Jakarta (ANTARA) - Menara pantau setinggi 12 meter yang menjulang di antara pepohonan bakau di Pulau Ceningan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali, menampilkan pemandangan asri tentang wisata dan konservasi yang berdampingan erat.
Dari atas menara kayu berwarna cokelat yang dibangun melalui program Coremap-CTI, perahu motor terlihat ramai berlayar mengangkut para wisatawan keluar-masuk dari Pulau Lembongan yang berada tepat di sebelah Pulau Ceningan.
Kedua pulau itu berada di dalam gugusan Kepulauan Nusa Penida yang terkenal dengan keindahan destinasi pesisir dan selalu menarik minat wisatawan dari berbagai penjuru dunia untuk berlibur menikmati sajian alam yang khas lengkap dengan budaya penduduk lokal yang masih kental.
Direktur Kelautan dan Perikanan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sri Yanti mengatakan gugusan terumbu karang yang membentang di Indonesia, seperti perairan Bali, perlu dijaga dan dirawat agar bisa terus memberikan manfaat ekonomi dan ekologi untuk pariwisata, pangan, kesehatan, hingga lingkungan.
"Pada 2045, saat Indonesia genap berusia 100 tahun, Indonesia memiliki 30 persen kawasan konservasi laut. Target itu tertuang dalam rencana pembangunan jangka panjang Pemerintah," ujarnya sembari memandangi laut dari puncak menara pantau di Pulau Lembongan, Klungkung, Bali, pada pengujung Juni 2023.
Sejak 1998, Pemerintah Indonesia telah memprakarsai perlindungan dan pelestarian ekosistem laut melalui Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang atau Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) yang didanai oleh utang serta hibah.
Program yang telah berjalan selama seperempat abad dan resmi berakhir pada Agustus 2023, tercatat menghabiskan biaya lebih kurang 200 juta dolar AS atau setara Rp3 triliun. Coremap bertujuan melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem laut di Tanah Air.
Perjalanan panjang yang dilalui tersebut telah memberikan pengalaman berharga bagi Indonesia dalam mengelola ekosistem laut secara mandiri agar tidak lagi ketergantungan terhadap bantuan pihak asing.
Berbagai jejak pengelolaan terumbu karang yang berlangsung selama ini telah menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir dan mendorong keterlibatan aktif pemerintah daerah untuk bersama-bersama merawat dan melestarikan ekosistem laut.
Optimalisasi anjungan
Konferensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UN Biodiversity Conference yang diselenggarakan di Montreal, Kanada, pada pengujung tahun 2022, melahirkan kesepakatan global yang menargetkan area laut sebesar 30 persen pada tahun 2030.
Pemerintah Indonesia mengambil jalan berbeda dengan menetapkan target 30 persen konservasi laut pada tahun 2045. Alasannya, tak ingin dikendalikan oleh ambisi internasional mengingat 70 persen luas wilayah Indonesia berupa lautan yang memerlukan upaya lebih keras ketimbang negara-negara yang didominasi daratan.
Berbagai cara dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan target 30 persen kawasan konservasi laut tersebut, salah satunya menetapkan kawasan yang dilindungi secara fungsi, seperti anjungan minyak dan gas Bumi lepas pantai sebagai kawasan konservasi laut agar terumbu karang dan biota selalu lestari.
Cara itu adalah non-konvensional dan Indonesia sudah melakukan negosiasi global terkait strategi mewujudkan target 30 persen kawasan konservasi laut tersebut.
Satuan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan Indonesia memiliki 634 anjungan yang tersebar dari barat sampai timur, yang 100 di antaranya sudah tidak beroperasi.
Salah satu proyek percontohan mengubah anjungan minyak dan gas Bumi lepas pantai menjadi lokasi terumbu karang terletak di Kalimantan Timur. Proyek alih fungsi itu dilaksanakan di anjungan minyak dan gas Bumi Attaka-I, Attaka-UA, dan Attaka-EB.
Sampai tahun 2022, Bappenas mencatat sudah ada 12 persen kawasan konservasi laut atau setara 28 juta hektare yang membentang di wilayah Indonesia.
Kawasan konservasi laut bukan sekadar klaim, melainkan sudah terbukti bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat pesisir dengan memberikan sumber pangan dari ikan-ikan dan penghidupan dari sektor pariwisata.
Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan pada 2021, nilai ekonomi terumbu karang di Gili Matra, Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat, mencapai Rp34,74 miliar per hektare per tahun.
Kawasan konservasi laut yang baik adalah kawasan yang sudah bisa dikelola secara benar, punya tata kelola kelembagaan, punya standar operasional prosedur, dan ada orang yang mengerjakannya.
Dengan kekayaan ekosistem laut yang dimiliki dan pengelolaan melibatkan masyarakat akar rumput, maka bukan hal yang mustahil bagi Indonesia untuk bergerak menjadi negara maju dengan bertumpu pada laut.
Optimalisasi Sunda Kecil
Ikan-ikan karang aneka warna berenang bebas mencari makan di antara gugusan terumbu karang di perairan Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali.
Pemerintah Indonesia menyatakan Kepulauan Sunda Kecil berupa gugusan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Jawa dari Bali di sebelah barat hingga Pulau Timor di sebelah timur menyimpan keanekaragaman hayati yang melimpah.
Sunda Kecil menjadi rute migrasi hewan-hewan laut dari Samudera Hindia menuju Samudera Pasifik atau sebaliknya. Beberapa spesies karismatik langka ada di sana, di antaranya ikan mola-mola, hiu paus, pari, dan penyu.
Sejak Maret 2020 sampai 31 Agustus 2023, proyek pelestarian terumbu karang dari praktik penangkapan ikan yang merusak, polutif, dan memicu perubahan iklim dilakukan di perairan Sunda Kecil.
Bappenas bersama Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) menjalankan program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang di wilayah. Program bernama Coremap-CTI itu merupakan fase ketiga dari rangkaian program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang yang telah berlangsung sejak tahun 1998.
Program tersebut memperoleh dukungan pendanaan melalui dana hibah yang bersumber dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dengan total anggaran Rp72,8 miliar atau setara 5,2 juta dolar AS.
Lokasi proyek terletak di Sunda Kecil, yakni Nusa Penida di Bali, serta Gili Matra dan Gili Balu di Nusa Tenggara Barat. Coremap-CTI menghasilkan peningkatan kapasitas untuk mengelola ekosistem terumbu karang di dalam serta di luar kawasan konservasi.
Direktur Eksekutif ICCTF Tonny Wagey mengatakan ada lima manfaat yang dihasilkan melalui proyek tersebut, yaitu meningkatkan efektivitas pengelolaan untuk 30 ribu hektare kawasan laut yang dilindungi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan; meningkatkan jasa ekosistem pada 7.431 hektare area terumbu karang dan 857,6 hektare area mangrove.
Kemudian, meningkatkan status konservasi spesies laut seperti ikan mola-mola, hiu, dan penyu melalui pembuatan kode etik, standar operasional prosedur, dan rencana aksi; implementasi praktik perikanan berkelanjutan untuk komoditas inti perikanan kakap dan tuna; serta pengembangan praktik budidaya rumput laut yang berkelanjutan.
Sunda Kecil adalah satu dari 11 ekoregion yang berada di segitiga terumbu karang. Wilayah itu memiliki 76 persen spesies karang, 2.631 spesies ikan karang, dan enam jenis penyu.
Oleh karena itu, potensi yang sangat besar tersebut harus selalu dijaga dan dilestarikan agar bisa berkontribusi terhadap peningkatan kualitas lingkungan dan ekonomi di kawasan pesisir.
Lebih dari itu, mampu mempercepat Indonesia mewujudkan target 30 persen kawasan konservasi laut pada tahun 2045.