Warga Zimbabwe Bergantung Hidup Pada Ulat

id warga zimbabwe, bergantung hidup, pada ulat

Warga Zimbabwe Bergantung Hidup Pada Ulat

Gwanda, Zimbabwe, (Antarariau.com) - Dengan memakai sarung tangan karet yang sudah robek, Lydia Sibanda menduduki ember sambil memeras dan mengeluarkan isi perut ulat mopane.

Wanita itu termasuk satu dari banyak orang yang telah mendirikan tenda plastik di semak-semak pinggir jalan di daerah peternakan sapi yang tandus, Gwanda, di Zimbabwe Selatan. Di sana mereka memanen dan mempersiapkan ulat tersebut untuk dijual.

Mopane adalah sejenis ngengat yang hanya bisa ditemukan di Afrika Selatan, dan dianggap sebagai makanan unik yang nikmat. Ulat itu biasanya dikumpulkan di alam liar, dipencet dan diremas untuk membuang cairan yang ada di dalam tubuhnya. Setelah dipencet, ulat tersebut kemudian dikumpulkan untuk dikeringkan di bawah sinar matahari atau dengan proses pengasapan untuk menambah rasa.

Ulat kering itu kemudian dimakan mentah sebagai cemilan, atau direndam dulu kemudian dimasak dengan sayuran. Menurut mereka yang pernah memakannya, rasanya tidak jauh berbeda dengan daun teh hijau. Ulat tersebut diberi nama mopane karena hewan itu memakan daun pohon mopane setelah menetas pada musim panas dan biasanya ditemukan di bagian selatan Zimbabwe, tempat pohon mopane tumbuh subur.

Di Zimbabwe, ulat tersebut bukan hanya menjadi sumber gizi yang murah, tapi juga sumber kehidupan buat banyak orang.

"Kami berasal dari sisi lain daerah ini, tapi setelah ulat habis, kami memutuskan untuk pindah ke wilayah ini, tempat kami masih bisa menemukan hewan itu," kata Lydia Sibanda.

Di Zimbabwe, ulat mopane menjadi makanan terkenal bagi warga desa dan dipandang sebagai makanan lezat di banyak kota besar.

"Saya menikmati makan ulat ini baik sebagai cemilan maupun dengan sadza (bubur jagung kental)," kata Wellington Kuziwa, seorang penjaga keamanan di Harare, sebagaimana dikutip Xinhua. "Ulat tersebut penuh cita-rasa dan saya biasa memakannya dua kali setiap pekan," ia menambahkan.

"Saya mulai memanen dan menjual ulat ini tahun ini dan dalam waktu singkat saya mengerjakan ini, saya sudah bisa mengumpulkan uang untuk menunjang keluarga saya, membayar biaya sekolah buat anak-anak saya dan membayar sewa," kata Lydia Sibanda, orang tua tunggal yang berusia 46 tahun dengan tiga anak.

Keluarga Lydia tinggal di Kota Kwekwe, sedangkan dia menetap di Beitbridge untuk menjual ulat mopane ke warga lokal dan mereka yang menyeberang ke negara tetangga Zimbabwe, Afrika Selatan, untuk menjual kembali ulat itu.

"Saya bisa memperoleh 100 dolar AS per pekan dari hasil menjual ulat ini. Saya mematok harga 25 dolar AS per ember ukuran 20 liter dan karena ulat ini jadi langka, saya sekarang memperoleh sebanyak empat ember per pekan, bukan 10 ember selama masa puncak," kata wanita tersebut.

Puncak musim panen biasanya dimulai sekitar Maret dan berlangsung sampai April, jadi Lydia dan rekannya akan segera pulang dan menunggu musim panen lagi tahun depan.

Vimbai Dube (59) meninggalkan desa tempat tinggalnya di Mberengwa, lebih dari 100 kilometer, untuk menetap di semak-semak dan memanen ulat mopane.

Ia berharap bisa menukar ulat itu dengan makanan pokok seperti jagung sebab tanamannya gagal panen akibat hujan yang turun terus-menerus sepanjang tahun ini.

"Saya bisa memperoleh 10 ember ulat selama dua pekan belakangan dan saya akan menukar ulat tersebut dengan jagung," kata Vimbai Dube, nenek sembilan cucu yang menjadi tulang-punggung keluarganya sebab suaminya, yang menderita asma, tak bisa bekerja.

Seorang lagi ibu tiga anak, Viola Mashavira (44), datang jauh-jauh dari Ibu Kota Zimbabwe, Harare, untuk memanen ulat mopane untuk dijual.

Mashavira mengatakan usaha memanen dan menjual ulat mudah sebab tidak memerlukan modal awal dibandingkan dengan perdagangan lintas-perbatasan --yang juga penuh resiko.

Ia mengatakan sekalipun setelah ia melanjutkan perjalanan lintas-perbatasan ke Mozambik --tempat ia membeli bermacam barang untuk dijual kembali di Zimbabwe, ia akan kembali ke usaha ulat mopane ketika musim panen dimulai.

Nhamo Mushamba mengatakan ia dulu biasa berjuang untuk bertahan hidup dengan menjual kol di kota kecil perbatasan Beitbridge --usaha yang ia katakan tidak menghasilkan banyak uang.

"Pada masa depan, saya akan menghentikan perdagangan lintas-perbatasan dan mengeluti usaha ulat mopane segera setelah musimnya dimulai," tambah wanita itu.