Nasib "Si Lebai Malang", agaknya tepat untuk menggambarkan kondisi maskapai Riau Airlines saat ini.
Betapa tidak, jika cerita Pak Lebai terus menimang untung rugi atas dua undangan pesta yang digelar bersamaan di kampung hulu dan hilir sungai dan akhirnya berujung buntung, maka kisah itu mirip dengan cerita Riau Airlines.
Si Lebai mulanya berpikir, jika ia menghadiri pesta di hulu sungai, maka dirinya mendapatkan dua kepala kerbau yang dipotong sebagai bentuk penghargaan terhadap dirinya sebagai guru agama tersohor di kampung itu.
Tapi masalahnya adalah, beliau tidak mengenal si pengundang. Ia pun kemudian mengubah arah laju perahunya mengikuti arus air ke hilir sungai karena orang yang mengundang mengenal dirinya dengan baik, meski yang dipotong hanya seekor kerbau.
Namun ketika tiba di tepian sungai hilir, ia berpapasan dengan warga yang mengayuh sampan menuju hulu sungai sembari berkata padanya bahwa hanya seekor kerbau kurus yang dipotong.
Mendengar itu, tanpa berpikir panjang si Lebai langsung mengubah haluan sampan menuju hulu sungai. Tapi baru separoh perjalanan, dia kembali berpapasan dengan warga lain yang baru pulang menghadiri pesta di kampung hulu.
"Pesta di kampung hulu sudah selesai...," teriak warga. Pak Lebai pun berpikir, ketika sampai di hulu sungai pasti dua kepala kerbau yang diinginkan sudah habis, sedangkan pesta di hilir juga sudah selesai.
Walhasil satu kepala kerbau pun tak didapat, padahal perut Pak Lebai saat itu sudah sangat lapar sekali. Demikian kisah si Lebai malang yang tak jauh beda dengan cerita Riau Airlines.
Terus merugi
Cerita Riau Airlines sendiri bermula di penghujung Juni 2010, ketika tiga dari empat jajaran direksi maskapai itu menandatangani kesepakatan Kerja Sama Operasi (KSO) penyertaan modal PT Cokro Suryanusa Sentosa (Cossen) sebesar Rp1 triliun.
Dalam penandatanganan tanpa direktur utama Riau Airlines itu, pihak Cossen menjanjikan Rp1 triliun bakal dicairkan sekaligus dalam tempo tiga hari setelah KSO diteken 25 Juni 2010.
"Kesepakatan dari pola KSO berbentuk bagi hasil keuntungan yang dibagi 40 persen untuk Cossen dan 60 persen kepada Riau Airlines, dan Rp1 triliun itu merupakan tahap awal," kata Komisaris Utama Riau Airline, Wan Syamsir Yus.
Riau Airlines sangat berharap atas dana seribu miliar rupiah itu. Sebab sejak perusahaan maskapai itu berdiri delapan tahun yang lalu, belum pernah meraih untung.
Yang ada malah kerugian yang mengakibatkan cicilan tunggakan utang yang harus dibayar diantaranya kepada pihak bank, bengkel pesawat, perusahaan penyewa pesawat dan asuransi.
Utang maskapai itu telah melewati angka Rp200 miliar, sedangkan total investasi dari 2002 hingga Juni 2010 tercatat Rp157 miliar lebih dari 20 pemegang saham, dan lebih dari 51 persen saham dikuasai Pemerintah Provinsi Riau.
Namun jangankan tiga hari atau tiga pekan, sebab tiga bulan lebih setelah perjanjian KSO itu, belum seperak uangpun dicairkan Cossen sehingga muncul tudingan perusahaan yang mengaku bergerak di jasa keuangan adalah "calo" karena ingkar janji.
Padahal sebelum KSO itu dilakukan, Riau Airlines telah berada di jalur yang tepat untuk segera ke luar dari krisis keuangan yang terus membelit yang diambil melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
RUPS yang digelar 17 Mei 2010 menyetujui suntikan Rp55,4 miliar guna memperbaiki kinerja Riau Airlines, serta rencana perusahaan melakukan KSO dengan salah satu perusahaan berbasis di Eropa untuk pengoperasi 21 pesawat Embraer sekaligus penyertaan modal Rp250 miliar.
Isu perpecahan
Tapi di tengah jalan kebijakan RUPS itu berubah seiring dengan janji manis Cossen, ditambah lagi tarik menarik kepentingan di pucuk pimpinan yang memuncul isu perpecahan di jajaran direksi.
Direktur Keuangan, Fizan Noordjaelani dan Direktur Komersial, Revan Menzano yang keduanya disebut-sebut kerabat dekat pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.
Kondisi itu tentunya membuat Direktur Utama, Teguh Triyanto dan Direktur Produksi, Capt Maman Syaifurrohman berada dalam kondisi yang serba sulit.
Perpecahan meruncing hingga menyeruak ke publik atas perbedaan menyikapi ancaman AeroCentury, perusahaan penyewaan pesawat Amerika Serikat yang segera menarik dua pesawat Fokker 50 karena sejak Agustus 2009 Riau Airlines telah menunggak uang sewa senilai Rp17 miliar.
Bahkan Fizan Noordjaelani, disebut-sebut bakal menggantikan posisi direktur utama dalam RUPS luar biasa yang digelar dalam waktu dekat, namun isu itu langsung dibantah dan begitu juga dengan perpecahan yang terjadi.
"Tidak, tidak benar isu (pergantian) itu dan saya tidak mau menjawab. Tidak ada perpecahan di tubuh direksi Riau Airlines, yang terjadi hanya perbedaan pendapat dalam menyelesaikan masalah," ujar Fizan Noordjaelani.
"Kami direksi masih kompak dan memiliki komitmen bersama untuk menyelesaikan permasalahan. Insya Allah pasti ada jalan ke luar," tambah Revan Menzano.
Walau saling bantah, tapi Riau Airlines kini hanya mengoperasikan dua pesawat Foker 50 masing-masing di Pekanbaru serta Nusa Tenggara Timur, dan masih dililit hutang termasuk dua bulan gaji karyawan plus tunjangan hari raya.
Jika Riau Airlines bernasib malang karena dinyatakan tutup atau pailit, maka pemegang saham perusahaan harus membayar semua utang yang ditinggalkan salah satu BUMD di Riau itu.
Tetapi sebaliknya, pemegang saham harus menyuntikkan modal lebih besar, atau mengembalikan memengang hasil RUPS terakhir kali dengan catatan salah satu perusahaan berbasis di Eropa masih berminat kepada Riau Airlines.
Jika tidak, maka Riau Airlines akan bernasib sama dengan si "Lebai Malang".