Adu Program Konkret Dalam Kampanye

id adu, program konkret, dalam kampanye

 Adu Program Konkret Dalam Kampanye

Jakarta (Antarariau.com) - Kampanye damai dalam Pemilihan Presiden 2019 telah disepakati baik oleh kubu petahana maupun kubu penantang, yang antara lain diwujudkan dalam bentuk adu gagasan, menghindari kampanye hitam dan negatif.

Gagasan yang dikampanyekan oleh kontestan dalam pemilihan presiden itu tentu akan dijelmakan baik lewat forum debat capres-cawapres, forum diskusi yang melibatkan tim pemenangan masing-masing kubu, yang pada akhirnya disiarkan baik dalam format tulisan maupun audio visual.

Gagasan yang disampaikan bisa dalam poin-poin abstrak yang diformulasikan dalam beberapa kalimat, yang pada tingkat konseptual, akan sulit dibedakan antara gagasan yang muncul dari petahana dan gagasan yang diajukan penantang.

Bisa dibayangkan betapa sulitnya untuk membedakan apa yang diajukan sebagai gagasan kampanye oleh salah satu kubu kontestan dengan kubu lawannya jika yang disampaikan adalah program peningkatan kesejahteraan rakyat dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja dan mempertahankan harga-harga kebutuhan pokok yang terjangkau oleh masyarakat, terutama yang berada di kelompok ekonomi pas-pasan.

Kenyataan bahwa program yang ditawarkan dalam kampanye masih sebatas program-program yang abstrak, yang masih belum dielaborasi secara rinci boleh jadi akibat waktu debat capres-cawapres belum dimulai. Faktor lain yang mengakibatkan belum adanya konkretisasi atas program abstrak itu adalah minimnya daya pukau bagi publik dalam menanggapi pesoalan itu.

Yang lebih menarik bagi publik adalah perdebatan antara kubu petahana dan penantang tentang kasus-kasus yang sedang menjadi isu kontroversial. Tampaknya, lewat peran pemandu wicara dalam program tayang bincang di televisi, perdebatan antara kubu petahana dan penantang lebih diminati publik.

Salah satu isu aktual yang menjadi debat antara kubu petahana dan penantang adalah soal pembatalan forum diskusi di Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) yang sedianya mendatangkan pembicara dua mantan menteri di Kabinet Kerja yakni Sudirman Said dan Ferry Mursyidan Baldan.

Dari debat-debat seperti inilah, pembicara yang mewakili masing-masing kubu kontestan pilpres kadang mengemukakan beberapa gagasan yang akan menjadi arah kebijakan masing-masing kubu.

Dalam pertarungan meraih kursi kepresidenan, posisi kubu petahana dan penantang dalam menyampaikan gagasan kampanye memang tak simetris. Artinya, publik tak begitu perlu atau membutuhkan uraian secara verbal lagi dari petahana untuk mengetahui program dan cara mengeksekusi program-program itu. Apa yang dikerjakan petahana selama masa lima tahun sebelumnya sudah dapat dijadikan representasi atau refleksi dari program masa kerja pemerintahan selanjutnya.

Sebaliknya, kubu penantang dituntut menawarkan gagasan tandingan yang bisa menarik minat publik. Di sinilah kubu penantang dituntut kejeliannya untuk mengeksplorasi aspek-aspek yang menjadi kekurangan kubu petahana selama menjalankan pemerintahannya.

Selama ini kubu penantang tentu sudah berkali-kali memperlihatkan kepada publik beberapa kelemahan atau kekurangan pemerintah. Beberapa hal yang sering menjadi sorotan adalah melemahnya nilai rupiah, pertumbuhan ekonomi yang belum sebesar yang dijanjikan, dan masih banyaknya angkatan kerja yang menganggur.

Yang menarik, baik kubu petahana maupun penantang tidak banyak yang mereka kemukakan sebagai program kerja di masa mendatang untuk perkara penegakan hukum atau penyelesaian masalah hak asasi manusia di masa lampau yang belum terselesaikan.

Hal ini tentu bisa dimaklumi secara politis. Artinya, problem mendesak saat ini adalah urusan riil yang menyangkut kesanggupan tiap individu memenuhi kebutuhan pokok keseharian mereka. Bagi kelompok masyarakat yang sudah melewati garis kemiskinan, target mereka adalah bisa meningkatkan status ekonomi mereka untuk meraih standar keluarga yang lebih sejahtera.

Dari sudut pandang ini, kedua kubu dalam kontes perebuatan kekuasaan pada 2019 ini sama-sama menekankan aspek kesejahteraan ekonomi di atas keadilan atau penegakan hukum.

Andaikan kubu penantang yang antara lain direpresentasikan oleh sosok Prabowo Subianto sebagai capres tidak pernah tersangkut perkara hukum di masa silam, meletakkan isu keadilan dalam penegakan hukum, baik masa kini, masa lalu dan masa depan dapat menjadi poin tersendiri yang menguntungkan kubu bersangkutan.

Kubu petahana yang dibangun lewat koalisi sejumlah partai, yang di dalamnya diwakili oleh anasir dari kalangan militer di era Orde Baru (Orba), juga tak leluasa untuk mengampanyekan tentang prioritas penyelesaian perkara hak asasi manusia di masa silam.

Dengan situasi demikian, baik kubu petahana maupun penantang agaknya akan sama-sama mengenyampingkan isu keadilan hukum dan lebih mengedepankan persoalan ekonomi.

Secara personal, bagi capres petahana yang tak punya latar belakang tersangkut perkara hak asasi manusia di masa lalu, pengangkatan isu hak asasi manusia dalam kampanye sesungguhnya akan memukau bagi aktivis HAM dan demokrasi. Dengan kata lain, Joko Widodo sebagai capres petahana tak bisa leluasa menjadikan perkara penegakan HAM sebagai salah satu program utamanya.

Meski demikian, kedua kubu tampaknya perlu menjadikan penegakan hukum dan HAM sebagai salah satu gagasan kampanye mereka. Sebab kasus-kasus HAM, terutama yang menyangkut kaum minoritas, masih terjadi dan jika diabaikan dapat merusak citra demokrasi di Tanah Air.