Celoteh Jurnalis soal kebebasan bukan kebablasan

id celoteh jurnalis, soal kebebasan, bukan kebablasan

Celoteh Jurnalis soal kebebasan bukan kebablasan

Suatu sore di 'gubuk' Jalan Sumatra, tengah 'kota betuah' terbersing 'kicauan' merdu namun cukup serius, tentang kebebasan (cacatan; bukan kebablasan) dan juga kekerasan.

Bicara soal kebebasan, menurut orang pintar (bukan tolak angin), tentunya menjadi dambaan siapa pun. Namun kebebasan bisa justru membuat seseorang 'salah kaprah' dalam menentukan sikap, dan jalan hidupnya.

Termasuk soal kekerasan, lagi kata orang pintar, biasanya terjadi akibat kebebasan yang berlebih sehingga kerap membuat seseorang tertentu kerap bertindak semaunya atau 'sak karepe' (tata bahhasa Jawa yang artinya seenaknya).

Kebebasan tentunya jangan sampai kebablasan, namun, demikian Tony Buzan, "belajar bagaimana cara belajar adalah keahlian terpenting dalam hidup."

Setidaknya, ungkapan kalimat manis dan nasehat bijak si orang pintar ini dapat menjadi pembuka yang harmonis sebelum masuk pada 'kicau merdu si burung camar'. "Asal jangan samar-samar dalam penentuan dan menentukan sikap."

Sore itu, Jumat (19/10), di sebuah kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Wilayah Riau, puluhan jurnalis dari berbagai media cetak dan elektronik menggelar rapat umum 'pemegang saham' atas perkara tindak kekerasan berupa penganiayaan beberapa wartawan, baik pewarta foto maupun pewarta tulis.

Peristiwa kejam itu terjadi saat para pewarta nan' malang tengah bertugas melakukan peliputan atas insiden jatuhnya pesawat tempur Superhawk 200 milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU) di sekitar permukiman warga Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, Selasa (16/10).

Semisal Rian FB Anggoro, pewarta Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA yang harus menerima beberapa kali pukulan telak oleh oknum TNI AU yang berjaga-jaga di sekitar lokasi kecelakaan pesawat, bahkan atas tindakan tak menyalahi, "orang cuma mau mengambil foto doang kok' digebukin."

Peristiwa naas itu bahkan menyebabkan kacamata yang dikenakannya hilang tak tahu rimbanya. Bahkan sebuah kamera iventaris kesayangan, harus 'masuk bengkel', setelah mengalami kerusakan serius usai dirampas oknum TNI tak dikenal.

"Kemarin sempat dikembalikan, tapi kondisinya rusak parah. Nggak tahu juga uda diapain aja tuh kamera, sampe nggak bisa nyala," katanya.

Hal serupa juga dialami Didong, pria bernama asli Didik Herwanto yang merupakan pewarta foto Riau Pos ini juga harus menerima perlakuan kasar oleh oknum TNI.

Pernah melihat kodok di lahap ular, peristiwa itu mirip dengan yang dialami pewarta andal bagi media yang mempekerjakannya itu.

Didong harus pasrah ketika sejumlah oknum TNI bahkan seorang diantaranya adalah perwira menengah berpangkat Letnan Kolonel (Letkol) 'melahapnya mentah-mentah'. "Ditinju, bahakan di injak-injak. Ya...nggak ngelawan, orang badannya besar-besar. Mereka juga terlatih," katanya.

Akibat perlakuan tak senonoh oknum TNI tersebut, pria dengan tatanan percakapan keseharian berlogat Jawa ini bahkan mengalami memar di bagian wajah bagian kiri, tepatnya pada pinggiran telinga.

"Piye arek melawan, awak yo pasrah wae," demikian kutipan percakapan Didong dengan seorang teman sekampungnya beberapa waktu lalu.

Selain Rian dan Didong, masih banyak lagi awak media yang mendapat perlakuan sama. Hanya saja, bukti otentik seperti rekaman kamera foto dan video tak mereka miliki, sehingga mereka pun harus pasrah dengan landasan perjuangan dari dua orang teraniaya itu.

Tindak kekerasan berupa penganiayaan terhadap insan pers itu pun telah di adukan secara resmi ke Mahkamah Militer melalui Polisi Militer Lanud Pekanbaru, sesaat setela insiden kekerasan itu terjadi.

Hal ini yang menjadi topik pembahasan utama kalangan pers di sore hari pada aula mini Kantor PWI Riau, ketika mendung menyelimuti 'kota bertuah'.

Kecam Kekerasan

Temanya, mengecam kekerasan terhadap pers. Situasi ini dianggap darurat karena kebebasan pers yang sesungguhnya diatur dalam alkitab udang-undang mulai terancam olah sekelompok oknum 'alat negara'.

"Artinya, posisi dan kedudukan setiap orang berbangsa dan bernegara adalah sama, mematuhi undang-undang. Jadi, siapa yang melanggar, maka sesungguhnya mereka lah yang seharusnya mendapatkan sanksinya."

Syahnan Rangkuti, seorang pewarta senior yang juga mengetuai organisasi bernama Solidaritas Wartawan untuk Transparansi (Sowat) ini mengawali 'celoteh' terkait kekerasan yang menimpa kalangan pers itu.

Harapan Syahnan mirip dengan ungkapan bijak yang mengurai kalimat, bahwa "belajar tanpa berfikir tidak berguna, dan berfikir tanpa belajar justru berbahaya."

Oleh karenannya, seperti kesimpulan atas pertemuan itu, intinya wartawan harus belajar bagaimana berfikir agar berguna, namun tidak justru membahayakan.

Maksudnya adalah "belajar tidak akan berarti apa-apa, sampai terjadi perubahan prilaku" (yang tentunya harus lebih baik di kemudian hari)/seperti ungkapan pepatah bijak Abrahan Lincoln.

Untuk itu, Syahnan mengharapkan agar pengusutan kasus kekerasan terhadap para awak media ini dapat dilakukan dengan tuntas sesuai aturan hukum yang berlaku.

"Kasus ini juga akan di kawal oleh lembaga hukum yang tergabung dalam advokat wartawan Riau. Nantinya, pengacara dari redaksi, atau organisasi pers diharapkan bersatu padu untuk mengawal kasus ini hingga tuntas," katanya.

Namun muncul sebuah pertanyaan dari seorang korespinden senior TV One, Arif Budiman, yang berceloteh riuh tentang keseriusan yang dimaksudkan.

"Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, pelecehan terhadap wartawan juga sempat terjadi. Namun proses hukumnya tidak pernah tuntas meski ada lebih 90 advokat yang mendukung," katanya.

Pria yang biasa disapa Ocu ini juga mengatakan, beberapa contoh kasus yang sempat mencuat kepermukaan diantaranya yakni kasus pelecehan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pekanbaru terhadap beberapa wartawan dan ketertutupan pihak aparat Bea dan Cukai.

Untuk kasus pelecehan yang dilakukan anggota DPRD Pekanbaru, terjadi pada Agustus 2010. Peristiwa pelecehan dua wartawan itu bermula ketika keduanya yang sehari-hari meliput di lingkungan Gedung DPRD Kota Pekanbaru hendak bertemu unsur pimpinan DPRD namun mereka bertemu dengan Yose Saputra yang memanggil dan bertanya kepada mereka.

Kemudian dalam bahasa minang wakil rakyat itu sempat berujar, "Ini pantat saya, kalian foto dulu. Nanti masukkan ke koran kalian di halaman depan dengan besar-besar ya," kata Zulfikri, korban, menirukan perkataan Yose, si legislator.

Pada kasus ini, seperti diungkapkan Arif, sedikitnya 90 orang pengacara di Kota Pekanbaru siap menjadi tim advokasi membela wartawan yang mengalami pelecehan profesi.

Dukungan pengacara yang tergabung dalam Solidaritas Advokat Riau Bantuan Hukum Kepada Wartawan itu ditandai dengan penandatanganan surat kuasa pembelaan terhadap dua wartawan lokal yakni Zulfikri dan Nur Azizah dihadapan pengurus PWI Riau.

"Namun kasu ini hilang begitu saja. Nggak ada ujungnya," kata dia.

Arif kembali menguraikan, kasus pelecehan wartawan lainnya yakni dilakukan oleh oknum Bea dan Cukai Pekanbaru.

"Kasus ini juga tidak tuntas. Entah dimana salahnya namun tindakan hukum kembali tak berujung sama sekali," katanya.

Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, demikian Arif, diharapkan untuk kasus kekerasan terhadap sejumlah wartawan yang dilakukan oleh beberapa oknum TNI AU ini dapat dituntaskan.

"Jangan sampai terhenti di tengah jalan sehingga lagi-lagi kasus yang sama, termasuk pelecehan dan tindak kekerasan terhadap wartawan kembali terulang di masa mendatang," katanya.

Kesimpulan ungkapan Ocu melekat pada pepatah bijak yang berucap, "saya belajar bahwa butuh bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan, tetapi hanya butuh semenit saja untuk menghancurkannya."

Namun, "daripada mengutuk kegelapan, lebih baik mengambil sebatang lilin untuk menjadi sumber penerang dalam kegelapan, dimana hal ini lebih baik dari pada menyalahkan keadaan untuk memperbaiki keadaan," ungkap pepatah bijak. ***1*** (T.KR-FZR)