...Jerit kaum Rohingya, semua dibakar

id jerit kaum, rohingya semua dibakar

...Jerit kaum Rohingya, semua dibakar

Kabir Ahmad menangis... "Semua dibakar, semua diambil, semuanya dirampas dan kami disakiti. Sakit... sakit, sangat sakit dan sangat banyak yang teraniaya di sana".

Kabir menjerit... "Semuanya menangis, menderita. Rumah kami tak lagi bisa dipakai. Pakaian pun habis di bakar bersama rumah-rumah kami".

Kabir, seorang pria berumur 38 tahun ini adalah sisa-sisa Rohingya Myanmar yang saat ini masih menginap di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Pekanbaru, Riau.

Kamis (16/8) malam, usai berbuka puasa bersama para petinggi Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Riau dan para pejabat Rudenim serta pejabat Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) setempat, Kabir menangis, meski tanpa kucuran air mata.

Ungkapan itu terlontar secara tiba-tiba, menggetarkan ruangan sempit yang dipadati oleh orang-orang pribumi dari kalangan petinggi organisasi muslim dan para pejabat pemerintahan terkait.

Tubuhnya yang tegap, tak lagi mampu menunjukkan keperkasaan setelah kenangan pahit di kampung halaman tercuat begitu saja.

Ia terharu, begitu besar perhatian bangsa ini untuk kaum Rohingya yang tertindas di negara sendiri. Ketika itu para perwakilan Muhammadiyah Riau memberikan bantuan alakadar, berupa seperangkat alat shalat untuk tiap Rohingya yang tersisa dan menginap di Rudenim Pekanbaru.

Kabir, menutup kesedihan dan harunya itu dengan pernyataan terimakasih untuk mereka yang telah menaruh perhatian, walau dalam wujud yang sederhana.

Ketika itu, ada sebanyak sebelas orang Rohingya yang hadir. Wajah-wajah mereka terlihat polos dengan pandangan hampa mengarah kesejumlah kalangan yang mengasihinya.

"Kami sangat berterimakasih atas semua ini. Setelah semuanya milik kami diambil, dibakar dan banyak yang teraniaya di sana (Myanmar), termasuk Masjid kami pun di rampas dengan kejam. Terimakasih...," kata Muhammad Ainus, seorang Rohingya yang tergabung dalam kelompok itu.

Ainus tampak sedikit tegar meski tak begitu gagah, matanya yang mulai berkaca-kaca menggilir pandangan, terfokus pada kelompok yang mengasihinya.

"Masih banyak saudara-saudara kami yang masih tertinggal di sana (Myanmar). Kami tak tahu bagaimana nasib mereka semua, setelah semuanya dibakar, dirampas," ujarnya.

Orang-orang disekelilingnya hanya terdiam, mendengar dan menghayati pernyataan Ainus yang terbatah-batah, namun cukup jelas di pendengaran yang sehat.

"Sudah, lupakan semua dan jangan lagi terlalu memikirkan mereka-mereka yang tinggal. Negara ini telah berupaya untuk membantu saudara-saudara Rohingya yang tersisa di Myanmar," kata H Darul Arief, Wakil Ketua PW Muhammad Riau yang memimpin acara malam itu.

Darul mencoba untuk menenangkan para Rohingya dengan kasih sayang lewat ungkapan-ungkapan berkemanusiaan, berharap mampu untuk sejenak meredam segala ingatan pahit itu, para etnis Rohingya yang malang.

Buka Bersama

Para pimpinan Muhammadiyah Riau ketika itu juga menggelar buka puasa bersama ratusan imigran pencari suaka yang menginap di Rumah Detensi Imigrasi Pekanbaru.

"Kegiatan ini dilaksanakan untuk menaruh perhatian kepada para imigran pencari suaka. Hal ini semata demi kemanusiaan," kata Kepala Rudenim Pekanbaru Fritz Aritonang di sela-sela acara itu.

Fritz mengatakan, kegiatan kali ini merupakan yang kedua kalinya diselenggarakan di Rudenim Pekanbaru dengan harapan dapat memberikan rasa keceriaan bagi para pencari suaka termasuk para Rohingya.

"Harapan yang berharga adalah memberikan rasa kekeluargaan bagi para pencari suaka ini. Bagaimana pun, mereka merupakan warga negara asing yang layak untuk mendapatkan kenyamanan," katanya.

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Riau, H Darul Arief, mengatakan, pihaknya sengaja menyempatkan diri mengunjungi para pencari suaka di Rudenim Pekanbaru, khususnya untuk para pengungsi asal Miyanmar, etnis Rohingya.

"Rencana kegiatan ini juga mendapat instruksi langsung dari Ketua Umum Muhammadiyah di Jakarta," katanya.

Harapannya pula, demikian Darul, kegiatan ini dapat sedikit memberikan keringanan bagi para pencari suaka, khususnya para Rohingya Myanmar.

Darul mengatakan, dalam kegiatan ini pihaknya juga memberikan sejumlah cendera mata atau sebentuk pengikat tali asih dan juga menyajikan sejumlah makanan berbuka puasa, mulai dari nasi kotak dan minuman serta takjil.

"Untuk seluruh pencari suaka diberikan makan malam dan takji serta sejumlah uang sebagai wujud tali asih. Bantuan ini juga ada dari perusahaan pengiriman barang yakni Tiki," katanya.

Khusus untuk warga Rohingya, seluruhnya berjumlah sebelas orang diberikan perangkat shalat seperti sejadah dan kain sarung.

"Harapan kami, semuanya (para pencari suaka) dapat lebih terkurangi beban dan deritanya. Kesedihan mereka, adalah kesedihan kami juga," katanya.

Data Rudenim Pekanbaru menyebutkan, sebelas orang Rohingya itu saat ini menjalani hidup sederhana bersama ratusan imigran pencari suaka asal negara konflik lainnya.

"Jumlah seluruh imigran pencari suaka di Rudenim ini, termasuk para Rohingya yakni ada sebanyak 154 orang yang berasal dari sejumlah negara konflik. Mulai dari Afghanistan, Pakistan, Irak dan Iran," katanya.

Sebelumnya, Rudenim Pekanbaru juga mendapat tambahan sebanyak 18 imigran pencari suaka asal Afghanistan dari wilayah Kepulauan Riau. Seluruhnya juga diinapkan di Rudenim guna menunggu hak suaka dari badan PBB urusan pengungsi (UNHCR).

Terus Bertambah

Dikabarkan, jumlah pengungsi asal Rohingya Myanmar yang mencari suaka ke Indonesia dan sejumlah negara lainnya diperkirakan akan terus bertambah.

Hal itu menurut Kepala Rudenim Pekanbaru Fritz Aritonang, disebabkan masih belum kondusifnya keamanan di perkampungan muslim di Myanmar tersebut.

Untuk saat ini, sejumlah pengungsi asal Rohingya itu juga telah berada di Tanah Air. Mereka dikabarkan menyebar di sejumlah daerah dengan terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengungsi yang masih ditampung di Rudenim dan yang di luar Rudenim.

Perbedaannya, bagi pengungsi Rohingnya yang di luar Rudenim itu ada juga yang telah dinyatakan sebagai pengungsi resmi oleh UNHCR (sebuah lembaga di bawah PBB yang menangani pengungsi) dan yang masih di Rudenim masih diurus statusnya oleh UNHCR.

Dikabarkan pula, biaya akomodasi para imigran Myanmar yang masih di Rudenim ataupun di luar Rudenim akan ditanggung Ireguler Organization Migran (IOM) atau lembaga swadaya yang diberikan masing-masing negara donor yang membiayai para pencari suaka.

Selain di Pekanbaru, dikabarkan juga para pengungsi Myanmar itu berada di sejumlah wilayah Tanah Air lainnya seperti di Belawan sebanyak 22 orang, Tanjung Pinang 107 orang, Pontianak satu orang, Balikpapan satu orang, Kupang ada lima orang, Manado 35 orang, Makassar tujuh orang serta di Jakarta 10 orang, dan di Ditjen Imigrasi Jakarta ada sebanyak tiga orang.

Sementara untuk pengungsi yang telah mendapat rekomendasi dari UNHCR diperkirakan ada sebanyak 214 juga tersebar di sejumlah wilayah Tanah Air. Jumlah ini kemungkinan akan terus bertambah.

Akar Masalah

Seperti tulisan sebelumnya (berjudul Tangisan Rohingya), kasus kekerasan yang terjadi atas warga Rohingya telah banyak menuai perhatian serta kecaman publik internasional terhadap pemerintah Myanmar. Bahkan di Indonesia, rasa simpati, empati maupun dukungan terhadap etnis Rohingya terus mengalir tanpa henti.

Meski demikian, tak jarang di antara banyak pihak yang tidak mengetahui akar konflik Rohingya yang sebenarnya. Sehingga tak jarang berbagai perdebatan pun menyeruak di berbagai media.

Sejauh ini, terdapat banyak pandangan mengenai akar konflik di Myanmar yang melibatkan etnis Rohingya, di mana kesemuanya hampir menunjuk kepada masalah etnis atau agama sebagai sumber konflik yang utama.

Tentu saja pendapat ini tak salah seluruhnya dan juga tak benar sepenuhnya, sehingga membutuhkan penelusuran yang lebih mendalam.

Namun jika dilirik melalui sejarah, terungkap bahwa jauh sebelum konflik Rohingya pada 2012 yang kian menyita perhatian dunia, sebenarnya etnis Rohingya telah ditindas selama puluhan tahun lalu, baik oleh negara maupun etnis mayoritas di Myanmar, yang kebetulan beragama Buddha.

Sebagian sejarah mengungkapkan, bahwa sejak sebelum Burma merdeka di tahun 1942, dikabarkan telah terjadi berbagai aksi kekerasan terhadap orang Rohingya.

Namun sejarah tersebut tak lantas mendapat pembenaran semua pihak. Beberapa lainnya bahkan berpandangan bahwa pada konflik di Myanmar juga terdapat adanya tangan-tangan asing yang bermain pada konflik di sana sebagai pertarungan soal minyak dan gas bumi.

***1***

(T-KR-FZR)