperasi sesuai standart tingkat dunia, kemudian mengukur kinerja, serta peningkatannya secara berkelanjutan.
Dijelaskan, bahwa pengelolaan lingkungan korporasi mencakup seluruh kegiatan. Optimalisasi kinerja di lapangan untuk tetap menjaga lingkungan hidup juga menjadi misi terbaharukan.
Salah satunya, demikian Tri Wisono, berlahan Chevron mulai melakukan penghentian flaring (Suar Bakar) dan venting. Itu dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GHG) dan konservasi sumber daya.
Perusahaan ini bahkah terus menerus memperbaharui teknologi ramah lingkungan, salah satunya dengan menetapkan ketentuan proyek baru harus dirancang tanpa suar dan venting yang kontinu, serta operasi yang sudah berjalan harus menghentikan venting kontinu (sejak Desember 31/2010) dan suar bakar kuntinu pada Desember 2014.
Dalam pengelolaan limbah, perusahaan ini mulai meminimalisasi teknologi yang rentan mencemari lingkungan di area kerja dan cenderung mengarah pada produk efisien. Semisal menerapkan bioremediasi atau "penyehatan" tanah tercemar minyak dengan menabur bakteri untuk pemulihan suatu kawasan. Kemudian melakukan upaya pembuangan dengan sistem injeks pasir terproduksi.
Unsur Hayati (Biotik) Gajah
Meski merupakan perusahaan industri migas yang tidak mengarah pada penguasaan lahan hutan belantara, kata dia, Chevron tetap berkomitmen untuk juga turut menjaga unsur hayati (biotik) yang terdiri dari makhluk hidup, mulai dari hewan, tumbuh-tumbuhan, dan jasad renik.
Banyak hal yang dilakukan perusahaan ini untuk tetap mampu mempertahankan keanekaragaman hayati di sekitar area kerja. Salah satu fenomena yang telah terjadi dan terus diantisipasi hingga saat ini adalah konflik gajah dengan manusia.
Organisasi lingkungan WWF mencatat, sepanjang beberapa tahun terakhir telah terjadi ratusan kali konflik gajah dengan manusia. Bahkan peristiwa tersebut telah menimbulkan kerugian mencapai Rp1,99 miliar. Itu masih merupakan rincian perhitungan manual dan bisa lebih banyak lagi.
Data WWF juga menyatakan bahwa telah labih dari 100 kasus kematian gajah Sumatera di Provinsi Riau sejak 2004. Namun selama dua tahun terkhir, sudah ada 19 kasus kematian gajah. Kondisi tersebut diakui para aktivis lingkungan sangat memprihatinkan karena jumlah populasi gajah di Riau diperkirakan hanya tinggal 300 ekor.
Fenomena amukan gajah yang berani masuk ke kawasan perkebunan hingga merusak tanaman warga menurut pakar disebabkan ruang habitat yang kian menyempit. Hewan bahkan tidak berkehendak untuk menganggu alam dan lingkungan, namun menjalani kehidupan layaknya kucing yang meraung dengan marah ketika daerah kekuasaannya justru direbut sekelompok moyet.
Gajah merupakan dalah satu unsur hayati yang layak untuk dilindungi sebelum mencapai kepunahan akibat semakin berkurangnya hutan sebagai habitatnya. Untuk itu, Chevron juga turut andil dalam menjaga kelestarian hewan bongsor itu.
Saat ini bahkan dapat dikatakan, kawasan hutan di sekitar kompleks perumahan Chevron di berbagai wilayah kerja khususnya di Kota Duri, Kabupaten Bengkalis, menjadi "benteng" terakhir bagi populasi gajah Sumatera.
Upaya solusi yang dilakukan perusahaan ini semisal bekerjasama dengan Jaringan Keanekaragaman Hayati, kemudian mengundang ahli gajah dari Srilanka dan mengusulkan beberapa solusi kepada instansi pemerintah daerah.
Itu menjadi harapan agar keanekaragaman hayati dapat tetap terjaga dan negara terhindar dari kerugian yang tak ternilai dengan materi.
Unsur Hayati (Biotik) Harimau
Konflik manusia dengan penguasa rimba bahkan tidak hanya pada hewan bongsor, gajah. Sejak beberapa tahun terakhir, sang predator Harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) juga tak terhindar dari peristiwa-peristiwa mengenaskan.
Data WWF menyebutkan, penyebab konflik tersebut juga sama. Hewan buas itu mulai kehilangan habitat hingga harus memaksa hidup berdampingan dengan manusia, sebelum akhirnya satu persatu terbunuh. Organiasi ini juga menyatakan, bahwa saat ini hanya tersisa 48 ekor Harimau Sumatera di Riau.
Sementara jumlah hewan buas itu yang terdapat di alam terbuka saat ini hanya sekitar 500 - 600 ekor saja, dan kemungkinan jumlah pastinya dapat berada dibawah 400 ekor.
Dalam ketentuan nasional disebutkan, bahwa sejak 2010 hingga 2014, hewan yang dilindungi negara harus meningkat sebesar 3 persen di Indonesia. Atas dasar itu, Chevron juga turut berupaya untuk memenuhi ketentuan guna melestarikan hewan langka ini.
Melalui departemen PGPA dan HES (environmental), Chevron melakukan koordinasi dengan BBKSDA Riau dan Departement Kehutanan untuk membicarakan langkah awal yang perlu dilakukan untuk kelestarian Harimau Sumatera di lapangan minyak Duri.
BKSDA Riau dan Chevron menunjuk universitas lokal untuk melakukan studi populasi di area lapangan minyak Duri sebagai langkah awal untuk menentukan langkah konservasi terbaik bagi Harimau Sumatera dan keselamatan pekerja.
Lagi-lagi, kawasan konsesi perusahaan migas ini menjadi ujung tombak bagi ke berlangsungan hidup hewan langka penguasa rimba. Dia meraung dengan amukan layaknya kucing peliharaan keluarga manusia.
Satu yang terpenting dan terus menjadi komitmen bagi Chevron adalah, penerapan unsur sosial dan budaya untuk menjaga keutuhan lingkungan dan keanekaragaman hayati.
Seekor kucing sekalipun, ketika manusia telah membudayakan kecintaan teradap hewan peliharaan itu, maka akan terjalin hubungan emosional yang alami, layaknya hubungan ibu dengan anaknya.