Pakar: Jangan Anggap Gambut Hutan Alami

id pakar jangan, anggap gambut, hutan alami

Pakar: Jangan Anggap Gambut Hutan Alami

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Seorang pakar ekologi dari Universitas Riau, Dr Suwondo MSi menilai pemerintah jangan menganggap lahan gambut seperti hutan alami terkait revisi Peraturan Pemerintah No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang sedang dibahas.

"Dalam PP Gambut, pemerintah beranggapan gambut itu seperti hutan alami. Lalu pertanyaannya apakah hutan yang telah dikonversi jadi kebun atau hutan tanaman industri bisa persis seperti alami?, kan tidak mungkin," paparnya di Pekanbaru, Kamis.

Lalu, katanya melanjutkan, biodiversitas atau keanekaragaman hayati pada lahan gambut pasti terjadi karena tidak bisa dipungkiri dan apalagi untuk budi daya seperti perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri.

Sekitar 4,1 juta hektare (ha) atau 46 persen dari total luas daratan di Riau 8,9 juta ha merupakan lahan gambut yang sebagian besar kini sudah dimanfaatkan untuk budi daya tanaman dan sekaligus menjadi penopang pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Saat ini sudah sekitar 1 juta ha lahan gambut di Riau dimanfaatkan hutan tanaman industri jenis akasia, kemudian seluas 0,8 juta ha untuk lahan perkebunan kelapa sawit, lalu sekitar 0,5 juta hektare lahan pertanian dan sisanya perkebunan lain.

"Pada dasarnya gambut ini tidak masalah dimanfaatkan perkebunan sawit atau hutan tanaman industri, asalkan penerapan teknologi atau "water management". Misalnya selalu dikatakan dalam pengelolaan lingkungan bergambut itu harus perhatikan tata air," jelasnya.

Ia berucap, banyak hasil riset menyatakan apabila dikaitkan dengan kondisi Riau dalam 17 tahun terakhir terjadinya kebakaran hutan dan lahan, maka terjadi perubahan fisik pada lahan gambut dan segala macam.

Dalam konsep ekologi terutama konteks lingkungan, makan pernyataan itu memang demikian adanya. Tetapi harus perhatikan pengawasan lingkungan yang masih lemah, sehingga tidak berdampak pada konteks lain seperti ekonomi dan sosial yang cenderung berdampak negatif.

"Itu sedikit sulit dan bahkan akan memunculkan berbagai dampak negatif kepada banyak pihak jika betul-betul diterapkan. Salah satu yang menjadi fokus pemerintah di gambut adalah tata air," tegas Suwondo.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini sedang menampung berbagai masukan dari para pemangku kepentingan khususnya pelaku bisnis demi melakukan revisi PP Gambut yang merupakan turunan dari Undang-undang No.31/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Kita pemerintah sekarang ini posisinya sebagai simpul negosiator. Negosiasi antara kepentingan, baik pelaku usaha seperti hari ini, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat adat," kata Sekjen Kementerian LHK, Hadi Daryanto.

Kementerian LHK mencatat, saat ini luas lahan gambut mencapai 14 juta ha dan lahan gambut bisa dimanfaatkan pelaku usaha mencapai 7 juta ha. Tersisa sekitar 3,6 juta ha karena 1,7 juta ha lahan sudah dimanfaatkan untuk areal kebun sawit dan 1,7 juta ha untuk HTI.