Konflik masyarakat vs PT DPN memanas usai akses jalan ditutup

id DPRD Riau,Konflik lahan, sawit riau

Konflik masyarakat vs PT DPN memanas usai akses jalan ditutup

Marwan Yohanis. (ANTARA/HO-DPRD Riau)

Pekanbaru (ANTARA) - Perwakilan masyarakat dari 24 desa di Kabupaten Kuantan Singingi menyampaikan aduan ke DPRD Riau terkait konflik lahan yang terjadi dengan PT Duta Palma Nusantara. Hal itu dipicu setelah pihak perusahaan menggali parit besar memutus akses jalan masyarakat menuju kebun mereka yang diklaim perusahaan berada dalam areal Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan.

Pertemuan itu dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Riau Yulisman, Wakil Ketua DPRD Riau Syafaruddin Potti, Anggota DPRD Riau daerah pemilihan Kuantan Singingi Marwan Yohanis dan perwakilan kepala desa di Ruang Medium DPRD Riau, Rabu.

Usai pertemuan, Marwan Yohanis menjelaskan kepada wartawan, berdasarkan aduan masyarakat bahwa PT DPN sebelumnya diduga membuat surat edaran yang meminta agar masyarakat menjual lahan yang diklaim berada areal HGU sampai 31 Agustus 2021. Apabila dalam batas waktu yang telah ditentukan, masyarakat tidak menjual kepada perusahaan maka pihak perusahaan memutuskan untuk menutup akses jalan yang dilintasi masyarakat.

"Kasus ini seolah-olah masyarakat yang serobot HGU perusahaan padahal perusahaan yang telah menyerobot lahan desa dan tanah ulayat. Jadi sampai 31 Agustus masyarakat tidak ada yang mau menjual. Perusahaan kemudian memutus jalan dengan menggali parit 4 x 5 meter," kata dia.

Sebelumnya pihak DPN mengatakan memutus akses dengan alasan keamanan perusahaan karena pernah ada kasus pencurian yang terjadi. Hal itupun mendapat respon keras dari Politisi Gerindra tersebut.

"Alasan mereka menggali karena pernah ada kasus pencurian ini tidak masuk akal, kenapa tidak diselesaikan lewat jalur hukum saja? Kenapa malah akses masyarakat yang ditutup. Harusnya masyarakat yang kita amankan dari pencurian. Karena lahan masyarakat yang sudah lama dicuri," kata dia.

Marwan mengatakan, atas kasus ini dan persoalan sengketa lahan lainnya pihaknya akan membentuk panitia khusus.

"Waktu kasus ini muncul. Teman-teman fraksi sudah mendukung untuk mewacanakan dibentuknya pansus yang akan menyelesaikan sengketa lahan antara warga dan masyarakat. Bahkan sudah 50 persen anggota Fraksi yang menandatangani. Yang lainnya mengatakan akan menyusul. Alhamdulillahrespon teman-teman untuk membela hak-hak masyarakat sangat cepat," kata dia pula.

Sementara itu, Tokoh Masyarakat Kuansing Dyuskri Mansur meminta agar pemerintah daerah mencarikan solusi konkret atas perseteruan yang terjadi antara masyarakat dengan korporasi yang sudah berlangsung sejak 1998. Pemerintah harus hadir untuk melindungi hak-hak masyarakat.

"Kami minta kepada Pemda untuk dapat mencarikan solusi yang paling bijaksana atas persoalan ini. Jangan sampai penduduk pribumi diancam oleh mereka yang usaha di tempat kita. Kita yang punya kita pula yang diancam," ucapnya usai melakukan pertemuan dengan DPRD Riau.

Dia mengatakan kronologi awal sengketa lahan itu bermula pada tahun 1993. Dimana masyarakat mengusulkan kemitraan inti plasma melalui pola KKPA kepada perusahaan. Awalnya usulan itu diterima oleh perusahaan. Namun di tengah jalan kesepakatan pun diabaikan oleh PT DPN. Kurangnya sokongan pemerintah untuk merealisasikan kesepakatan tersebut pun menjadi pemicu.

Konflik terus bergulir hingga 1998. Dari hasil pertemuan saat itu, perusahaan berjanji untuk mengakomodir permintaan masyarakat dengan membuka lahan seluas 2025 hektare untuk digarap oleh masyarakat melalui pola kemitraan.

"Jumlah yang disetujui waktu itu seluas 2025 ha untuk 19 desa yang terdiri dari tiga kenegerian dan satu KUD. Kesepakatan ini ditandatangani oleh manager perusahaan dan pemangku adat. Ada beberapa poin dalam perjanjian itu, bersedia membangun Masjid dan Balai Adat. Nah yang terakhir bersedia membuatkan kebun. Ini tidak direalisasikan oleh mereka," kata dia

Dalam perjalanannya, pihak Duta Palma tetap mengingkari kesepakatan yang telah dibuat. Pada 1999, perusahaan dengan tokoh adat membuat lagi kesepakatan baru melalui pemberian uang sagu hati.

"Pada 1999 mereka buat lagi keputusan dengan ninik mamak. Setiap desa menerima uang Rp175 juta per kenegerian sebagai uang sagu hati bukan ganti rugi. Karena uang sagu hati ini. Maka kami tunggu sampai periode HGU yang pertama habis pada tahun 2018. Ternyata pada 2005 Duta Palma melakukan perpanjangan HGU," ucap dia.

Dia mengatakan meski telah memasuki babak baru, namun sengketa lahan ini tetap jalan ditempat. Konflik kembali memanas belum lama ini saat pihak perusahaan menggali parit gajah memutus akses jalan masyarakat menuju kebun.

"Karena sekarang sudah masuk pada periode perundingan baru. Kami tetap meminta agar agar ketetapan bersama tahun 1998 direalisasikan. Yang kedua, tolong kembalikan tahan ulayat yang berada di Kenegarian Siberakun dan Bonai," kata dia.

"Ironisnya rumah masyarakat yang di sekelilingnya masuk dalam HGU perusahaan. Mereka tidak bisa membuat sertifikat. Kemudian kami tidak ingin ada lagi ancaman. Seperti masyarakat diancam agar menjual kebun kalau tidak dibangun parit besar oleh perusahaan. Nah ini yang terjadinya," sambung dia.