Harkitnas, Mengenal Boedi Oetomo Lewat Pramoedya Anata Toer

id harkitnas mengenal, boedi oetomo, lewat pramoedya, anata toer

Harkitnas, Mengenal Boedi Oetomo Lewat Pramoedya Anata Toer

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Sempena Hari Kebangkitan Nasional mengacu pada munculnya organisasi pergerakan yang dianggap paling pertama di Indonesia yakni Boedi Oetomo yang didirikan oleh Dr. Soetomo dan beberapa mahasiswa Kampus Kedokteran STOVIA di Jakarta pada 20 Mei Tahun 1908. Sudah diketahui bahwa berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa.

Keterangan di atas merupakan suatu keberhasilan hegemoni sejarah yang telah terpatri dalam benak hampir semua masyarakat tanpa ingin mengetahui lebih dalam. Bisa juga hal ini bagian dari program stabilitas yang meninabobokkan kita selama ini agar tidak ada lagi hal-hal yang diungkit-ungkit dan dipertanyakan kebenarannya.

Selanjutnya tulisan ini bukan maksud untuk mengungkit-ungkit dan mendekonstruksi bangunan sejarah. Namun hanya lebih untuk menawarkan sudut pandang lain dalam memahami sejarah bangsa sendiri. Hal ini bukanlah suatu barang baru karena sudah ditawarkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralagi Bumi Manusia yang ditulisnya pada masa Orde Baru.

Dalam Tetralogi itu tergambar upaya awal perjuangan kemerdekaan Abad 20. Pantas saja buku-bukunya dilarang karena memang menawarkan perspektif lain dalam memaknai sejarah itu sendiri. Tidak salah jadinya jika ingin membaca sejarah Indonesia masa kolonial, banyak intelektual dunia yang menjadikannya sebagai referensi. Bahkan dalam kurikulum negara asing seperti di Amerika Serikat, Buku Pram menjadi bacaan wajib anak sekolah. Sedang di Indonesia sendiri dilarang di masa Orde Baru, pada masa ini mungkin tidak banyak jika dibanding jumlah penduduk yang membaca fiksi sejarah ini.

Kadang memang diragukan apakah fiksi bisa dipercaya sebagai sesuatu yang sebenarnya. Banyak beranggapan fiksi bukanlah sebenarnya, namun satu yang pasti bahwa fiksi berangkat dari yang sebenarnya terjadi di alam nyata. Namun berdasarkan pembacaan pribadi, kekuatan fiksi lebih bisa dipercayai melalui kelihaian pengarang menyatukan dan mempermainkan emosi pembaca. Tak salah banyak yang lebih percaya sejarah kristen di Da Vinci Code, sejarah sekularisme Turki dari Orhan Pamuk, dan dari dalam negeri percaya sejarah Batavia dalam Rahasia Meede ES Ito.

Tak terkecuali sejarah Boedi Oetomo, itu bisa dilihat dari seri novel ketiga Tetralogi Pram berjudul "Jejak Langkah" dengan karakter bernama Minke. Cerita dalam seri itu mungkin tidak akan kita percayai untuk kemudian mengakui bahwa organisasi modern pertama di Indonesia adalah didirikan oleh Kaum Tionghoa, bukan oleh pribumi. Tercatat dalam bundelan negara Gubermen Hindia Belanda "telah disahkan berdirinya organisasi penduduk kawula Hindia bernama Tiong Hoa Hwee Koan pada Tahun 1900".

"Dianggap sebagai organisasi modern pertama-tama di Hindia dengan pengesahan Gubermen, telah berhasil mendirikan Sekolah Dasar, tidak menggunakan kurikulum Gubermen. Anak-anak akan dididik menjadi Tionghoa modern yang mengenal kebudayaan bangsanya dan dipersiapkan untuk bisa meneruskan ke sekolah-sekolah di Tiongkok dan seluruh dunia. Bahasa Belanda tidak diajarkan. Mandarin dan Inggris iya".(halaman 92).

Sementara itu, munculnya Boedi Oetomo menurut novel Pram berawal dari kuliah umum seorang alumni di Stovia pada tahun 1904. Kuliah itu diberikan seorang pensiunan dokter dari Yogyakarta. Dalam pidatonya dia ingin menggungah kesadaran bangsa dan merasakan getaran kebangkitan bangsa Asia yang ditularkan oleh Jepang yang berhasil mengalahkan Rusia. Namun di Hindia atau Indonesia, menurutnya yang sadar bukanlah pribumi dan indo peranakan Eropa melainkan Golongan Tionghoa yang membangkitkan kesadaran sebangsanya melalui pendidikan dan pengajaran.

Organisasi Tionghoa yang didirikan pada 1900 itu lahir pada waktu pribumi masih terbuai dalam tidur ketidaktahuan, nyenyak, dan indah,-nynyak sampai sekarang. Tiga tahun setelah golongan Tionghoa bangkit, menyusul kebangkitan penduduk Hindia golongan Arab dengan organisasinya Sumatera Batavia Alkhairah. Sedang Pribumi masih juga tidur nyenyak.

Organisasi yang belakangan dari golongan Arab lahir pada 1902. Tahun 1904 Sumatera Alkhairah telah disusul oleh organisasi yang lebih maju juga dari golongan Arab yakni Jamatul Khair. Keduanya juga telah mendapatkan badan hukum dari gubermen. Baik organisasi Tionghoa maupun Arab mendatangkan guru-guru modern dari Tiongkok, Jepang, Aljazair, dan Tunisia. Akan tetapi kuliah umum alumni tersebut tak ditanggapi oleh para golongan terpelajar dari kaum priyayi mahasiswa kedokteran tersebut.

Dikatakannya tugas dokter pribumi bukan saja menyembuhkan tubuh yang luka dan menanggung sakit, tapi juga jiwanya, juga hari depannya. Siapa yang akan melakukan itu kalau bukan para terpelajar. Ia berseru pada para siswa Dokter, dirikan organisasi, sekarang juga. Bersatulah! Tapi ia hanya seperti berkelana berteriak-teriak di padang pasir. Barangkali dia berkecil hati demonstrasi demokrasinya tidak mendapatkan pergelaran. Ketika diadakan tanya jawab tak ada diantara siswa yang angkat bicara. Sekali lagi ditawarkan bertanya juga tak ada bertanya. Barangkali organisasi modern adalah sama asingnya bagi mereka dengan kuman Lepra.

Belum juga Boedi Utomo muncul, pada tahun 1906 telah muncul pula organisasi baru bernama Syarikat Prijaji. Seperti namanya prijaji ini belum begitu jelas definisinya namun konteks zaman itu mengacu pada orang-orang yang bekerja pada gubermen atau pemerintah Belanda mulai dari bupati, patih, wedana, maupun pegawai administratif Belanda. Dimotori Minke dalam novel ini organisasi itu berdiri dengan ketua seorang Wedana yang juga pedagang kaya raya di Mangga Besar, Betawi dengan anggota prijaji dari tiga kabupaten.

Organisasi ini juga sudah disahkan dalam lembaran negara oleh gubermen. Syarikat diakui sebagai badan hukum sama halnya dengan satu pribadi orang Eropa. Organisasi ini menyetujui bahasa melayu sebagai bahasa resmi. Untuk mencapai masyarakat luas organisasi ini membuat media cetak koran mingguan dengan sumbangan modal dari anggota. Akhirnya terbitlah koran pertama dengan bahasa Melayu dipergunakan yakni "Medan" menurut novel ini. Tak lama berselang koran inipun menjadi harian karena banyak dibaca.

Usaha koran tersebut berkembang, namun organisasi mengalami berbagai masalah karena anggota yang pasif dan tidak kreatif. Pernah ada dibuat yayasan untuk pendidikan untuk membantu pelajar miskin. Dana diberikan pimpinannya, namun dikorupsi sehingga menjadi hambatan dan permasalahan. Belum juga berhasil membuat sekolah, namun organisasi ini mewariskan koran bertiras besar yakni "Medan" yang akhirnya dimiliki secara pribadi oleh Minke, Tokoh sentral di Novel ini.

Kemudian pada 1908 barulah terbentuk Boedi Oetomo dimana hanya dikhususkan untuk Orang Priyayi Jawa dengan Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Berbahasa Belanda. Dalam novel itu juga diperlihatkan bahwa apa yang dimaksud dengan Boedi Oetomo tidak bisa dijelaskan anggota organisasi. Pada tahun yang sama juga disebutkan berdiri juga organisasi modern di Belanda yang didirikan pelajar Hindia di sana. Nama organisasinya Indische Studenten Vereeniging disingkat ISV yang didirikan oleh nama-nama Sosro Kartono yang merupakan Kakak Kartini.

Pimpinan BO yang dalam novel ini Raden Tomo atau bisa dikatakan sebagai Dr. Soetomo itu mengatakan "Kami memulai dengan anggota-anggota sekebudayaan. rasanya itu sesuai daripada organisasi berbangsa ganda". BO melakukan propaganda ke desa-desa untuk masuk menjadi anggota BO karena BO yang akan mendidik anak-anak dengan pedidikan Eropa. Karena itu BO meminta sumbangan untuk membangun sekolah-sekolah Belanda sekaligus mengurusnya. Yang disasar tentu para bupati dan pangeran sehingga berebutlah menjadi ketua BO.

Jika dikatakan dalam sejarah Kongres pertama di Yogyakarta, di sini malah dikatakan di Betawi karena para anggota masihlah para siswa Stovia. Dalam pidato-pidato kongres didengungkan pendirian sekolah bahasa Belanda dengan kurikulum gubermen. Dalam novel ini dinilai BO memiliki Sovinisme budaya dan bahasa yang membikin mereka merasa jauh lebih tinggi daripada bangsa-bangsa se-Hindia lainnya. Padahal bangsa-bangsa atau suku lain tentu juga punya sovinisme atau kebanggaannya sendiri. BO dinilai memisahkan diri dari bangsa-bangsa lain yang dijajah Belanda. BO telah mempersempit hidupnya sendiri karena Hindia bukan hanya Jawa. Hindia berbangsa ganda bahkan untuk Jawa yang satu pulau sendiri sudah berbangsa-bangsa.

Tokoh dalam novel ini, Minke mendebat dan menyatakan BO keliru. Dia malah mengajukan unsur pemersatu dalam organisasi bukanlah harus kalangan priyayi dan Jawa, namun atas unsur Agama Islam.

Kongres BO di Yogyakarta disebut sebagai yang kedua di dalam "jejak langkah" pada tahun yang sama. Jadi dalam setahun itu ada dua Kongres Boedi Oetomo. Kongres ini dipadati peserta Jawa tengah dan Timur. Karena di Yogyakarta, BO mendadak diubah menjadi Boedyatama. Raden Tomo dalam cerita ini berpidato dalam Bahasa Belanda. Di sini dibilang Raden Tomo seperti tak pernah mengenyam pengajaran Jawa karena tak mampu menyatakan diri dalam Bahasa Jawa. Padahal itu dihadiri para bupati dan pangeran yang harus mengulum senyum. Selain dari para pekerja gubermen, baris terakhir dihadiri sejumlah besar guru dan pelajar sekolah menenagah dan kejuruan, calon priyayi baru.

Kepada Gubermen Belanda Boedi Oetomo berterimakasih telah mendirikan sekolah dasar dan kejuruan. Namun belum mencukupi dan kata Raden Tomo terlalu berat tanggungan gubermen nantinya. Lalu dikatakan pribumi sendiri yang harusnya mengusahakan sendiri memajukan anak-anak dan tidak menunggu belas kasihan gubermen.

Kongres masuk pada pemilihan presiden BO dimana yang paling banyak calon adalah bupati. Menurut novel Pram ini, terdapat surat titipan Gubermen Hindia Belanda saat itu Van Heutsz berupa pesanan agar Bupati Karanganyar terpilih. Dan apa yang dipesan itu jadi kenyataan dengan terpilihnya Bupati Karanganyar, Tirtokoesoemo berhasil menyingkirkan semua calon.

"BO lahir di Betawi, belum lagi setahun yang muda-muda sudah tersingkir, terboyong ke Yogya, jatuh ke tangan orang tua-tua....Semua serba besar."(halaman 424).

Setelah itu memang BO tidak mengalami kemajuan signifikan karena sering dipimpin kaum tua. Barulah ketika disokong oleh Seorang Indo-Belanda Douwers Dekker pergerakannya mulai terlihat. Itupun setelah muncul pergerakan yang jauh lebih masif dari Serikat Dagang Islam yang kemudian menjadi Serikat Islam yang dalam novel ini juga digagas tokoh utama Minke.

Dengan demikian, status Boedi Oetomo juga dipertanyakan sama halnya dengan RA Kartini yang juga dipertanyakan sebagai pelopor gerakan perempuan. Hal itu karena Boedi Oetomo secara historis menurut novel ini juga bukanlah organisasi modern pertama di Indonesia. Selain itu juga secara pergerakan politik kemerdekaan bukan yang utama karena awalnya hanya bergerak di bidang pendidikan serta mendapat sokongan restu Gubermen Belanda. Jika dilihat secara pergerakan, Syarikat Islam lah justru melihatkan pergerakan politik karena menjadi ancaman bagi Belanda dengan tujuan untuk memajukan pedagang pribumi meskipun memang lebih lambat sedikit berdirinya daripada Boedi Oetomo.