Sisa Hutan Riau Menjelma Jadi Asap Berbahaya

id sisa hutan, riau menjelma, jadi asap berbahaya

Sisa Hutan Riau Menjelma Jadi Asap Berbahaya

Pekanbaru, (antarariau) - Sisa hutan alam di daratan Riau terbilang minim dan tinggal sekitar satu juta hektare. Data ini merupakan hasil analisis Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) kolaborasi dengan data Dinas Kehutanan setempat tahun 2004 silam.

Koordinator Jikalahari Zulfahmi kepada sejumlah wartawan di Pekanbaru, Jumat, menyatakan bahwa jumlah lahan hutan tersebut sama dengan 16 persen dari total luas daratan Riau yang mencapai 9,4 juta hektar. Namun dengan laju degradasi hutan alam yang mencapai 100.000 hektar per tahun, hutan alam Riau saat ini dipastikan hanya kurang dari satu juta hektar saja.

Menipisnya hutan alam menurutnya diiringi dengan kerusakan jutaan hektar lahan akibat salah pengelolaan, hingga memiliki korelasi nyata dengan maraknya bencana alam yang terus terjadi di Riau selama 10 tahun terakhir.

Tidak heran, masyarakat Riau kini harus rela "akrab" bahkan terus "berdampingan" dengan banjir serta kabut asap sebagai dampak kebakaran hutan atau lahan gambut.

Bahkan untuk kabut asap, dalam setahun tidak hanya terjadi sekali saja, namun bisa berulang tiga hingga empat peristiwa.

Kerusakan alam Riau diindikasikan terus semakin mengkhawatirkan, karena 60 persen wilayah daratan "Bumi Lancang Kuning" menurut Jikalahari merupakan lahan gambut yang sangat rawan kebakaran atau dibakar.

Selain itu, lahan gambut yang berfungsi sebagai lahan resapan air dan sumber air optimal bagi masyarakat dan habitat flora fauna di atasnya juga ikut terkikis.

Jikalahari juga mempredikasikan, tahun 2020 mendatang, selain menghadapi alam yang rusak parah akibat meningkatnya intensitas bencana alam, Riau dan wilayah Sumatera lainnya juga dihadapkan pada krisis air bersih.

"Untuk mencegah bencana mengerikan tersebut, pemerintah di tingkat provinsi maupun pusat harus memperbaiki kebijakan eksploitasi alam untuk kepentingan industri. Ada tiga kebijakan yang harus segera ditinjau kembali pelaksanaannya. Pertama, pemberian izin pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk bahan baku bubur kertas di Riau yang saat ini telah mencapai 1,6 juta hektar harus ditinjau kembali," katanya.

Kemudian menurut Jikalahari, disarankan juga pemerintah agar senantiasa waspada dengan peristiwa-peristiwa kebakaran hutan atau lahan kambut pemnyebab asap yang dapat mendatangkan penyakit bagi banyak manusia sekitar

Gagal Tanggulangi

Pakar lingkungan dari Universitas Riau (UR) Tengku Ariful Amri menilai, kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau yang terjadi sejak 1997 membuktikan pemerintahan di daerah itu gagal dalam melakukan penanggulangan.

Kebakaran hutan yang terjadi rutin setiap tahun sejak Juli 1997 menurutnya telah menunjukkan tidak ada yang dilakukan pemerintah.

Seharusnya menurut dia, pemerintah dapat melakukan langkah proaktif dengan melakukan pemetaan terhadap hutan dan lahan yang mudah terbakar dengan melibatkan masyarakat serta pihak perusahaan.

Dengan langkah tersebut, potensi kebakaran dapat diantisipasi sedini mungkin, sehingga kerusakan ekosistem dan kepunahan satwa langka dapat dihindari.

"Daerah yang menjadi sentra pembakaran hutan dan lahan dewasa ini terjadi di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan," katanya.

Untuk saat ini, pakar mengingatkan agar pemerintah mulai menaruh kewaspadaan tinggi akibat kemarau yang telah mencapai puncaknya.

Ia menyatakan potensi kebakaran hutan atau lahan gambut diprediksi akan meningkat saat musim kemarau yang mulai mencapai puncak, sehingga butuh kesigapan untuk mengantisipasinya.

"Peristiwa kebakaran bisa disebabkan berbagai hal yang dipicuh oleh pemanasan suhu udara di musim kemarau," katanya.

Yang jelas, demikian Amri, pada musim kemarau berbagai aktivitas pembakaran juga akan meningkat drastis. Selain pembakaran atau kebakaran pada lahan tidur dan hutan, kata dia, tanpa disadari juga kesibukan pembakaran sampah ditengah kota juga diprediksi akan dapat mengakibatkan kebakaran bangunan, baik rumah ataupun pertokoan.

"Hal ini juga bisa berbahaya untuk bangunan yang ada di sekitarnya. Artikata, potensi kebakaran bangunan juga bisa meningkat saat musim kemarau ini," katanya.

Kebakaran Menjelma

Kebakaran hutan atau lahan gambut di Riau yang kiat meningkat juga membuatnya menjelma menjadi asap berbahaya, potensinya adalah mengganggu kesehatan manusia bahkan hingga pemiskinan.

Kabut asap selalu menghantui sebagian besar wilayah di Sumatra, khususnya Provinsi Riau dan Pekanbaru sejak dari tahun ke tahun.

Belum ada solusi mengatasi permasalahan yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan ini. Setiap tahun, bencana yang kerap muncul pada waktu musim kemarau ini telah menjadi sorotan nasional bahkan internasional.

Lingkungan menjadi tercemar, kesehatan manusia terancam, bahkan martabat bangsa kian "terperosok" akibat peristiwa klasik ini.

Berbagai upaya mulai dari lintas pemerintah pusat, daerah bahkan sektoral dirasa belum optimal dalam mengatasi permasalahan ini. Kondisi ini dibuktikan dengan masih maraknya kasus kebakaran dan pembakaran lahan oleh masyarakat dan perusahaan di Riau.

Pakar Tengku Ariful Amri mengatakan, kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah Riau sejauh ini telah mendatangkan kerugian yang teramat dahsyat.

Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan tersebut, kata dia, memberikan tiga dampak negatif, yakni tercemarnya lingkungan, terganggunya kesehatan manusia dan melemahkan roda perekonomian bangsa.

"Partikel yang terkandung pada asap sisa kebakaran hutan dan lahan terpecah menjadi tiga bagian, di antaranya yakni pertikel yang sangat halus.

"Partikel ini sangat mudah terbawa oleh angin dan menyebabkan meluasnya pencemaran akibat dari kebakaran tersebut," ujarnya.

Kata Amri, jika sisa partikel halus ini sampai menyentuh kawasan hutan dan pepohonan pada taman kota, maka udara dapat tersaring, zat-zat berbahaya yang sebelumnya terbawa menempel di dedaunan pepohonan yang dilintasi.

Akan tetapi, kata dia, jika suatu daerah yang dilanda kebakaran hutan dan lahan tidak memiliki luasan hutan alami dan tanaman pepohonan yang mencukupi, maka penyebaran partikel berbahaya bisa sangat jauh bahkan hingga menjangkau permukiman penduduk.

Jika hal demikian terjadi, menurut Amri, maka partikel halus tersebut juga akan mencemari perairan baik di sungai maupun pada sumber air yang menjadi konsumsi masyarakat.

"Kondisi ini juga dapat membahayakan kesehatan manusia, terlebih jika manusia itu menghirup udara dan mengonsumsi air yang telah tercemar secara langsung," katanya.

Udara dan air yang telah tercemar secara langsung menurutnya akan mampu mengotori paru-paru serta menghambat saluran pernafasan serta peredaran darah manusia pengonsumsinya.

Lain dari itu, menurut pemerhati ini, kandungan asap dan partikel halus berbahaya yang terbang lebih tinggi bersama udara jika mencapai "sarang" awan penghujan, maka juga akan mampu mengotori embun atau air hujan yang dihasilkan oleh gumpalan awan penghujan.

"Air hujan yang tercemar oleh partikel asap ini, juga berbahaya jika dikonsumsi secara langsung oleh manusia mengingat kandungan zat asamnya yang sangat tinggi dan dapat mendatangkan kanker pada tubuh manusia," katanya.

Tidak ada jalan lain guna penyelamatan lingkungan, waspada kesehatan dan menjaga martabat bangsa ini. Selain menyatukan komitmen untuk memerangi aktifitas pengrusak lingkungan yang setakat ini terus saja "meraja", pelakunya juga harus ditindak tegas.

Jangan sampai sisa hutan Riau yang hanya kurang dari satu juta hektare, justru menjadi "santapan" pihak-pihak tak bertanggungjawab yang hanya mementingkan "perut" kelompok tertentu saja.