Brussels (ANTARA) - Pada pertemuan puncak yang diadakan di Brussels, Kamis (27/6) setelah pemilihan Parlemen Eropa (EP), diumumkan nama-nama yang akan memimpin Uni Eropa (UE) untuk lima tahun ke depan.
Para pemimpin UE memilih Antonio Costa sebagai Presiden Dewan Eropa, Ursula von der Leyen sebagai Presiden Komisi Eropa dan Perdana Menteri Estonia Kaja Kallas sebagai Perwakilan Tinggi UE untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan.
Antonio Costa
Memulai karirsebagai pengacara, Costa terpilih sebagai anggota parlemen dari Partai Sosialis Portugal pada 1991. Dia diangkat menjadi menteri urusan parlemen pada 1997.
Costa menjabat sebagai menteri kehakiman dari 1999 hingga 2002 dan memimpin Kelompok Parlemen Partai Sosialis antara 2002 dan 2004.
Karir Costa di Uni Eropa dimulai pada 2004. Dia menjadi anggota Parlemen Eropa dari Partai Sosialis dan menjabat sebagai Wakil Presiden EP pada 2004-2005.
Kemudian, Costa diangkat menjadi menteri dalam negeri Portugal, sebelum terpilih menjadi walikota Lisbon pada 2007, 2009, dan 2013. Dia juga menjabat sebagai anggota Komite Kawasan Eropa pada 2010 hingga 2015.
Costa mencalonkan diri sebagai pemimpin Partai Sosialis pada pemilu legislatif 2015 namun kalah. Namun demikian, Costa membentuk aliansi dengan partai oposisi sayap kiri dan memimpin pemerintahan koalisi, menjadi perdana menteri untuk pertama kalinya.
Costa menjabat sebagai perdana menteri Portugal dari November 2015 hingga Juli 2023, ketika dia mengundurkan diri karena penyelidikan terhadap dirinya sehubungan dengan tuduhan korupsi dalam tender umum terkait litium dan hidrogen hijau.
Terpilihnya Costa sebagai Presiden Dewan Eropa mengejutkan beberapa pihak, mengingat penyelidikan yang sedang berlangsung terhadapnya.
Costa akan memimpin dewan tersebut, badan pengambil keputusan yang terdiri dari para pemimpin negara-negara anggota UE, dan akan menjadi tuan rumah pertemuan puncak untuk menentukan arah dan prioritas politik UE secara keseluruhan.
Ursula von der Leyen
Karir politik Von der Leyen dimulai pada 1990 ketika dia bergabung dengan partai Persatuan Demokratik Kristen Jerman (CDU), menjadi anggota Parlemen Lower Saxony dan memegang berbagai posisi menteri di pemerintahan negara bagian.
Pada 2005, Von der Leyen mulai mengambil bagian dalam pemerintahan federal ketika dia ditunjuk sebagai menteri urusan keluarga dan pemuda di kabinet saat Angela Merkel menjabat sebagai Kanselir.
Kemudian, dia diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Sosial pada 2009 hingga 2013.
Von der Leyen menjadi menteri pertahanan perempuan pertama Jerman pada 2013, posisi yang dia pegang hingga 2019.
Perjalanannya menjadi presiden Komisi Eropa dimulai dengan pencalonannya pada Juli 2019. Politisi berpengalaman itu menjadi perempuan pertama yang terpilih sebagai presiden komisi tersebut pada 1 Desember 2019, dengan dukungan mayoritas EP dan pemimpin UE.
Dia dikritik karena proses pengadaan dan distribusi vaksin pertama di UE yang tertunda selama pandemi COVID-19, dan dorongannya terhadap kebijakan iklim yang ambisius mendapat tentangan dari beberapa negara anggota dan partai sayap kanan yang khawatir akan dampak ekonominya.
Sikap Von der Leyen dan sikapnya yang pro-Israel setelah serangan Israel di Gaza pada 7 Oktober 2023 memicu reaksi dari masyarakat Eropa serta pemerintahan Uni Eropa dan Parlemen Eropa.
Sebagai salah satu pemimpin pertama yang berkunjung ke Israel pada awal serangan, pernyataan Von der Leyen menekankan "hak Israel untuk mempertahankan diri" meski ada korban sipil yang dipandang sebagai penyimpangan dari kebijakan Uni Eropa yang secara tradisional seimbang antara Israel-Palestina.
Sikap Von de Leyen memicu tuduhan bias dan ketidakpekaan terhadap krisis kemanusiaan yang dihadapi warga sipil Palestina.
Serangan Israel telah menewaskan sedikitnya 37.834 warga Palestina di Gaza, yang kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-ana, dan melukai lebih dari 86.800 lainnya, menurut otoritas kesehatan setempat.
Von der Leyen akan memimpin komisi tersebut, yaitu badan eksekutif UE, yang akan memulai proses legislatif dengan mengusulkan undang-undang, melaksanakan akuisisi dan anggaran, serta melakukan pengawasan administratif.
Kaja Kallas
Kallas, yang akan menjabat sebagai perwakilan tinggi Uni Eropa untuk urusan luar negeri dan kebijakan keamanan selama lima tahun, juga merupakan perdana menteri perempuan pertama di Estonia.
Putri mantan perdana menteri Estonia dan komisaris UniEropa Siim Kallas, Kallas memutuskan untuk mengikuti jejak ayahnya dengan berhenti dari pekerjaannya sebagai pengacara dan masuk Parlemen Estonia pada 2011 sebagai anggota Partai Reformasi liberal.
Dia bertugas di Parlemen Eropa dari 2014 hingga 2018.
Kallas kembali ke negara asalnya pada 2019 dan kembali menjadi anggota parlemen serta terpilih sebagai perdana menteri pada pemilu 2021.
Perang Rusia-Ukraina yang meletus saat dia baru menjabat perdana menteri selama satu tahun menjadi titik balik karir Kallas.
Kallas yang menonjol dengan retorika anti-Rusia sejak dia menjabat sebelum perang, kemudian dikenal sebagai "wanita besi" baru di Eropa.
Mendesak untuk memberikan dukungan tanpa syarat kepada Ukraina serta menyatakan sikap yang lebih keras terhadap Rusia, dia menjadi sasaran Kremlin. Rusia memasukkan Kallas ke dalam daftar orang yang dicari pada Februari 2024.
Kallas, yang disebut-sebut sebagai sekretaris jenderal NATO yang baru pada bulan-bulan berikutnya, menyatakan ketertarikannya pada posisi itu, namun gagasan bahwa pemimpin yang masuk dalam daftar buronan Rusia akan semakin memperburuk hubungan.
Kallas, yang merupakan perwakilan tinggi UE yang baru, adalah politisi Eropa Timur pertama yang memegang posisi tersebut. Dia juga akan menjadi politisi Estonia pertama yang memegang jabatan penting dalam pemerintahan Uni Eropa.
Kallas akan bertanggung jawab atas kebijakan luar negeri dan keamanan Uni Eropa dan juga akan menjabat sebagai wakil presiden Komisi Eropa.
Sumber: Anadolu
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Uni Eropa umumkan pemimpin baru blok selama 5 tahun mendatang