Rupiah Melemah Belum Tentu Ekonomi Lemah

id rupiah melemah belum tentu ekonomi lemah

Rupiah Melemah Belum Tentu Ekonomi Lemah

Sumber : Antaranews

Manado (Antarariau.com) - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus mengalami tekanan dalam beberapa pekan terakhir, bahkan sempat menyentuh angka Rp15.000 per dolar AS.

Jika dilihat sejarahnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Selasa (18/9) merupakan yang terlemah sejak krisis moneter (krismon) yang terjadi tahun 1998.

Kemudian, apakah situasi saat ini sama dengan kondisi krismon 20 tahun lalu? Atau apakah pelemahan rupiah saat ini bisa dikatakan ekonomi juga ikut melemah?

Pengamat ekonomi Agus T Poputra dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Sulawesi Utara (Sulut) itu menyatakan bukan ukuran jika rupiah yang lemah merupakan cermin lemahnya ekonomi Indonesia. Tidak menjadi ukuran perekonomian melemah pada saat rupiah lemah.

Dia menjelaskan saat krisis 1998, hampir seluruh indikator ekonomi Indonesia menunjukkan kondisi yang tidak baik. Contohnya, pertumbuhan ekonomi minus dan inflasi melambung tinggi.

Pertumbuhan pada tahun tersebut minus 13,1 persen, ekonomi betul-betul lemah. Nilai tukar mencapai Rp16.650 per dolar AS, padahal IHSG saat itu hanya 256 dan inflasi melambung sampai 82,4 persen.

Selain itu, lanjut dia, saat 1998 cadangan devisa Indonesia hanya 17,4 miliar dolar AS dan kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) melonjak hingga 30 persen.

Agus mengatakan suatu mata uang dikatakan lemah atau kuat ditentukan oleh tinggi-rendahnya fluktuasi atau volatilitas mata uang tersebut terhadap mata uang jangkar (sering dipakai US Dollar/dolar AS).

Jadi bukan ditentukan oleh perbandingan nominal mata uang tersebut dengan mata uang jangkar. Sebagai contoh, saat ini 1 dolar AS = Rp14.800-an dan 1 USD = 54-an Peso Filipina.

Ini tidak berarti Peso Filipina lebih kuat dari Rupiah karena perbandingan nominalnya lebih kecil melainkan harus dilihat ketajaman fluktuasi keduanya dalam kurun waktu tertentu.

Mata uang yang lebih tajam fluktuasinya menandakan mata uangnya lebih lemah. Walaupun Rupiah memperlihatkan tren menurun namun fluktuasinya relatif tidak tajam dan telah menunjukkan kondisi rebound dalam beberapa hari terakhir. Oleh sebab itu, Rupiah belum dapat dikategorikan dalam kondisi lemah.

Selanjutnya, apakah penurunan nilai Rupiah mencerminkan perekonomian yang lemah? Jawabannya adalah tidak selalu seperti itu. Di negara yang menganut perekonomian terbuka yakni rata-rata semua negara melakukan hal tersebut, nilai tukar suatu mata uang tidak semata-mata ditentukan oleh perekonomian riil, tetapi juga oleh transaksi di pasar keuangan.

Pada perekonomian terbuka, katanya, fungsi mata uang sebagai alat tukar tidak sekadar sebagai alat pertukaran dengan barang dan jasa tetapi juga dipertukarkan dengan mata uang negara lain. Jadi uang telah menjadi Komiditas seperti halnya makanan, pakaian, dan sebagainya.

Manakala uang telah bertransformasi menjadi komoditas, maka nilainya tidak hanya ditentukan oleh transaksi di pasar barang dan jasa, melainkan juga pada pasar keuangan.

Dalam pasar keuangan, nilai tukar suatu mata uang tidak saja ditentukan permintaan dan penawaran yang terkait dengan kebutuhan ekonomi riil tetapi juga aktivitas spekulasi maupun kepentingan lain, seperti politik dan sebagainya.

Dengan adanya kegiatan spekulasi dan kegiatan lainnya di luar kebutuhan ekonomi riil, maka nilai tukar tidak senantiasa mencerminkan kondisi perekonomian riil.

Bisa saja kondisi ekonomi riil cukup kuat namun mata uang berfluktuasi tinggi akibat pengembangan opini yang bertujuan menggoncang pasar keuangan.

Situasi ini pernah dialami Indonesia pada periode 1997-1998, yakni pasar keuangan Indonesia dimainkan para pelaku pasar keuangan internasional sebagai sanksi terhadap kondisi politik di negeri ini.

Walaupun nilai tukar tidak selalu menjadi cermin kondisi ekonomi riil, tetapi jika pelemahannya dibiarkan maka akan memengaruhi perekonomian riil dengan meningkatnya biaya impor. Bagi Indonesia yang memiliki impor yang relatif besar, maka hal ini perlu diwaspadai.

Untuk maksud tersebut, katanya, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya perlu melakukan kebijakan-kebijakan, seperti BI merealisasikan swap valas sebagai bentuk hedging terhadap utang pemerintah dan BUMN agar menjadi signal tentang berapa nilai tukar yang ingin dituju BI dalam jangka waktu tertentu dan memberikan kepastian bagi dunia usaha.

Menegakkan secara konsisten termasuk penerapan sanksi bagi pelanggar Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 yang mewajibkan transaksi domestik menggunakan Rupiah, dalam rangka mengurangi permintaan mata uang asing.

Kemudian, katanya, meramu kembali kebijakan devisa untuk memperkuat posisi BI atas lalu lintas devisa. Salah satunya adalah memperpanjang waktu endap devisa hasil ekspor di perbankan nasional.

Memperkuat cadangan devisa lewat pembelian emas moneter karena negara dengan cadangan devisa rendah umumnya rentan terhadap permainan para spekulan.

Memperluas kebijakan substitusi impor untuk barang yang banyak dikonsumsi masyarakat, tidak berhenti hanya pada bio-diesel.

Membuat kebijakan Inti-Plasma untuk mengintegrasikan usaha besar, menengah, dan kecil domestik yang berada dalam satu mata rantai produksi untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan menunjang Indonesian Incorporated.

Tegas dan konsisten dalam kebijakan hilirisasi. Kebijakan ini perlu ditunjang dengan percepatan pembangunan dan pemanfaatan infrastruktur terutama perhubungan dan listrik.

Menerapkan kembali kebijakan kewajiban local content serta melakukan pengawasan yang ketat. Ini berguna untuk mengurangi tekanan impor bahan baku.

Melakukan kampanye besar-besaran untuk menggunakan produk dalam negeri terutama lewat jalur pendidikan mulai dari sekolah dasar. Kampanye untuk peserta didik usia dini sangat dibutuhkan sebab pola pikir kelompok ini lebih mudah diarahkan.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulut Ivanry Matu mengatakan banyak faktor yang berakibat ekonomi melemah, tidak hanya pada isu pelemahan rupiah saja.

Tapi memang kenaikan dolar AS akan selalu berdampak pada ekonomi karena mulai dari ancaman inflasi, neraca perdagangan, hutang pinjaman negara, impor bahan baku pabrik, bahkan juga keadaan politik yang kesemuanya jika tidak dikendalikan dengan baik akan berdampak secara global dan massif pada kondisi ekonomi secara keseluruhan.

Jadi, katanya, pelemahan rupiah belum tentu menandakan bahwa ekonomi suatu negara itu lemah juga.

Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulut Soekowardojo menjelaskan sejauh ini baru memperbaiki balance sheet perusahaan ekportir. Dampak terhadap kenaikan volume ekspor sebagai akibat depresiasi belum dapat dilihat.

Mungkin, katanya, disebabkan juga faktor-faktor lain seperti daya beli/persaingan, ketentuan/kuota/kontrak yang sudah disepakati, sehingga tidak otomatis eksportir dapat menambah ekspornya.

Harapannya dengan pelemahan rupiah ekaportir dapat menentukan harga yang lebih kompetitif lagi sehingga meningkatkan daya saingnya di pasar ekspor dan pasti gilirannya mendorong permintaan.

Deputi Direktur Bidang Advisory dan Pengembang Ekonomi Kantor Perwakilan BI Sulut MHA Ridhwan mengatakan, masyarakat tidak perlu panik atau bereaksi emosional terkait pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, mengaitkannya dengan pengalaman krisis di masa lalu, yakni tahun 1998.

Karena berbeda dengan sebelumnya depresiasi nilai tukar Rp/USD saat ini terutama lebih disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu perang dagang AS-China, kenaikan suku bunga The Fed, kekhawatiran terhadap dampak rambatan pelemahan nilai tukar sejumlah negara Emerging, serta kenaikan harga minyak dunia.

Sementara itu, kondisi fundamental makroekonomi nasional kita masih relatif baik, yang terutama terlihat yakni pertumbuhan ekonomi masih meningkat, tumbuh di atas atau lebih dari 5 persen, inflasi yang relatif terjaga 3,2 persen, CAD/ current account deficits terhadap PDB sebesar 3 persen.

Diketahui, nilai tukar negara emerging tersebut telah mengalami pelemahan sepanjang tahun 2018 ini, yakni Argentina (52 persen), Turki (42 persen), Afsel (19 persen), Brazil (20 persen), India (11 persen), Tiongkok (5 persen), sementara jika dibandingkan Rupiah dalam periode yang sama baru mencapai 9 persen.

Fundamental makro yang relatif kuat ini juga mendapat dukungan dari Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings (Fitch) mengafirmasi peringkat Indonesia dalam level layak investasi (Investment Grade) pada 2 September 2018.

Namun demikian, menyikapi kondisi ketidakpastian ekonomi global saat ini dan masih adanya tekanan terhadap nilai tukar rupiah, respon kebijakan yang ditempuh adalah kebijakan nilai tukar Bank Indonesia ditujukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai fundamentalnya dengan tetap menjaga berjalannya mekanisme pasar.

BI tidak menargetkan nilai tukar pada level tertentu, namun menjaga volatilitas sehingga depresiasi nilai tukar rupiah dapat berlangsung secara gradual dan tidak menimbulkan risiko yang berlebihan terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Serta, katanya, memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan ketahanan eksternal.