Pengamat: Presiden yang terpilih harus akselerasi program transisi energi

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara, transisi energi

Pengamat: Presiden yang terpilih harus akselerasi program transisi energi

Dokumentasi - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi. ANTARA/instagram @fahmyradhi/pri (ANTARA/instagram @fahmyradhi)

Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyebutkan presiden yang terpilih dalam Pilpres 2024 harus melanjutkan dan mengakselerasi program transisi energi.

Pasalnya, menurut Fahmy, program transisi energi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum mencapai target-target yang ditetapkan.

"Siapa pun presiden terpilih yang menggantikan Jokowi, harus melanjutkan dan mengakselerasi program transisi energi. Target yang harus dicapai dalam program transisi energi itu adalah pencapaian net zero emission pada 2060," katanya dalam keterangan di Jakarta, Senin.

Fahmy menyebutkan bauran energi baru terbarukan (EBT) pada akhir 2023 baru mencapai 12,8 persen, masih cukup jauh dari target sebesar 23 persen pada 2025. Terlebih, pada 2030 target meningkat menjadi sebesar 44 persen.

Ia mengungkapkan PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sesungguhnya sudah melakukan berbagai upaya untuk mendorong transisi energi.

PLN, misalnya, cukup berhasil dalam pengembangan EBT dengan telah diselesaikannya 28 pembangkit EBT baru. Program itu di antaranya program dedieselisasi dengan pembangunan jaringan transmisi dan jaringan distribusi hingga pengembangan hidrogen hijau pada tahun 2023.

"Salah satu upaya transisi energi yang paling fenomenal yakni diresmikannya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata dengan kapasitas 192 megawatt peak (MWp). Namun, program pensiun dini PLTU batu bara belum diselesaikan lantaran kesulitan penyediaan dana," katanya.

Sementara itu, Pertamina sejak beberapa tahun lalu sudah mengusahakan biodiesel, yang merupakan percampuran solar dengan minyak sawit.

Program tersebut dimulai dengan B20, yang meningkat ke B35, dan naik menjadi B40. Namun, program tersebut kemudian berhenti lantaran ENI, mitra usaha dari Italia, menghentikan kerja sama dengan Pertamina.

"Pengembangan biodiesel selain tidak dapat dicapai, program EBT berbasis sawit juga berpotensi bertabrakan dengan program pangan untuk menghasilkan minyak goreng," imbuhnya.

Demikian juga dengan program gasifikasi Pertamina, yang mengolah batu bara menjadi gas, juga mengalami kegagalan setelah mitra usaha dari Amerika Serikat hengkang dari Indonesia.

Oleh karena itu, menurut Fahmy, penting untuk melanjutkan dan mengakselerasi program transisi energi demi menunjang target netral karbon pada 2060.

Baca juga: Di COP28, PLN galang kolaborasi global dukung pendanaan transisi energi di Tanah Air

Baca juga: Lanjutkan kepemimpinan transisi energi ala Indonesia, PLN siap jalin kolaborasi di COP 28 Dubai