Halimun pada bulan Mei menyelimuti Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Provinsi Riau, bagaikan kelambu putih menggantung di langit.
Udara pagi yang dingin bergerak membawa uap air ke atas melewati lereng bukit hijau hingga membentuk kabut, karena tak sanggup menahan kumpulan tetes-tetes air yang sangat kecil yang melayang di udara.
Sungai Gangsal mengalir deras membelah hutan itu dengan airnya yang jernih sampai kedasarnya. Dari seberang sungai, sepasang kaki kecil yang telanjang perlahan bergerak melawan arus.
Byuurrr...Anak itu melompat ke bagian dalam sungai selebar 30 meter itu layaknya perenang handal. Tangannya menggapai-gapai di dalam air, menolak tergulung gelombang.
Sungai Gangsal yang dalamnya sekira setengah meter itu sudah membenamkan si bocah hingga sebatas leher. Ia timbul, tenggelam, kemudian timbul lagi, dan akhirnya mencapai tepian dengan selamat. "Dingin sekali airnya, Pak," kata anak yang mengaku bernama Yasul itu.
Dengan tubuh menggigil, bocah berusia enam tahun itu berlari melalui jalan setapak di perkampungan. Tempat itu adalah Dusun Sadan, terletak di pedalaman Kabupaten Indragiri Hulu yang berjarak sekitar 300 kilometer dari hiruk pikuk Kota Pekanbaru. Di sana Suku Melayu Tua dan Talang Mamak tinggal sejak zaman nenek moyang di tengah hutan yang kini berstatus taman nasional.
Yasul berlari melintasi rumah-rumah panggung yang berdinding kayu dan beratap daun rumbia kering. Asap terlihat mengepul dari dapur sebuah rumah, membawa aroma nasi yang baru ditanak penghuninya. Jalan tanah yang dilaluinya kemudian menurun membelah kebun pisang dan bermuara ke tanah lapang, tempat dimana sebuah bangunan kayu menjadi sekolah bagi anak-anak pedalaman.
Sebuah papan nama berkelir hijau bertuliskan "Selamat Datang/Welcome" menyambut setiap orang di depan sekolah yang bernama Sanggar Belajar Sadan itu. Bangunan itu terlihat sederhana, hanya terdiri dari satu ruang kelas terbuat dari kayu dengan luas sekira 5 x 7 meter dan atap terbuat dari seng. Dindingnya bewarna putih kusam dan mulai berlubang. Bagian bawah dinding telah berubah warna jadi coklat terkena cipratan air hujan yang membasahi lantai tanah.
Puluhan anak mulai berkumpul sambil bermain kejar-kejaran di halaman. Beberapa bocah juga tampak asyik bergelayutan di tiang penyangga atap bagian depan yang mulai doyong tinggal menunggu akan ambruk.
Sementara anak perempuan tampak bersenda gurau di dalam ruang kelas. Ruangan itu terlihat gelap karena tak ada jendela. Mereka duduk bersama di meja kursi panjang terbuat dari kayu.
Sebuah papan tulis besar berada di depan kelas. Sementara dua foto pemimpin Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono menggantung di atasnya. Di pojok kanan ruangan terlihat foto mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla masih terpasang juga.
Pasang Surut Pendidikan
Hari itu terlihat sebanyak 39 siswa dari kelas I hingga kelas VI berkumpul di sekolah. Mereka berpakaian seadanya, bahkan mayoritas siswa berkaki telanjang. Pihak sekolah memang tak membebani siswanya untuk mengenakan seragam, sepatu dan membeli buku pelajaran, mengingat rata-rata warga pedalaman tergolong keluarga miskin.
"Belajar dimulai jam 08.00 WIB karena harus menunggu murid yang rumahnya jauh," kata Saparudin, seorang pengajar.
Pria setengah baya itu mengajar di Sanggar Belajar Sadan tiap pagi hingga siang dan malamnya jadi guru mengaji di surau. Ia mengatakan, sekolah itu terus bertahan meski dalam kondisi serba kekurangan dan tak sepeser pun meminta bayaran dari siswanya.
Saparudin yang akrab disapa Tatung, mengatakan keganasan alam terkadang membuat air sungai meluap dan menghambat siswa untuk belajar ke sekolah.
"Melihat anak-anak berjalan kaki berjam-jam lewat hutan dan menyebrangi sungai yang deras airnya untuk sekolah adalah hal yang biasa terjadi di sini," ujar Tatung.
Siswa sanggat belajar itu berasal dari dusun-dusun yang berada di dalam taman nasional, seperti Dusun Sadan, Air Bomban, Tanjung Lintang dan Dusun Suit. Baren, 16 tahun, siswa dari Tanjung Lintang, mengatakan dirinya harus berjalan kaki sekitar tujuh kilometer menembus rimba sampai ke sekolah.
"Kalau sungai sedang banjir dan tak mungkin disebrangi, terpaksa saya libur sekolah dulu," katanya.
Meski di tengah keterbatasan, semangat menuntut ilmu dari sejumlah anak-anak pedalaman masih tetap ada. Lancar, yang juga menjadi pengajar, mengatakan enam siswa Sanggar Belajar Sadan telah mengikuti ujian nasional (UN) tingkat sekolah dasar pada tahun ini.
"Ini adalah pertama kali siswa di sini ikut UN," kata Lancar.
Ia mengatakan enam siswa itu mengikuti UN di SD negeri di Desa Rantau Langsat yang jaraknya jauh dari rumah. Mereka terpaksa menumpang di rumah warga selama ujian berlangsung.
Lancar berharap siswa sekolah itu bisa lulus UN, meski banyak orang menilai pendidikan di sekolah rimba jauh di bawah standar nasional. Namun, ia mengatakan pendidikan di sanggar sudah cukup karena terdapat mata pelajaran umum mulai dari Matematika, Bahasa Indonesia, IPS, IPA dan Bahasa Inggris.
Bahkan, ia mengatakan siswa di sanggar tersebut juga diajari pendidikan tambahan untuk bercocok tanam tanaman obat yang tumbuh di hutan sekitar mereka. Sebuah laboratorium tanaman obat disamping sekolah terlihat dipenuhi tanaman berkhasiat yang tumbuh subur, mulai dari pohon timba darah, bengkuang landak, setanggi hingga jarak kosta.
Ia mengatakan Sanggar Belajar Sadan berdiri sejak tahun 2007. Sekolah untuk anak pedalaman itu lebih banyak mendapat dana dari pihak swasta melalui Yayasan Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS).
Lancar mengatakan pihaknya bekerjasama dengan pemerintah setempat untuk menambah tenaga guru. Kini ada dua orang guru dari Dinas Pendidikan Indragiri Hulu yang mengajar di sanggar itu selama dua pekan dalam sebulan.
"Kami sangat kekurangan guru, saya sendiri sebenarnya pegawai di balai taman nasional yang merangkap jadi pengajar," kata Lancar.
Sekolah Marjinal Mengenaskan
Kesempatan anak pedalaman Kabupaten Indragiri Hulu untuk mengenyam pendidikan sebenarnya mulai terbuka dengan adanya dua sekolah di daerah itu. Selain Sanggar Belajar Sadan, terdapat sebuah sekolah tingkat SD di Dusun Datai yang lokasinya lebih jauh ke tengah taman nasional.
Sekolah itu bernaung di bawah dinas pendidikan, namun kondisi fisiknya tak lebih baik dari sanggar belajar di Sadan. Papan nama di bangunan itu bertuliskan "Sekolah Marjinal".
Mungkin karena bernama sekolah marjinal, bangunan itu seperti dibuat untuk terlantar dan tak terurus. Rumput ilalang setinggi pinggang orang dewasa menutupi sebagian halaman sekolah. Bahkan, tiang bendera pun sekolah itu tak punya!
Sekolah semipermanen itu terdiri dari tiga ruangan, dua diantara untuk kelas. Sedangkan, sebuah ruangan di pojok sebelah kanan menjadi tempat tinggal guru.
Faisal, seorang guru di sekolah marjinal, melepas lelah di ruangannya yang gelap dan lembab. Sinar matahari menembus melalui dua pintu di ruang itu.
"Di sinilah saya tinggal selama mengajar 10 hari di sekolah," kata pria berusia 35 tahun itu.
Kondisi tempat itu sungguh mengenaskan. Sebuah dipan kayu beralaskan tikar menjadi tempat faisal beristirahat tiap malam, yang juga penuh dengan buku-buku dan pakaian. Di sudut ruangan terdapat dua meja untuk meletakan perkakas memasak dan peralatan mandi. Sebuah kursi rusak yang sandarannya telah tanggal teronggok di tengah ruangan.
Ia mengatakan sekolah marjinal itu memiliki tiga guru yang mengajar bergantian tiap 10 hari. Ketiganya bukan warga setempat, sehingga harus rela menginap di sekolah.
Menurut dia, terdapat 66 anak Dusun Datai yang terdaftar sebagai siswa di sekolah marjinal. Pendidikan di sekolah itu hanya mengajari pelajaran sederhana seperti berhitung dan membaca.
Karena keterbatasan guru, ia terpaksa bergantian mengajar dari satu kelas ke kelas lainnya dalam satu hari. Untuk memudahkannya mengajar, dinding kayu pembatas dua kelas terpaksa dicopot sehingga lebih muda mengawasi anak didik di dua kelas berbeda.
Namun, ia mengaku sering terkendala mengajar mereka karena kesadaran warga setempat yang masih rendah terhadap pendidikan anak-anaknya. Namun, ia memaklumi itu karena kehidupan keras di tengah rimba seringkali memaksa anak laki-laki harus membantu keluarganya berladang sampai berhari-hari. Akibatnya, banyak sekali anak-anak pedalaman yang akhirnya putus sekolah.
"Saya tak bisa memaksa mereka," ujarnya.
Ia juga mengatakan telah menjadi pengajar berstatus guru honor di sekolah itu selama empat tahun. Ia mendapatkan honor dari Dinas Pendidikan Indragiri Hulu sebesar Rp800 ribu per bulan. Selain itu, guru di pedalaman juga mendapat dana transportasi sebesar Rp1 juta per bulan dari Dinas Pendidikan Provinsi Riau.
Ia mengatakan derita yang kerap diterima guru di pedalaman adalah honor dari pemerintah setempat yang kerap terlambat. Bahkan, ia mengatakan sudah lima bulan sejak awal tahun ini honor untuk guru di pedalaman belum kunjung cair.
"Sudah lima bulan honor belum cair," ujarnya.
Kalau boleh jujur, kondisi sekolah di daerah pedalaman adalah potret realita dunia pendidikan Indonesia yang belum merata bahkan masih tertinggal. Anggaran 20 persen dari APBN dan APBD untuk pendidikan ternyata nyaris tak menyentuh daerah pedalaman. Dan kalau pun ada, sentuhan itu bagaikan tetesan air yang sangat lamban.