Langkah Pemerintah Capai Listrik 35 Ribu Megawatt

id langkah, pemerintah capai, listrik 35, ribu megawatt

 Langkah Pemerintah Capai Listrik 35 Ribu Megawatt

Oleh Benardy Ferdiansyah

Jakarta, (Antarariau.com) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan dua target untuk mengatasi krisis listrik dalam rangka mengimbangi pertumbuhan ekonomi dan mendukung program pembangunan yang sedang dijalankan.

Target pertama, yaitu mencapai rasio elektrifikasi nasional 100 persen kemudian yang kedua meningkatkan kapasitas pembangkit 35.000 megawatt (MW) dalam lima tahun ke depan.

Rasio elektrifikasi sendiri adalah angka perbandingan rumah tangga yang sudah teraliri listrik.

Presiden mengharapkan, pada 2015 rasio elektrifikasi sudah mencapai 85 persen.

Namun, pada kenyataannya berdasarkan data dari Kementerian ESDM angkanya masih sekitar 80 persen hingga akhir 2013.

"Hal ini terjadi, lantaran suplai atau jumlah total pembangkit listrik masih jauh lebih sedikit dari pada kebutuhan akan listrik," kata Menteri ESDM, Sudirman Said dalam diskusi bertajuk "Daerah Darurat Listrik, Bagaimana Mencapai 35.000 MW?" di Jakarta (1/3).

Walaupun demikian, menurut Sudirman, rasio elektrifikasi nasional mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun.

"Pada 1980, rasio elektrifikasi hanya mencapai 8 persen, tahun-tahun berikutnya angka tersebut meningkat menjadi 28 persen pada 1990, 53 persen pada 2000, dan mencapai 65,10 persen pada akhir 2008," katanya.

Rasio Elektrifikasi Per Provinsi

Bila merujuk dari data yang dikeluarkan Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE), Kementerian ESDM, hanya 14 provinsi yang punya rasio elektrifikasi di atas 60 persen.

Berikut daftar provinsi-provinsi tersebut, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 76,98 persen, Sumatera Utara 69,68 persen, Sumatera Barat 69,37 persen, Bangka Belitung 72,88 persen, Banten 63,90 persen, Jakarta 100 persen, dan Jawa Barat 67,40 persen.

Selanjutnya, Jawa Tengah 71,24 persen, DI Yogyakarta 84,48 persen, Jawa Timur 71,55 persen, Bali 74,55 persen, Kalimantan Timur 68,56 persen, Kalimantan Selatan 72,29 persen, dan Sulawesi Utara 66,87 persen.

Sementara itu, 14 provinsi lainnya memiliki rasio elektrifikasi antara 41 sampai 60 persen antara lain Riau dan Kepri 55,84 persen, Jambi 51,41 persen, Bengkulu 51,46 persen, Lampung 48,82 persen, dan Sumatera Selatan 50,30 persen.

Kemudian, Kalimantan Barat 45,83 persen, Kalimantan Tengah 45,22 persen, Gorontalo 49,79 persen, Sulawesi Tengah 48,30 persen, Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan 55,20 persen, Maluku 54,51 persen, dan Maluku Utara 49,44 persen.

Menurut Sudirman, pemerintah akan membangun pembangkit listrik di wilayah dengan elektrifikasi rendah dengan target 3 juta rumah tangga pertahun sehingga dalam tempo lima tahun (2020), rasio elektrifikasi nasional bisa mencapai 99 persen.

"Contohnya, pemerintah akan membangun 10 pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTM) masing-masing dengan kapasitas 5 MW di Papua Tengah (Lembah Baliem) dan saat ini akses jalannya sedang dibangun sehingga pada 2018, 10 kabupaten Papua Tengah akan terlistriki dengan pembangkit 10 x 5 MW," katanya.

Berdasarkan data Kementerian ESDM pada 2013, kapasitas terpasang pembangkit listrik adalah 34.205,63 MW dengan rata-rata pertambahan 1.273 MW pertahun.

"Masih diperlukan peningkatan kapasitas lebih dari 100 persen untuk mencapai penambahan sebesar 35.000 MW atau rata-rata 7.000 MW pertahunnya," kata Menteri ESDM.

Ia menuturkan, pembangunan tenaga listrik sebesar 35.000 MW merupakan kebutuhan listrik sesuai target pertumbuhan ekonomi yang mendekati 6 persen pertahun.

"Untuk memenuhi target tersebut, maka dibutuhkan pertumbuhan listrik sebesar 1,5 persen di atasnya atau sekitar 7,5 sampai 8 persen pertahun," katanya.

Langkah Konkret

Menteri ESDM mengatakan, untuk mencapai target tersebut bukan hal yang mudah sebab dalam pembangunan pembangkit listrik sering terlambat oleh barbagai masalah, misalnya pengadaan lahan, perizinan, kemampuan kontraktor, dan berbagai urusan hukum lainnya.

"Pemerintah harus membangun pembangkit baru untuk mencukupi kebutuhan lima tahun ke depan karena PLN hanya mampu membangun pembangkit dengan kapasitas 14.600 MW, maka pemerintah membuka keterlibatan pihak swasta," tuturnya.

Ia menjelaskan, ada empat langkah konkret yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi target tersebut.

Langkah pertama adalah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk mempermudah investor yang akan menanamkan modalnya.

"Pemerintah membentuk PTSP tersebut untuk melayani 134 kelompok perizinan dari 1.249 bidang usaha termasuk kelistrikan dan kawasan industri," katanya.

Lebih lanjut, kata Sudirman, semua proses perizinan yang di pusat bisa langsung ke BKPM dan di sana juga ada kementerian-kementarian yang terkait dengan proses pembangunan pembangkit listrik, misalnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Layanan PTSP dimulai pada 15 Januari 2015 di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan 19 kementerian atau lembaga sudah menempatkan petugas penghubung di BKPM.

Sampai akhir Januari 2015, sudah ada 9 investor yang siap menanamkan modalnya di bidang pembangkit listrik.

Selanjutnya langkah kedua, kata Sudirman tentang regulasi ESDM, yaitu Permen ESDM No. 3/2015 dan Kepmen ESDM No. 0074 K/21/MEM/2015 yang tengah disosialisasikan oleh Ditjen Ketenagalistrikan.

"Permen ESDM No. 3/2015 mengatur tentang prosedur pembelian tenaga listrik dan harga patokan pembelian tenaga listrik oleh PT PLN melalui pemilihan langsung dan penunjukan langsung," tuturnya.

Sedangkan Kepmen ESDM No. 0074 K/21/MEM/2015 merupakan pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN tahun 2015-2024.

"Kedua regulasi ini, disusun untuk meningkatkan kapasitas pembangunan tenaga listrik nasional, khususnya untuk mendorong pembangunan pembangkit listrik melalui mekanisme Independent Power Producer (IPP)," kata Menteri.

Kemudian langkah ketiga yang perlu diambil adalah memberlakukan UU No. 2/ 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

"Saya meminta agar nantinya pemerintah bisa ikut serta dalam menyelenggarakan pembebasan lahan," kata Sudirman.

Selanjutnya, langkah keempat terkait negosiasi harga dengan menetapkan harga patokan tertinggi untuk IPP serta pemerintah akan berusaha menunjuk dan memilih IPP tanpa harus melalui tender.

"Percepatan dengan tunjuk langsung dan pemilihan langsung untuk Energi Baru Terbarukan (EBT), mulut tambang, gas marginal, dan eskpansi," katanya.

Ia juga mengatakan, dalam rangka percepatan pembangunan listrik 35 ribu MW tersebut, tidak cukup dibebankan kepada Kementerian ESDM dan PLN.

"Karena banyak "stakeholder" yang terlibat, jadi sangat penting untuk koordinasi satu sama lain dalam rangka percepatan tersebut," katanya.

Berikut data dari Kementerian ESDM terkait jumlah program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW (2015-2019) di tujuh wilayah Indonesia.

Sumatera sebesar 8.700 MW, Jawa dan Bali 20.900 MW, Nusa Tenggara 700 MW, Kalimantan 1.870 MW, Sulawesi 2.700 MW, Maluku 280 MW, dan Papua 340 MW.