Gadis Bungsu Itu Kini Tinggal Kenangan

id gadis bungsu, itu kini, tinggal kenangan

Warga Kota Dumai, Riau, pekan lalu dihebohkan dengan kasus pembunuhan terhadap seorang ibu dan anak gadisnya yang baru menginjak remaja, Tianova alias Nova (16).

Sekitar 16 tahun lalu, tepatnya tanggal 19 November 1995, di sebuah desa terpencil di Selatpanjang, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, lahir seorang bayi perempuan mungil dari rahim seorang ibu bernama Rostina alias Tina.

Bayi tersebut merupakan anak ke empat yang muncul melalui rahimnya yang kokoh. Sebelumnya, wanita berusia 44 tahun ini juga telah melahirkan dua anak laki dan seorang anak perempuan. Masing-masing bernama Ariawan, 22 tahun. Saat ini anak tertua Tina tengah melanjutkan pendidikan di salah satu universitas yang ada di Ibu Kota Provinsi Riau, Pekanbaru.

Anak kedua dari bunda Tina bernama David. Usianya kini sekitar 19 tahun, dan baru juga akan melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. Selanjutnya kakak si bungsu bernama Fitrianingsih. Usianya baru beranjak 18 tahun dan tengah bersiap menyelesaikan materi pendidikan formal di sekolah menengah atas (SMA).

Keluarga Tina menurut banyak warga merupakan keluarga yang harmonis. Keceriaan merupakan hal yang utama. Meski sang suami, Jery, hanya bekerja 'mocok' sana-sini dengan penghasilan yang tak tetap, kegigihannya terbukti telah mampu menyekolahkan anak dan menghidupi seluruh anggota keluarga.

"Anak yang membuat saya semangat bekerja sana-sini," kata Jery.

Entah berapa juta keringat yang menetes dari keningnya, tapi dia mengakui tak pernah merasa letih, sekalipun harus membanting tulang yang saat ini mungkin sudah mulai keropos.

"Keluarga kami dulu sangat harmonis. Kalau pun ada keributan, itu biasanya cepat teredam," kata Tina dengan nada terpatah-patah.

Keributan terbesar yang sempat dialami selama 25 tahun pernikahan sepasang suami istri Jery-Tina ini, hanya sekali terjadi. Peristiwa itu dimulai dari permintaan kakak kandung Tina, Lilis Suryani yang berada di Kota Dumai.

Waktu itu, sekitar tiga bulan setelah kelahiran si bungsu, Nova. "Kakak saya memintanya untuk mengangkat anak bungsu saya itu sebagai anak. Karena saya sudah terlanjur cinta dengan Nova, saya nggak mau memberikannya," kata Tina mendampingi Jery.

Wanita yang mengenakan daster hitam bermotif bunga-bunga ini terlihat lesu mendampingi sang suami yang tegar. Sedikit gemetar, namun sang ibu berambut ikal ini tetap melanjutkan kisah hidup keluarganya.

Sekitar tiga bulan kemudian, ketika umur si bungsu beranjak enam bulan, Tina mencoba untuk melawan hatinya demi keutuhan tali persaudaraan bersama sang kakak, Lilis Suryani.

"Saya nggak mau hubungan saudara saya putus. Waktu itu, kakak saya ini terus memohon untuk membiarkan kami melepas Nova ke tangannya. Kondisi waktu itu sangat wajar, karena selama 10 tahun dia menikah, tidak diberkahi anak," ujar wanita ini.

Niat untuk melepas si bungsu kemudian disampaikan ke sang suami. Jery yang kian menyayangi darah daging terakhirnya itu, tetap bersikeras agar si bungsu tetap melengkapi kautuhan keluarga.

"Sempat terjadi keributan besar waktu itu. Tapi setelah saya jelaskan pelan-pelan, akhirnya suami saya ini mengalah," tutur Tina.

Akhirnya, dua bulan kemudian, setelah si bungsu berusia sekitar delapan bulan dan diberi nama "Tianova Risayulbi", Tina dan Jery kemudian meluncur ke Kota Dumai untuk menemui sang kakak, Lilis Suryani. Dengan berat hati, Jery dan Tina akhirnya menyerahkan Nova ke tangan sang kakak.

"Sejak itu, hati saya sebenarnya sudah hancur. Tapi kondisi itu terus terobati saat saya berkunjung ke rumah kakak dan menemui Nova," kata Tina yang mulai meneteskan air mata.

Untaian nada yang keluar dari wanita ini juga semakin berantakan. Wajahnya memerah bak buah delima yang masak merekah. Gerak tubuhnya pun mulai menggambarkan rasa kegelisahan yang begitu hebat.

Tiga tahun berlalu. Desakan ekonomi akhirnya membawa keluarga Jery hijrah ke tanah kelahiran Tina di Pariaman, Provinsi Sumatra Barat.

Jarak antara Pariaman dan Kota Dumai berkisar 350 kilometer. Kondisi tersebut memaksa Jery dan Tina untuk tidak lagi rutin menemui si bungsu yang terlanjur mengenal sang kakak, Lilis Suryani, sebagai ibu kandungnya.

"Waktu di Selatpanjang, setiap bulan saya selalu berkunjung ke rumah kakak saya untuk menjenguk Nova. Tapi setelah pindah ke kampung istri saya di Pariaman, kami hanya dapat menemui Nova setahun sekali.

Kalau nggak waktu lebaran Idul Fitri, ya, waktu libur panjang anak sekolah," kata Jery menyambungkan pernyataan sang istri yang duduk kaku tepat bersebelahan dengan pria berkumis ini.

Sekitar 13 tahun berlalu, umur Nova pada 2011 genap 16 tahun. Masa remaja perempuan manis ini banyak tersita oleh berbagai kegiatan sekolah di SMA Negeri 1 Kota Dumai.

"Sejak dia remaja, kita terakhir kali bertemu dengan Nova lebaran kemarin (Idul Fitri 2010-red). Waktu itu dia sempat cerita kalau ingin menjadi dokter," kata Tina sembari menunjukkan raut wajah yang samar memucat.

"Cita-cita dia itu belum lagi kesampaian, tapi dia sudah pergi. Tapi bukan itu, bukan itu. Yang paling saya sesalkan, Nova belum tahu siap ibu kandung dia sebenarnya," ujar Tina dengan untaian kata-kata yang semakin berantakan. Volume suaranya pun kian melemah sehingga hanya samar-samar terdengar.

Spontan, wanita bertubuh kecil ini kemudian berteriak, namun dengan nada yang tertahan. Ia menangis menjerit, walau pelan. Air matanya terus membasahi raut wajahnya yang lusu. Ia tampak seperti wanita yang tak lagi memiliki gairah hidup.

Melihat kondisi istrinya yang terus bersedih, Jery terdiam. Ia terpaku di kursi plastik tepat bersebelahan dengan sang istri. Mencoba untuk menahan tangis. Namun tanpa disadari, air matanya juga turut membasahi raut wajahnya yang penuh dengan keriputan.

Tangisan suami istri ini adalah kesedihan bagi siapa saja yang mendengar, dan mengetahui bahwa sang anak sekaligus kakak kandung mereka baru saja wafat dengan cara yang begitu tragis.

Nova dan Lilis Suryani terindikasi sebagai korban pembunuhan. Keduanya ditemukan tewas berlumuran darah di dalam kamar rumahnya pada Minggu malam (5/6).

Kondisi korban sangat mengenaskan. Sekujur tubuh penuh dengan luka tusukan. Bahkan, sebelum dibunuh, Nova diduga sempat diperkosa.

Nova Yang Pendiam

Berdasarkan catata SMA Negeri 1, semasa hidup Nova aktif di berbagai kegiatan ekstra kurikuler sekolah, seperti Osis dan Palang Merah Indonesia (PMI). Nova di mata teman-temannya dikenal sebagai anak yang pendiam, namun lincah dan ceria.

Pendiriannya yang teguh, membuat Nova cukup disegani dan disayangi oleh banyak teman sebayanya, baik di satu sekolah maupun teman sepermainan luar sekolah.

Meski bukan anak yang dilahirkan dari rahimnya, seorang Lilis Suryani, istri dari pria 48 tahun bernama lengkap Yelva Amris ini dikenal sangat menyangi Nova. Semua kebutuhan, keperluan dan permintaan Nova selalu di penuhi oleh sang bunda angkat.

Begitu juga dengan Yelva. Sang Ayah angkat ini selalu menerapkan kedisiplinan kepada Nova. Pendidikan agama mejadi yang utama bagi Yelva untuk di tanamkan kepada sang anak selain pendidikan formal di bangku sekolah.

"Selama pemantauan saya, Nova anaknya pendiam dan bergaul hanya dengan orang-orang tertentu. Dia juga selalu terbuka terhadap kami, terlebih kepada ibunya," kata Yelva.

Pria berambut tipis ini menceritakan, Nova merupakan anak yang pintar. Di sekolah vaforit SMA Negeri 1 Dumai, Nova selalu memberikan nilai ujian semester yang cukup memuaskan.

"Walau tidak pernah juara, nilai-nilai rapor Nova tidak pernah mengecewakan saya. Dia selalu mendapat nilai di atas rata-rata," kata Yelva dengan volume pelan.

Yelva merupakan karyawan tetap di sebuah instansi pemerintah tepatnya di Kantor Navigasi Dumai dengan jabatan yang cukup strategis. Keseharian pria paroh baya ini juga dipenuhi dengan berbagai kesibukan.

Yelva juga merupakan seorang pelatih golf di Dumai yang cukup tenar. Berbagai kejuaraan sejenis turnamen golf antardaerah di Provinsi Riau tidak sedikit dimenanginya. Hal demikian terbukti dengan banyaknya piala atas kejuaraan olah raga kaum elite tersebut terpampang di rumahnya.

Golf, bagi Yelva bukan sekedar hobi atau kegemaran semata. Kecintaannya terhadap olah raga tersebut membuat Yelva begitu aktif mengikuti segala 'event' di luar Kota Dumai, namun tetap tidak menduakan kecintaannya terhadap keluarga.

"Dalam sebulan, saya selalu pergi keluar kota, mewakili Dumai untuk bertanding di berbagai kejuaraan luar daerah. Saat berpergian ke luar kota, saya juga selalu berpesan kepada istri dan anak agar berhati-hati di rumah," ujarnya.

Selama 16 tahun bersama Nova dan sang pendamping Lilis Suryani, Yelva mengakui tidak pernah ada konflik yang sempat membuat keretakan rumah tangga.

Hari-hari keluarga mungil ini dipenuhi dengan kesibukan masing-masing. Yelva dengan golfnya dan Nova dengan sekolahnya. Sementara Lilis Suryani disibukkan dengan ragam kegiatan rumahan layaknya ibu rumah tangga lainnya. Di samping itu, sang bunda juga sedikit meluangkan waktunya untuk mencari pemasukan tambahan dengan menjual berbagai jenis herbal atau obat-obat tradisional China.

Kronologis Menurut Yelva

Hingga suatu hari, tepatnya Kamis, 2 Juni 2011, Yelva bersama para pegolf Dumai lainnya terbang ke Surabaya untuk mengikuti sebuah pelatihan golf kelas nasional.

Kamis itu merupakan hari libur nasional Kenaikan Yesus Kristus. Sebuah hari besar bagi umat kristiani.

Tekat dan niatnya untuk berangkat ke kota yang sempat menobatkan sebagai Kota Perdagangan dan Jasa itu diakui Yelva semakin membulat, mengingat Jumat, 3 Juni 2011, merupakan hari libur atau cuti bersama.

"Sebelum berangkat, saya sempat berpesan kepada istri dan anak agar selalu hati-hati di rumah dan jangan sampai tinggal sholat. Saya juga berpesan agar tidak menerima tamu yang tak dikenal baik," kata pria kalem ini.

Yelva pada Kamis itu berangkat dari rumah menuju Pekanbaru dengan menggunakan angkutan umum lintas darat atau travel yang biasa ditumpanginya setiap bepergian keluar kota.

Selama lima jam perjalanan, Yelva mengaku 'enjoy' dan tidak pernah sama sekali merasakan sesuatu hal yang sempat mendatangkan kegundahan. Sepanjang perjalanan, ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca majalah dan tidur-tiduran.

"Begitu juga saat sampai di Pekanbaru dan terbang ke Surabaya dengan pesawat. Tidak ada firasat buruk sama sekali. Semuanya berjalan seperti biasanya saya keluar kota," kata Yelva.

Tiga hari di Surabaya, tepatnya pada Minggu, 5 Juni 2011, kegiatan golf itu berakhir. Ia kemudian bergegas pulang ke rumah dengan jalur transportasi yang sama saat pergi sebelumnya. Surabaya-Pekanbaru, menggunakan pesawat, dan bertravel ria saat dari Pekanbaru menuju Dumai.

Dalam perjalanan pulang, Yelva juga mengaku tidak pernah merasakan firasat buruk. Situasi di perjalanannya menurut dia nyaris sama seperti hendak pergi, namun sedikit terasa letih sehingga dalam perjalanan dia lebih banyak tertidur pulas.

Setiba di Bandara Sultan Syarif Kasim II, sekitar pukul 15.00 WIB, Yelva sempat berkomunikasi lewat telepon genggam dengan sang istri yang menanyai kabar dan kondisi kesehatannya. Namun obrolan tersebut hanya berlangsung sekitar lima menit, mengingat Yelva masih sibuk berkemas mengambil barang bawaan dari sebuah mesin detektor (X-Ray) Bandara.

"Nanti telepon lagi. Saya masih sibuk mau berkemas karena sudah ditunggu travel," kata Yelva sebelum mengakhiri obrolan singkat bersama sang istri.

Yelva tidak menyadari jika komunikasi tersebut merupakan komunikasi terkahir dirinya bersama sang istri Lilis Suryani.

"Sejak itu, komunikasi kita terputus. Sesampai di Kandis (sebuah kota di wilayah Kabupaten Siak, Riau-red) saya sempat beberapa kali menelpon istri saya, tapi nomor hp (telepon genggam-red) tidak pernah aktif," kata Yelva, namun dengan wajah yang tidak sedikit pun menunjukkan kekesalan.

Kondisi demikian tidak begitu membuatnya panik. Keletihan saat berada di Surabaya membuat dirinya tertidur pulas di dalam travel, dan baru terjaga sesaat setelah sampai di huniannya yang berada di Jalan TS Saleh II, Kelurahan Bumi Ayu, Kota Dumai sekitar pukul 20.30 WIB.

Rumah berpagar besi warna "pink" yang dihuni Yelva bersama istri dan anak angkatnya malam itu terlihat sepi. "Sepertinya memang tidak ada tanda-tanda kehidupan waktu itu," ujar Yelva.

Kecurigaan diakui Yelva mulai terasa membayangi, terlebih ketika kepulangannya tidak disambut dengan istri dan anak tercinta.

"Biasanya, istri dan anak selalu menunggu saya di rumah. Tidak pernah mereka pergi keluar rumah sebelum saya sampai," katanya.

Kepanikan Yelva diakuinya semakin memuncak, terlebih ketika keberadaan Lilis Suryani dan Nova sempat menjadi misteri. Telepon genggam yang biasanya tak pernah lepas dari genggaman keduanya waktu itu tidak lagi menjawab panggilan darinya.

Sanak famili terdekat, tetangga, dan kerabat sahabat lainnya yang sempat dihubungi, juga mengaku tak sempat melihat keberadaan istri dan anaknya.

"Malam itu kemudian saya mencoba untuk mencari mereka berdua dengan menggunakan mobil teman saya. Tapi setelah ke sana-sini, bahkan sempat ke rumah sakit, saya nggak juga menemukan mereka," kata Yelva.

Sekitar dua jam pencarian tanpa berbuah hasil, Yelva kemudian kembali pulang ke rumah. Beberapa saat setelah tiba di kediamannya, pria semampai ini melihat keanehan, yakni sebuah cahaya lampu di ruang garasi mobil yang menyala benderang.

Lampu tersebut dikatakan Yelva sebelumnya tidak pernah dinyalakan. Berawal dari kejanggalan itu, Yelva kemudian berinisiatif untuk mencari sela untuk membuka pintu garasi yang terkunci dari dalam.

Beberapa saat kemudian, dia akhirnya berhasil membobol pintu garasi mobil rumahnya. Tidak puas dengan itu, Yelva kembali membuka paksa pintu rumahnya yang berbatas dengan garasi.

"Ternyata, ketika itu, istri dan anak saya sudah meninggal dunia dengan kondisi mengenaskan di dalam kamar utama," kata Yelva.

Malam itu, kata Yelva, Lilis terkulai di tempat tidur bersimbah darah, sementara Nova tewas dengan tubuh yang penuh luka tusuk.

Innaa lillaahi wa inna ilaihi raajuun. Dan kedua korban pun berpulang menghadap Sang Khalik, dengan segala kenangannya.