LPK: Penjatahan BBM Subsidi Harus Transparan

id lpk penjatahan, bbm subsidi, harus transparan

Pekanbaru, 3/4 (ANTARA) - Direktur Eksekutif Lembaga Perlindungan Konsumen (LPK) Riau, Rizal Furdail, berpendapat, penjatahan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis premium dan solar terhitung sejak 1 April 2011 harus secara transparan.

"Transparansi merupakan hal yang sangat krusial dalam menerapkan BBM subsidi yang dijatah. Jika Pertamina dan SPBU mengabaikannya, maka akan terjadi gejolak di tengah masyarakat," katanya kepada ANTARA di Pekanbaru, Ahad.

Menurut Rizal, kebijakan penjatahan BBM bersubsidi secara tidak langsung berpotensi menimbulkan kekhawatiran baru akibat tidak adanya transparansi pihak SPBU sebagai penyalur resmi minyak yang disubsidi pemerintah tersebut.

Harga minyak non subsidi seperti pertamax plus di Riau yang menyentuh harga Rp9.600/liter mengikuti fluktuasi harga minyak dunia, dimungkinkan menjadi alasan beralihnya kendaraan pribadi menggunakan premium bersubsidi yang dijual Rp4.500/liter.

Pengawasan yang dilakukan pemerintah daerah dan kepolisian setempat terhadap penyaluran BBM subsidi yang dijatah, dinilai tidak berjalan efektif karena hanya akan menambah tugas baru dari banyaknya tugas-tugas yang ada.

"Intinya, Pertamina di daerah harus transparan kepada publik terutama tentang berapa kuota BBM subsidi yang dialokasikan. Kemudian SPBU mengumumkan volume yang telah dipasarkan kepada masyarakat, meski kebijakan itu dinilai kurang tepat," jelasnya.

Sejumlah masyarakat pemilik kendaraan bermotor di Pekanbaru mengaku belum mengetahui adanya kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang telah melakukan penjatahan terhadap BBM bersubsidi.

"Saya kurang tahu jika ada penjatahan BBM subsidi diberlakukan, tapi kalau pemerintah menunda kenaikan terhadap premium dan solar saya pernah dengar," ujar Dewi (35), warga Rumbai Pekanbaru.

Terhitung awal April 2011, pemerintah memperketat pengawasan terhadap pemakaian BBM bersubsidi di wilayah Jakarta, dan sebagian daerah di Jawa Barat sebelum kemudian kebijakan pengendalian energi bersubsidi itu diterapkan di setiap daerah.

Pemerintah ingin penggunaan BBM subsidi tidak melebihi dari yang telah dipatok sebanyak 38,5 juta kiloliter untuk tahun 2011, sehingga pengawasan terhadap kuota diperketat dengan penjatahan dan mengarahkan masyarakat menggunakan pertamax.