Kisah "buaya" yang menyelinap kejaring narkotika

id kisah buaya, yang menyelinap, kejaring narkotika

Kisah "buaya" yang menyelinap kejaring narkotika

Masih ingat dengan istilah cicak "versus" buaya...? Entah yang mana cicak, entah yang mana buaya. Istilah ini datang begitu saja ketika dua lembaga penegakkan hukum baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) "bertikai" dalam persoalan hukum itu sendiri.

Terlebih ketika mencuat kepermukaan atas kasus dugaan korupsi pengadaan simulator kendaraan roda dua dan empat di Korps Lalu Lintas Polri beberapa bulan lalu.

Kala itu, seorang pakar kepolisian, Bambang Widodo Umar, menilai tarik-menarik kasus dugaan korupsi pengadaan simulator kendaraan roda dua dan empat itu berpotensi membuka kembali kisah pertarungan "cicak lawan buaya".

Pakar dari Universitas Indonesia ini mengatakan, bahwa masyarakat dapat menilai pihak kepolisian cenderung egois karena tidak ingin kasus pengadaan SIM tersebut diurus oleh KPK.

Menurtnya, jika kronis perselisihan terus dibiarkan, maka berpotensi akan menjadi konflik semacam pertarungan cicak dan buaya karena KPK disakiti oleh kepolisian akan kembali terulang.

Kala itu pula, sejumlah pihak mendesak Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo untuk segera mengambil sikap tegas menyelesaikan masalah sengketa penyidikan dugaan korupsi simulator SIM di tubuh Korlantas agar tidak terus berlarut.

Alhasil, ditemukan kesepakatan penanganan kasus dugaan korupsi itu tetap ditangani oleh lembaga "superbody".

Berbada kasus, seharusnya berbeda pula pelakunya. Ibarat kata pepatah, "lain lubuk lain pula ikannya". Meski pada kenyataannya, pemancingnya tetap itu-itu juga.

Tanpa harus menyingung pihak-pihak tertentu, tulisan ini dibatasi tanpa harus mengetahui siapa si "buaya" sebenarnya, meki tanpa melibatkan dalang "cicak" pada karya sastra faktual ini.

Kisah kali ini bukan "buaya" yang "berebut" penanganan kasus simulator dengan si "cicak". Melainkan para melata yang ternyata, secara "diam-diam" menyelinap ke dalam "sangkar emas".

Meski terkurung dengan kenikmatan yang menggalaukan, "buaya" mencoba untuk tetap diam. Keluar dari "sarang" sewaktu-waktu dibutuhkan dalam laga sengit dengan sindikat jaringan pengedar narkoba yang tidak lain adalah singkatan dari narkotika dan obat-obatan terlarang.

Alkisah "Buaya"

Sekali lagi aktor buaya pada tulisan ini hanya sebuah gambaran tentang keserakahan manusia secara perorangan, bukan melibatkan institusi atau suatu lembaga.

Suatu ketika, Ibukota Riau, Pekanbaru, yang dikenal sebagai daerah penghasil minyak bumi dan kelapa sawit terbesar di Tanah Air mengejar ketertinggalan dengan menggesahkan berbagai proyekpembangunan.

Ragam proyek fisik mulai dari jalan layang, tol atau jalur bebas hambatan, perkantoran dan hotel-hotel hingga swalayan atau mal sampai hari ini terus bertaburan.

Pertumbuhan kota dengan julukan "Kota Bertuah" ini pun kian pesat dengan tingkat pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya (dalam kurun beberapa tahun terakhir) mencapai empat persen atau melebihi tingkat pertumbuhan penduduk nasional yang hanya dua persen dalam setahunnya.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sebuah lembaga yang melakukan audit data penduduk di negeri ini, pesatnya pertambahan penduduk di "Kota Bertuah" disebabkan banyak faktor.

Yang utama yakni tingginya minat pendatang untuk singgah dan bahkan menetap di Pekanbaru demi suatu kehidupan yang mapan.

Kondisi tersebut yang menurut sejumlah pakar kemudian merangsang turut tingginya angka pengangguran, dan secara bersamaan, tingkat kriminalitas juga semakin besar hingga mengancam keasrian dalam bermasyarakat.

Selain kriminalitas, di kota dengan pertumbuhan pembangunan mengalahkan sejumlah kota lainnya di Tanah Air ini, juga mulai bermunculan (dengan pesat) para mafia atau sindikat pengedar narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba).

Setiap bulan atau bahkan nyaris setiap harinya, lembaga penegakkan hukum di kota ini selalu direpotkan dengan jaringan mafia narkoba yang kian "menggurita".

Siapa dalang dibalik jaringan sindikat atas barang haram tersebut. Layaknya lagu Iwan Fals berjudul "bongkar", aparat juga demikian.

Namun upaya membongkar sindikat narkoba ini tidak semudah membalikan telapak tangan atau menyanyikan syair lagu ciptaan penyanyi papan atas Iwan Fals.

Seperti kata Kepala Polisi Resor Kota (Kapolresta) Pekanbaru, Kombes (Pol) Adang Ginanjar, jaringan pengedar narkoba di wilayahnya sangat terselubung dan terorganisir dengan rapi.

Bahkan menurutnya, tidak jarang para mafia itu melibatkan atau memanfaatkan pelaku penegak hukum termasuk dari jajarannya.

Contoh Kasus

Salah satu contoh kasus yang dimaksud Kapolresta yakni terbonghkarnya kedok oknum anggota polisi yang bermain atau malah justru melindungi bisnis barang haram itu beberapa waktu lalu.

Terungkapnya kasus tersebut berawal dari kasus penganiayaan seorang anggota Polri yang bertugas di Polresta Pekanbaru atas nama Briptu Joko.

Polisi muda berusia 28 tahun ini dianiaya atau menjadi korban percobaan pembunuhan oleh rekannya sendiri sesama anggota Polri karena dianggap mengetahui jaringan sindikat peredaran barang haram itu.

Bagai koboy, kawanan mafia yang berjumlah delapan orang melakukan upaya percobaan pembunuhan terhadap Briptu Joko.

Yang lebih mencengangkan, kelompok mafia barang haram itu ternyata didalangi oknum aparat penegak hukum. Tiga diantaranya anggota polisi dan empat lainnya merupakan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD). Seorang lainnya diklaim sebagai otak dari lingkaran 'setan' peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang.

Sebelum direncanakan untuk dieksekusi, Briptu Joko pun sempat disekap serta menjalani penganiayaan yang begitu sadis dari sejumlah orang yang terakhir dikabarkan sebagai gembong narkoba.

Mafia yang berlindung dibalik juba aparat ini menganiaya Briptu Joko dengan cara memukulkan benda tumpul ke arah tubuh korban serta menusukan benda tajam ke bagian kaki dan lengannya.

Lebih sadis lagi, para pelaku memaksa korbannya untuk menenggak air sabu-sabu berharap Briptu Joko tewas dengan cara 'over' dosis atau kelebihan mengkonsumsi narkoba.

Namun setelah melalui penderitaan yang begitu hebat, korban Briptu Joko akhirnya dapat menyelamatkan diri. Alhasil, terbongkarlah salah satu sindikat pengedar narkoba yang diduga didalangi oleh "buaya-buaya" yang bersembunyi dibalik baju aparat penegak hukum.

Pada kasus ini, seperti kata Kapolresta Pekanbaru, pihaknya juga telah menangkap sebanyak delapan orang pelaku. Mereka adalah empat oknum anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD), tiga oknum anggota polisi masing-masing bernisial IR dan SP serta P.

Sementara satu lagi warga sipil berinisial JN, yang diduga sebagai bandar narkoba atau otak pelaku atas percobaan pembunuhan terhadap Briptu Joko.

Kombes Adang Ginanjar mengatakan, JN belakang diketahui merupakan bandar narkoba dan sudah masuk dalam daftar orang yang paling diincar institusinya.

Dari hasil pemeriksaan awal terhadap ketiga pelaku yang ditangkap, mereka diketahui positif menggunakan narkoba jenis sabu-sabu. Sehingga, para pelaku diduga telah mengkonsumsi sabu-sabu sebelum melakukan penganiayaan.

Selain positif menggunakan narkoba, aparat juga menemukan barang bukti berupa bong atau alat hisap sabu. Hal demikian menurut Kapolresta juga tidak menutup kemungkinan penyelidikan kasus ini tidak hanya mengenai kasus penganiayaan semata, tapi juga dikembangkan pada kasus peredaran narkoba.

Kasus ini sekaligus membuktikan, bahwa "buaya-buaya" tidak lagi mengenal mana lawan dan mana kawan. Bisnis "gelap" pun menjadi sasaran empuk bagi si melata, terlebih tanpa ada "cicak" di dalamnya.

Ini mungkin yang disebut sebagai musuh dalam selimut...! ***1*** (T.KR-FZR)