Indonesia Berpeluang Rajai Pasar Bioenergi

id indonesia berpeluang, rajai pasar bioenergi

Indonesia Berpeluang Rajai Pasar Bioenergi

Jakarta, (AntaraRiau) - Indonesia dengan lahannya yang sangat luas dari Sabang hingga Merauke, memiliki potensi menjadi penghasil bahan bakar nabati terbesar di dunia apabila pemerintah mau serius menggarap lahan Indonesia untuk ditanami bahan baku biofuel.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan pemerintah bisa mulai menggarap lahan terlantar di Indonesia dengan menanam berbagai tanaman seperti singkong, tebu, sorgum, sawit, jarak pagar, dan lainnya yang khusus diperuntukkan sebagai bahan baku biofuel.

"Indonesia berpotensi menjadi raja biofuel dunia, asalkan mau menanam bahan bakunya secara khusus," katanya.

Menurut dia, selama ini pengembangan tanaman sebagai bahan baku biofuel selalu terhambat karena tanaman biofuel biasanya merupakan tanaman pangan, sehingga masyarakat lebih memilihnya untuk dikonsumsi menjadi pangan daripada sebagai energi.

Faktanya, tanaman seperti singkong, tebu, sawit dan lainnya yang dialihkan menjadi bahan baku biofuel akhirnya memang menaikkan harga pangan dunia, hal yang tak dikehendaki oleh siapapun.

Alasan itulah yang mengharuskan tanaman biofuel harus merupakan kebun yang khusus.

Selain itu menurut Pri, kewaspadaan pemerintah juga diperlukan untuk memenuhi bahan baku biofuel nasional dengan cara menjaga keseimbangan antara pasokan dengan kebutuhan.

Sehingga tingkat eksploitasi bahan baku biofuel harus seimbang dengan penanaman kembali bahan baku tersebut

Dia juga mengatakan Indonesia harus mengurangi ekspor bahan baku biofuel yang terdiri dari kelapa, kelapa sawit, tebu, singkong dan sejenisnya.

Bahan baku tersebut lebih baik diolah di dalam negeri untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia, ujarnya.

"Karena faktanya Indonesia saat ini lebih banyak mengeskpor bahan baku `biofuel' ke luar negeri karena keuntungannya dianggap lebih menjanjikan," ujar Pri Agung.

Pri mengatakan selain keberadaan lahan yang luas Indonesia juga memiliki tenaga ahli biofuel yang cukup untuk bisa mengembangkan bahan bakar nabati itu.

Pemerintah juga bisa memberikan subsidi pada ¿biofuel¿ layaknya pemberian subsidi pada bahan bakar minyak (BBM).

"Subsidi `biofuel¿ nantinya tergantung dari skalanya. Bisa Rp4.500 atau Rp5.000 per liter seperti subsidi BBM," kata dia.

Menurut Pri penggunaan ¿biofuel¿ tidak akan menghemat atau menekan penggunaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebab biaya produksi dan pengembangannya sama besarnya dengan harga BBM.

Namun penggunaan ¿biofuel¿ dapat mengurangi pemanfaatan minyak bumi, yang berasal dari fosil, dan cadangannya sudah semakin menipis serta tak dapat diperbaharui.

Selain itu menurut dia, pengembangan biofuel juga bisa menekan tingkat pengangguran karena akan banyak membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Pri menilai kebijakan pemerintah terkait pengembangan bahan bakar cenderung lambat, tidak jelas dan tidak komprehensif dari sektor hulu ke hilir.

Perlu Serius

Anggota Komisi VII DPR Satya Widya Yudha juga sepakat mengatakan bahwa Indonesia sangat memungkinkan menjadi negara penghasil ¿biofuel¿ terbesar di dunia jika pemerintah mau serius mengembangkan ¿biofuel¿ nasional.

"Brazil saja bisa mengembangkan `biofuel¿ secara besar-besaran dan berhasil," kata Satya.

Salah satunya pemerintah bisa memperbanyak penanaman jenis bahan baku biofuel agar lebih beragam, seperti sorgum dan jarak.

"Saat ini kita masih bergantung pada kelapa sawit atau `crude palm oil, karena itu ragam bahan bakunya harus diperbanyak," kata dia.

Satya mengatakan saat ini pemerintah telah memberikan subsidi sebesar Rp2.500 sampai Rp3.500 untuk biofuel berbasis bahan baku sawit, namun subsidi juga harus diberikan terhadap ¿biofuel¿ berbahan baku lain.

Menurut dia, saat ini harga bahan bakar minyak dunia sedang mengalami kenaikan, sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengembangkan biofuel.

"Karena `biofuel itu kan nantinya dicampur dengan minyak bumi, sehingga harganya di pasar bisa ditekan lebih murah," kata dia.

Dia mengatakan penggunaan ¿biofuel¿ harus diutamakan bagi konsumsi dalam negeri. Sehingga kebijakan penggunaan biofuel yang dibatasi hanya lima persen harus dikaji kembali.

Pemerintah juga tidak boleh menutup mata terkait adanya kekhawatiran dari pengusaha bahan baku biofuel ketika harga minyak dunia mengalami penurunan masyarakat akan kembali beralih menggunakan BBM.

Oleh karena itu dia berharap pemerintah bisa memberikan insentif kepada pengusaha dalam hal kemudahan mengekspor biofuel ke luar negeri, khususnya Eropa, apabila permintaan di dalam negeri mengalami penurunan.

"Pemerintah perlu melakukan kesepakatan dengan negara-negara Eropa danmeringankan pajak ekspor, agar ketika harga minyak dunia menurun dan permintaan `biofuel' ikut menurun, pengusaha bisa mengekspor ke Eropa tanpa beban pajak yang berlebihan," ujar dia.

Pemerintah menurut dia, juga harus memberikan insentif untuk membiayai program biofuel nasional.

Sebelumnya Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material (TIEM) Unggul Priyanto merekomendasikan skenario perkebunan energi yang diharapkan mampu menjamin ketersediaan berbagai jenis bahan bakar nabati seperti biodiesel dan bioethanol untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat.

"Kebun energi ini misalnya perkebunan sawit yang dikhususkan untuk bahan baku `biodiesel', tidak boleh untuk keperluan lainnya seperti komoditas ekspor," kata Unggul.

Dia mengatakan, produksi biodiesel saat ini hanya sekitar 10 persen saja dari kapasitas terpasang pabrik ¿biodiesel¿ yang mencapai sekitar empat juta kiloliter per tahun karena pengusaha CPO (minyak sawit mentah) lebih senang mengekspornya ke pasar internasional terkait harganya yang sedang bagus Rp8.500 per liter.

Sedangkan bioethanol yang hanya diproduksi 1 persen dari kapasitas produksinya yang sekitar 300 ribu kiloliter per tahun, berhubung bahan bakunya berupa singkong, tebu dan sejenisnya lebih digunakan sebagai bahan pangan.

Menurut Kepala Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT Dr Adiarso, wilayah Indonesia sebenarnya sangat luas dan potensial dikembangkan menjadi area industri biodiesel yang berkelanjutan dan terintegrasi dari industri hulu sampai ke hilir.

Pada prinsipnya, ujar dia, perkebunan energi ini merupakan sebuah entitas bisnis perkebunan milik pemerintah yang nantinya menjalankan usaha khusus dalam penyediaan energi bagi masyarakat.

Menurut dia, apabila konsep ini berhasil sangat dimungkinkan pasokan biofuel akan stabil termasuk harganya yang bisa menjadi cukup murah di bawah harga solar bersubsidi Rp4.500 per liter.