Posisi Indonesia Merugi di Asia Pasific

id posisi indonesia, merugi di, asia pasific

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Perwakilan perempuan Indonesia dalam Konferensi Asia Pasifik tentang Review Beijing +20 di Bangkok tanggal 17-18 November menyesalkan sikap Pemerintah RI yang dinilai merugikan posisi Indonesia di Asia Pacific.

"Sebab dalam banyak hal delegasi cenderung meniru Iran, Rusia, dan Pakistan, terutama dalam isu gender dan seks, hak-hak seksual, dan orientasi seksual," kata Ruby Kholifah, perwakilan dari The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, dalam surat elektroniknya yang diterima Antara Riau, Selasa.

Perwakilan perempuan Indonesia juga menyatakan kecewa dengan pernyataan pemerintah Indonesia dalam menanggapi draf dokumen Asia Pacific Ministerial Declaration on Advancing Gender Equality and Womens Empowerment yang akan disahkan sebagai statemen resmi negara-negara Asia Pasifik untuk pemajuan hak-hak perempuan yang tertuang dalam Beijing Platform for Action +20.

"Pemerintah Indonesia artinya melakukan kemunduran dan menghambat pemajuan hak-hak perempuan, padahal kehidupan dan pemajuan hak-hak perempuan di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir menunjukkan berbagai kemajuan dan capaian," katanya.

Keberhasilan itu, katanya, ditandai dengan lahirnya UU No.23 Tahun 2000 tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Selain itu UU No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia, UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Empat Kementerian, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak No. 105 Tahun 2008 tentang Anggaran Berperspektif Bender, serta Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak di area konflik.

"Ada beberapa penilaian bahwa pernyataan Pemerintah Indonesia menciptakan kemunduruan bagi perempuan Indonesia yakni terkait keputusan terhadap tujuh paragraf, " katanya.

Paragraf tersebut, pada paragraf empat, bahwa Indonesia menolak pernyataan Australia mengenai hasil review ICPD, CEDAW, Viena Declaration of Human Rights, Indonesia mendukung Iran dan Pakistan, Rusia tidak sepakat dengan penggunaan istilah seks dan gender, orientasi seksual dan identitas gender.

Paragraf 12, Indonesia menolak istilah orientasi seksual dan identitas gender bersama dengan Iran, Rusia, Pakistan, Bangladesh, dan Maldives. Paragraf 16, Indonesia tidak setuju dengan istilah various form of families (keberagaman bentuk keluarga) dan mengusulkan penghapusan teks perbedaan budaya, politik, dan sistem sosial di dalam keberagaman bentuk keluarga.

Paragraf 30, Indonesia mengganti istilah hak dan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi kesehatan reproduksi dan seksual dan hak reproduksi. Paragraf 35, Indonesia mendukung India mengubah istilah konflik menjadi konflik bersenjata yang bertentangan dengan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial.

Paragraf 43, Indonesia menolak digunakannya istilah hak seksual yang diusulkan oleh Australia. Paragraf 46, Indonesia menolak hak waris perempuan dalam masalah pertanahan

"Kami, perwakilan perempuan Indonesia, menuntut Pemerintah Indonesia untuk bersikap transparan dan akuntabel dalam membangun strategi diplomasi untuk merespons setiap upaya kemajuan dan pemberdayaan perempuan di Indonesia," katanya.

Pemerintah Indonesia sebaiknya mempertanggungjawabkan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan kemunduran terhadap agenda pemajuan hak-hak perempuan dan pemberdayaan perempuan di Konferensi Asia Pasific Tentang Review Beijing+20 itu.