Happy-happy Legislator Ditengah Bayang KPK

id happy-happy legislator, ditengah bayang kpk

Happy-happy Legislator Ditengah Bayang KPK

Pra dan pancapenyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke XVIII 2012, sebenarnya para legislator yang berada dalam gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau masih terus dibanyangi oleh Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

'

Tidak lain, hal itu terkait kasus dugaan suap atas sejumlah proyek pembangunan arena yang menjadi sarana dan prasarana PON di provinsi berpenghasilan minyak alam dan bumi yang berlimpa itu.

Tidak tanggung-tanggung, untuk kasus ini lembaga yang kerap dijuluki sebagai lembaga superbody ini telah menetapkan sebanyak 13 orang tersangka, dimana sepuluh diantaranya merupakan anggota DPRD Riau.

Para legislator itu, diantaranya M Faisal Aswan, Muhammad Dunir, Taufan Andoso Yakin, Adrian Ali, Abu Bakar Siddik, Tengku Muhaza, Zulfan Heri, Syarief Hidayat, Moh Roem Zein, dan Turoechsan Asy Ari. Para wakil rakyat ini sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam waktu yang terpisah.

Namun agaknya, kasus dugaan suap proyek PON ini bukan menjadi penghalang bagi para legislator untuk "happy-happy".

Anggota DPRD Riau ini, berencana menggelar kegiatan "outbond" atau dikenal sebagai suatu kegiatan luar ruang untuk meningkatkan soliditas tim di Bali selama tiga hari terhitung 29 November sampai 1 Desember 2012.

"Pertimbangan kami, Bali lebih nyaman dan mudah dijangkau, artinya ada transportasi dari Pekanbaru kesana dan sebelumnya juga sudah dilakukan survei," ujar Sekretaris DPRD Provinsi Riau Zulkarnain Kadir, di Pekanbaru, Rabu (28/11)

Agaknya aneh, kegiatan "happy-happy" para legislator ini. Jika sebuah perusahaan memberikan kesenangan kepada para karyawannya yang berprestasi atau karena hasil keuntungan yang berlebih, wakil rakyat ini justru "hura-hura" dengan meninggalkan "bekas luka" bagi "pemilik modal".

Pemilik modal yang dimaksud adalah rakyat, yang menanamkan "saham" melalui ragam pajak yang kemudian masuk ke kas negara dan daerah hingga "pematangan" akhirnya menggaji para legislator yang suka "happy-happy".

Katanya, tujuan dilakukan kegiatan ini, paling utamanya yakni legislator ingin mensoliditas hubungan dengan menjalin sinergitas antara anggota dewan dan sekretariat dewan sesuai dengan sifat outbond bermain untuk solidilitas.

Tidak tangung-tanggung, pada kegiatan ini, diperkirakan akan menelan dana sebesar Rp1,4 miliar. Menurut pengakuannya, uang sebanyak Rp900 juta untuk biaya perjalanan dinas, sedangkan kegiatan "outbond" dan tranportasi serta akomodasi sekitar Rp500 juta.

Namun "bayang" KPK agaknya tetap menyertai para legislator yang haus dengan "happy-happy" ini. KPK tetap menggulirkan kasus dugaan suap terkait proyek PON yang juga telah menyeret beberapa nama pejabat penting di daerah ini.

Seperti halnya Gubernur Riau HM Rusli Zainal yang telah berulang kali diperiksa dan menjadi saksi di pengadilan atas kasus tersebut.

Begitu pula dengan Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus yang sempat disebut-sebut juga merestui adanya "uang lelah" dikalanga legislator ini.

Akar Kasus

Akar temuan kasus dugaan suap proyek PON Riau adalah barawal ketika para wakil rakyat ini tengah membahas rencana revisi Peraturan Daerah (Perda) No.5/2008 terkait Stadion Utama PON dan Perda No.6/2010 tentang Arena Menembak PON Riau.

Upaya menyukseskan perhelatan olahraga nasional ini tercoreng oleh "tingkah" sejumlah anggota DPRD Riau yang berupaya "memeras" para rekanan pengerja proyek tersebut.

Hingga akhirnya, pada awal April 2012, atau berjarak sekitar empat bulan sebelum pelaksanaan PON ke XVIII, tim KPK menangkap tujuh wakil rakyat di tempat terpisah.

Masing-masing yakni Faisal Aswan dari Fraksi Golkar, Adrian Ali (Fraksi PAN), Indra Isnaini (Fraksi PKS), Muhammad Dunir (Fraksi PKB), Ramli Sanur (Fraksi PAN), Tengku Muhaza (Fraksi Demokrat), dan Turochan Ashari (Fraksi PDI Perjuangan.

Keseluruhannya ketika itu menjalani pemeriksaan intensif di Markas Reserse Kriminal Khusus Polda Riau di Pekanbaru setelah diduga terlibat suap terkait proyek PON 2012. Namun waktu itu hanya dua wakil rakyat yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Faisal Aswan dam Muhamad Dunir.

Kepala Bagian Informasi dan Pemberitaan KPK, Priharsa Nugraha di Jakarta kepada wartawan menyatakan ditangkapnya ketujuh wakil rakyat itu berawal dari adanya laporan masyarakat.

Ketika itu, tim KPK yang terdiri dari sepuluh orang terbagi menjadi dua tim berangkat ke Riau sejak beberapa hari sebelum penangkapan dilakukan.

Penyergapan dilakukan di dua lokasi berbeda namun masih di Kota Pekanbaru. Seperti dikatakan Nugraha, penangkapan pertama dilakukan di rumah Politisi Golkar atas nama Muhammad Faisal Aswan.

Pada penggerebekan di satu lokasi ini, tim KPK berhasil menyeret pemilik rumah sekaligus seorang pihak pejabat PT Pembangunan Perumahan (PP) atas nama Rahmat Syahputra serta dua pejabat Dinas Pemuda dan Olahraga Riau masing-masing Eka Dharma Putra selaku Kepala Seksi Sarana dan Prasarana, kemudian Lukman Abbas selaku Kepala Dispora Riau. Selanjutnya, enam Anggota DPRD lainnya ditangkap di Kantor DPRD Riau.

Pada penangkapan ketujuh wakil rakyat beserta dua pejabat pemerintahan setempat dan seorang pejabat pihak swasta ini, KPK juga berhasil menyita barang bukti berupa uang tunai senilai Rp900 juta yang tersimpan dalam tiga bagian. Uang tunai itu menjadi alat bukti kuat terkait dugaan penyuapan di kalangan "cinta segituga" (legislatif-eksekutif-swasta).

Eka Darma Putra dan Rahmat Syaputra, ditetapkansebagai tersangka diwaktu yang bersamaan. Sementara Lukan Abbas diwaktu yang berbeda.

Lukman Abbas baru ditetapkan sebagai tersangka ada 8 Mei 2012 bersama dengan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau atas nama Taufan Andoso Yakin.

Penambahan Tersangka

Komisi Pemberantasan Korupsi kemudian pada tanggal 13 Juli 2012, kembali menambah tersangka lainnya dalam pengusutan kasus suap Pekan Olahraga Nasional XVIII Riau.

Bambang Widjojanto, selaku wakil ketua lembaga antikorupsi itu menyatakan ada tujuh tersangka baru yang berasal dari anggota DPRD Riau ketika itu.

Para tersangka yang dimaksud adalah Adrian Ali, Abu Bakar Siddik, Tengku Muhaza, Zulfan Heri, Syarief Hidayat, Moh Roem Zein, dan Turoechsan Asy Ari.

Para tersangka ini dikenai pasal 12 huruf a atau b atau padal 5 ayat 2 atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo pasal 55 KUHP.

Sejauh ini, kasus "cinta segitiga" dikalangan legislator, aparat pemerintah dan oknum pejabat perusahan pembangun proyek PON Riau ini masih terus digulirkan. Beberapa tersangka juga telah ada yang menjalani sidang vonis di Pengadilan Tipikor Pekanbaru.'

Juru bicara KPK, Johan Budi, menyatakan, kasus gratifikasi proyek PON sejauh ini juga mulai melebar ke fisik proyek Stadion Utama senilai Rp900 miliar.

"Hasil penyidikan selama beberapa pekan ini tentu ada. Jika sebelumnya masih berputar di Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2010 tentang Pembangunan Arena (Venue) Menembak senilah puluhan miliar, sekarang itu sudah melebar ke Perda Nomor 5/2008," katanya.

Proyek Stadion Utama itu diindikasi menyimpang setelah nilai proyeknya yang terus "membengkak". Sebelumnya yang disepakati bersama konsorsium tiga perusahaan kontraktor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baik PT Adhi Karya, PT Pembangunan Perumahan dan PT Wijaya Karya itu yakni sebesar Rp830 miliar, namun dalam Perda No 5/2008 dicantumkan biaya sebesar Rp900 miliar.

Kemudian dalam pelaksanaan proyek sepanjang 2011, biaya pembangunan membengkak jadi Rp914 miliar. Bahkan terakhir, kembali "mengembang" hingga mencapai Rp1,118 triliun.

"Penyidikan kasus yang awalnya mengarah ke Perda No.6/2010 hingga akhirnya mengembang ke Perda No.5/2008 ini adalah satu paket. Jangan dipisah-pisahkan karena hasil pengembangan tim penyidik," katanya.

Johan tidak menapik jika bakal ada tersangka-tersangka lainnya pada kasus yang sama. Calon tersangka itu, bisa dari kalangan pejabat pemerintah, perusahaan pengerja proyek, bahkan para legislator yang saat ini tengah "happy-happy". ***1*** (T.KR-FZR)