Ketika Gajah Dipaksa Keluar Dari Habitatnya

id ketika gajah, dipaksa keluar, dari habitatnya

Hewan bongsor itu keluar dengan bergerombolan. Mereka

bukan tengah berekreasi, namun terpaksa ke luar dari habitat aslinya karena

kelaparan dan kian menyempitnya lahan hutan hunian mereka akibat maraknya

perambahan.

Begitulah peristiwa yang kerap terjadi di Kecamatan Pinggir, Kabupaten

Bengkalis, Riau. Akibatnya adalah kerusakan rumah, tanaman kebun, dan kecemasan

warga untuk tinggal di pedesaan setempat.

Korban luka-luka bahkan meninggal dunia pun tak terelakkan. Peristiwa ini

terjadi berulangkali dalam beberapa tahun terakhir di sebuah desa yang berada

tepat di bibir hutan Kabupaten Bengkalis atau di kawasan konservasi SM Balai

Raja yang kini hanya tersisa sekitar 500 hektare dari belasan ribu hektare

sebelumnya.

Namun demikian, pada perkembangan terakhir di bulan Mei 2010 ini, seekor anak

gajah yang tertangkap di perkebunan sawit oleh pihak berwajib (pemerintah-red),

oleh masyarakat setempat diminta untuk dibebaskan karena dia tidak mengganggu

dan tidak membahayakan warga. Justru menurut warga di sana, apabila anak gajah

itu ditangkap dan induk gajah itu mencarinya di sekitar permukiman maka akan

lebih membahayakan keselamatan warga setempat.

Penjelasan dan pemahaman yang sangat sederhana yang teruraikan dari pemikiran

masyarakat bila kawanan gajah liar sudah keluar dari habitatnya adalah

disebabkan oleh dua realita.

Yang pertama, karena habitatnya sudah tidak layak untuk hidup akibat dirusak

oleh manusia dengan penebangan hutan dan bahkan pembalakan liar secara

besar-besaran. Realita yang kedua adalah karena manusia dengan sengaja

membangun gedung industri dan permukiman di kawasan tempat di mana rombongan

gajah itu melintas untuk mencari makan dalam siklus hidupnya.

Realita ini menimbulkan berbagai pertanyaan, di antara kedua sebab tersebut,

apa sebenarnya yang terjadi dengan hewan yang dilindungi negara itu? Mengapa

gajah keluar dari habitatnya menuju ke perkebunan bahkan melintasi permukiman

manusia?

Berdasarkan penelusuran ANTARA, pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda di

tahun 1607 sampai degan 1636, gajah sangat bermanfaat dan mempunyai nilai

ekonomis yang tinggi. Selain menjadi kendaraan kehormatan raja, pasukan darat

Sultan Iskandar Muda juga mengandalkan kekuatan pasukan gajah untuk menaklukkan

lawan perangnya.

Bahkan ekspansi penguasaan atas wilayah semenanjung Malaya seperti Johor dan

sekitarnya dilakukan dengan pasukan gajah ini, dan telah membuat pasukan asing

dari Spanyol dan Portugis gentar. Pasukan gajah pada masa itu siap tempur

menghadapi letusan senjata api dan meriam yang kerap membuat kebanyakan mereka

teluka hingga tewas.

Kala itu gajah diperlakukan hampir sama seperti manusia oleh bangsa kerajaan.

Sebagai contoh, pada zaman itu, gajah jantan yang memiliki tubuh dan bulu yang

ideal yang dapat memenangkan sebuah pertempuran, akan mendapatkan imbalan

seekor gajah betina yang molek pula untuk dijadikan selir. Sedangkan bila gajah

itu kembali dengan kegagalan ditambah dengan kondisi tubuh yang kurang ideal,

maka gajah itu akan diperlakukan sebaliknya, dan akan mendapatkan hukuman.

Pada zaman kerjaan itu, gajah bukanlah hewan liar yang ganas. Justru

sebaliknya, berdasarkan cerita kuno yang dikutip dari sebuah buku `traciusang`

berjudul `kerajaan gajah`, kawanan gajah pada zaman itu merupakan hewan raksasa

yang paling dekat dengan manusia. Pemanfaatan gajah dilakukan masyarakat pada

zaman itu untuk bertani, berkebun, dan yang paling handal, gajah yang

sebelumnya telah dijinakkan biasanya digukan sebagai transportasi angkut barang

dan manusia.

Pada masa itu kebanyakan gajah liar, atau gajah yang belum pernah bersentuhan

langsung dengan manusia bukan hanya dilindungi secara hukum, namun perlindungan

gajah liar pada waktu itu juga cenderung ke pelestariannya dengan menjaga

keutuhan habitat hewan belalai itu mulai dari pelestarian hutan dan mengawasi

gerak-gerik gajah liar agar tetap nyaman di habitat aslinya.

Cerita tersebut berbeda dengan yang terjadi terhadap hewan balalai itu saat

ini. Di zaman modern sekarang, kebanyakan manusia memilih untuk melakukan

perburuan gelap terhadap gajah liar yang dilindungi negara itu. Perlahan, sejak

perburuan manusia yang dilakukan secara terus menerus itu, gajah-gajah kini

mulai berkurang, dan bahkan terancam punah.

Sebagai contoh, pada pertengahan April-Mei 2010, di Desa Petani, Kecamatan

Pinggir, Bengkalis, kawanan gajah liar masuk keperkebunan warga dan

mengobrak-abrik tanaman masyarakat di sana.

Kedatangan segerombolan gajah itu mengakibatkan sedikitnya seribuan hektare

perebunan milik warga rusak. Beberapa warga Desa Petani pada saat itu mengalami

luka-luka akibat diterjang kawanan hewan bertubuh bongsor itu saat (warga)

melakukan aktivitas di kebun.

Kejadian tersebut, bukanlah yang pertama terjadi. Sebelumnya, di hari, bulan,

tahun dan tanggal yang berbeda, sejak didirikannya pedesaan di bibir hutan

tempat kawanan gajah itu tinggal, konflik sudah dimulai. Hampir setiap tahun,

korban tewas baik dari gajah maupun manusia terus berjatuhan.

Ironisnya, hal ini belum menjadi perhatian utama pemerintah daerah setempat,

untuk memikiran bagaimana caranya menghentikan konflik mematikan itu.

Sampai sekarang, kedua pihak, baik gajah maupun warga Desa Petani, terus

berupaya, saling teror dan sempat terjadi saling bunuh dalam kurun waktu

beberapa pekan lalu, saat seekor gajah dewasa ditemukan tewas tanpa gading, dan

seorang anak manusia warga Desa petani berusia 14 tahun meninggal dunia setelah

diterjang puluhan gajah yang melintas di desa tersebut pada petang hari.

Kematian Satu Sama

Satu kematian untuk gajah, satu kematian pula untuk manusia. Manusia dan gajah

di Kecamatan Pinggir dan Mandau, Kabupaten Bengkalis sama-sama mati gara-gara

berebut lahan. Penyebabnya dimulai dari hilangnya kawasan konservasi gajah

bernama Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja seluas 18 ribu hektare yang diubah

jadi sebuah kota kecil. Tempat berdirinya Kantor Camat Pinggir, Pabrik Kelapa

Sawit, dan pemukiman penduduk yang saat ini sudah menjadi sebuah pedesaan

bernama Desa Petani.

Kematian manusia akibat diinjak gajah jika dilihat data 2007, 2008 dan akhir

2009, berbanding lurus jumlahnya dengan kematian gajah.

Misalnya kematian Ronal (43) di tahun 2009, hanya berselang satu bulan dengan

kematian seekor gajah di Balai Pungut, Kecamatan Pinggir. Gajah itu mati dalam

keadaan kaki dan belalainya terjerat kawat, sementara gadingnya menghilang.

Selanjutnya, kematian Posimbi (35) di tahun 2008, berselang dua bulan dengan

kematian seekor gajah, yang mati dalam keadaan ditusuk benda tajam semacam

tombak. Data terakhir, adalah kematian Riri (14) yang berselang sepekan setelah

kematian seekor gajah betina dengan tubuh yang koyak akibat sabetan senjata

tajam.

Gajah dan manusia sama-sama mati di tempat ini untuk mempertahankan arealnya

masing-masing bagi kelangsungan hidupnya masing-masing pula.

Awal Saling Bunuh

Tidak ada data pasti sejak kapan peristiwa saling bunuh antara gajah dan

manusia itu terjadi. Namun dugaan kuat, peristiwa saling bunuh itu mencuat

setelah gajah di kawasan itu makin terdesak di habitatnya. Bahkan benteng

terakhir mereka yang dilindungi Undang-undang berupa SM Balai Raja seluas 18

ribu hektare yang terletak di Kecamatan Pinggir pun telah disulap menjadi

sebuah kota kecil.

Di kawasan yang ditetapkan menjadi kawasan konservasi gajah sejak tahun 1986

hingga saat ini tersebut telah berubah menjadi kawasan kantor camat, perkebunan

dan pabrik kelapa sawit serta permukiman penduduk.

Bagaimana hal itu bisa terjadi dan siapa yang bersalah atas hilangnya kawasan

itu? Tak ada satu pihak pun yang mengaku bertanggung jawab akan hilangnya

kawasan konservasi itu.

Namun berdasarkan penelusuran data yang dilakukan ANTARA, diketahui jauh

sebelum areal tersebut ditunjuk sebagai kawasan konservasi, PT Caltec Pacific

Indonesia yang kini bernama PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) telah beroperasi

pada tahun 1973. Mereka juga telah mendirikan sekolah di Desa Pinggir sebagai

program pengembangan masyarakat.

Kawasan konservasi itu juga dibangun di atas kawasan eks HPH PT Chandra,

sehingga di dalam kawasan itu sudah ada jalan-jalan operasional. Kondisi itu

membuat kawasan tersebut dari awal sudah rawan terhadap kegiatan perambahan.

Untuk mengantisipasi kerawanan itu, pada tahun 1993 dilakukan penataan batas

kawasan sepanjang 51 KM. Pada tahun 1993 itu berhasil dituntaskan tata batas

sepanjang 33,72 KM. Dalam penataan batas itulah diketahuilah bahwa di dalam

kawasan telah berdiri sejumlah kebun karet dan sawit. Bahkan naasnya pada tahun

1995, pos jaga untuk kawasan SM Balai Raja itu dibakar oleh pihak tertentu,

tidak diketahui motif dan tujuan pastinya.

Namun, karena telah ditunjuk sebagai kawasan konservasi maka kawasan tersebut

tetap harus dipertahankan. Untuk itulah tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam

(BKSDA) melakukan patroli dan operasi gabungan di kawasan itu, walau tidak

secara rutin.

Mengingat ada ancaman perambahan terhadap kawasan itu, pada tahun 1996

dikeluarkan surat kepada Kepala Inspektur Wilayah Provinsi Riau agar

menertibkan kepala desa yang mengeluarkan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) di

kawasan konservasi tersebut. Itu sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam

Negeri Nomor 593/1984, bahwa kepala desa dan camat tidak memiliki kewenangan

untuk memberi izin pembukaan tanah.

Selanjutnya, pada 2001, Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Riau juga

menyurati bupati walikota se-Riau untuk memberitahukan kawasan konservasi di

masing-masing wilayah. Mereka juga diminta berperan dalam menjaga keberadaan

kawasan konservasi yang ada.

Namun, bukan tanggapan positif yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab)

Bengkalis. Pemkab Bengkalis justru mulai 2002 mulai membangun pabrik kelapa

dawit dan Kantor Kecamatan Pinggir di kawasan Konservasi Balai Raja itu. Bahkan

pemberitahuan secara lisan oleh petugas lapangan BKSDA tidak dipedulikan.

Pada Desember 2003 digelar rapat koordinasi penanganan masalah perambahan hutan

di SM Balai Raja. Rapat itu dipimpin oleh Jhon Kenedie selaku Kepala BKSDA Riau

dan turut dihadiri oleh Fadrizal Labai dari Dinas Kehutanan, Abdul Hamid

mewakili Dinas Kehutanan Bengkalis, dan berbagai instansi terkait termasuk

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan kepolisian.

Dalam pertemuan itu disepakati di antaranya, komitmen untuk mengatasi

perambahan, membentuk tim inventarisasi, dan melaksanakan upaya penanganan

secara tegas terhadap pelaku perambahan. Namun butir-butir kesepakatan itu

tidak terealisasi sampai saat ini.

Itulah sebabnya kini, dari sekitar 18 ribu hektare kawasan konservasi SM Balai

Raja yang tersisa hanya sekitar 500 hektare. Itu pun adalah Hutan Lindung

Talang yang terletak di tepi Kompeks Perumahan Talang Chevron. Selebihnya

kawasan konservasi yang membentang dari Kantor Camat Pinggir hingga ke Hutan

Lindung Talang telah berubah menjadi sebuah kota kecil yang dilengkapi berbagai

fasiltas umum termasuk pabrik kelapa sawit, kebun kelapa sawit dan perumahan

penduduk yang terus meluas.

Seiring dengan itu, kawasan konservasi gajah lainnya yang letaknya tak jauh

dari SM Balai Raja yakni Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebanga, Duri, seluas 5.873

hektare juga terdegradasi. Tempat sekolah gajah itu sempat dibakar dan dirambah

secara besar-besaran hingga akhirnya tidak bisa dipertahankan. Kawanan gajah

itu akhirnya ditumpang-titipkan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Kasim (SSK)

yang kemudian dikenal dengan nama PLG Minas.

Sejak hilangnya dua kawasan konservasi di wilayah Kecamatan Mandau dan Pinggir

itulah diperkirakan konflik antara gajah dan manusia di dua kecamatan itu

menjadi-jadi.

Tanaman pertanian yang siap panen di kawasan itu kerap kali dijarah gajah.

Sesekali rumah penduduk yang kebanyakan terbuat dari papan pun

diluluhlantakkannya.

Kalau sudah begini, siapa yang salah, dan siapa pula yang harus bertanggung

jawab?