Spekrum-Forum Davos, 'Pemakaman' Kapitalisme

id spekrum-forum davos pemakaman kapitalisme

Davos - Konferensi tahunan bertajuk 'World Economic Forum' (Forum Ekonomi Dunia) di Davos, Swiss akan berakhir besok (29/1).

Sekalipun tidak ada rumusan konkret terhadap tema besar konferensi: "Transpormasi Besar, Membentuk Model Baru", tetapi semua alur diskusi sepakat, sistem ekonomi, politik dunia saat ini tidak cocok digunakan untuk menjalani abad 21.

Sistem neo kapitalisme yang berjaya di abad 20 perlu diakhiri. Karena, ternyata bermuara kepada ketidakpastian, ketimpangan, keserakahan, kemiskinan.

Pertemuan Davos berambisi mencari model baru yang bisa memperbaiki harkat kemanusiaan. Model baru dimaksud, tidak terbatas pada 'model ekonomi'. Tetapi juga model demokrasi, kepemimpinan, arah globalisasi, masa depan sumberdaya manusia, teknologi, seni, dan sebagainya.

Itulah sebabnya, sekalipun nama resminya 'World Economic Forum' (WEC), topik bahasan melibatkan pendekatan multi inter-disipliner. Hampir semua sependapat, dunia perlu sebuah model baru!

Forum memilih empat topik sub-tema yang menjadi tema bahasan utama untuk pencarian model baru. Yaitu; model pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan, kepemimpinan dan inovasi, keberlanjutan dan sumber daya, sosial dan teknologi.

Ratusan panel diskusi yang berlangsung secara simultan tersaji setiap hari. Peserta bebas memilih sesuai selera. Tetapi topik dengan pembicara hebat dalam sekejab selalu penuh, peserta harus antri sebelum waktunya. Situasinya agak mirip saat nonton 'Java Jazz' di Jakarta.

Manfaat Jaminan Sosial

Awalnya forum ini merupakan pertemuan tahunan para kapitalis dunia. Tetapi akhirnya terbuka untuk siapa saja yang mau daftar. Akibatnya semua 'pendekar global' hadir di sini.

Penulis jadi teringat novel Kho Phing Hoo tentang sebuah cerita saat pendekar dari seluruh dunia 'kwangow' dari semua aliran silat berlumpul di pegunungan.

Pembaca bisa menebak secara acak, siapa saja tokoh yang hadir. Misalnya kampiun spekulan George Soros, Bill Gates dari Microsof, Direktur 'Green Peace' Kumi Naido, pebisnis top Amerika Donald Trump, produser film Holywood, Luc Besson, penulis Karen Amstrong, Direktur IMF, beberapa kepala negara, sampai delegasi dari serikat buruh (termasuk penulis di jajarannya), juga tidak ketinggalan hadir.

Semua diberi kesempatan untuk menyampaikan pikiran masing-masing.

Sekalipun di luar membeku dengan timbunan salju di semua tempat, tidak bisa membekukan hangatnya perdebatan di berbagai panel diskusi.

Namun, sekalipun dilabeli forum Ekonomi Dunia, tak terhindarkan alur diskusi lebih banyak membicakan memburuknya krisis ekonomi di Eropa. Pengangguran yang cukup tinggi di Spanyol, Hungaria, Junani, Itali, Rumania, menghadirkan kekhawatiran, krisis masih jauh dari penyelesaian.

Delegasi Serikat Buruh Dunia (ITUC) meminta agar masalah lapangan kerja harus tetap prioritas utama. 'Tidak ada pemulihan tanpa pemutihan lapangan kerja," kata Sharon Barrow, Sekretaris Jenderal ITUC.

Dia menambahkan, negara-negara tidak perlu khawatir untuk mengembangkan manfaat jaminan sosial. Khususnya jaminan sosial dasar. Sebab, sistem itu akan membuat ekonomi tetap hidup dan mencegah perluasan krisis global.

Pemerintah juga, menurutnya, sebaiknya lebih mempriotaskan melayani kepentingan rakyat, ketimbang para pelobi bisnis. Sebab biasanya, mereka hanya mencari keuntungan bisnis dan memperkaya birokrat.

Menteri Mari Pangestu yang menjadi panelis di hari kedua (25/1), memaparkan cerita sukses Indonesia keluar dari krisis ekomomi global. Salah satunya karena sudah mengubah paradigma ekonomi Indonesia dari pendekatan lama yang selama ini mengandalkan pertumbuhan ekonomi melalui orientasi eksport, ke pendekatan konsumsi domestik ('consumption-led growth').

Bahkan, lanjutnya, kontribusi sektor ini mencapai 60 persen dari GDP Indonesia. Saat penulis bertanya, Mari tersenyum. Mungkin kaget melihat penulis kog ada di situ. Kebetulan sudah saling mengenal lama.

Pertanyaan penulis membuat diskusi jadi hangat. Penulis menyampaikan kekhawatiran atas pujian berlebihan terhadap sukses ekonomi Asia. Sebab sukses ekonomi Asia ternyata memperdalam ketimpangan pendapatan penduduk dan meluasnya praktek pekerja informal dan kemiskinan.

Kekhawatiran itu perlu disampaikan, karena krisis ekonomi sangat mudah berubah menjadi krisis politik yang sering berbuntut kerusuhan massa, dan dengan sekejab bisa menghilangkan capaian selama ini.

Pesta Malam Indonesia

Delegasi Pemerintah Indonesia nampaknya memanfaatkan forum ini sebagai media untuk mempromosikan Indonesia sebagai tempat investasi yang aman. Mereka mengundang ratusan delegasi memghadiri malam Indonesia.

Acara ini diselenggarakan Kamis malam dengan menampilkan pertunjukan musik dan sajian makan malam ala Indonesia. Sekalipun pada malam itu banyak undangan makan malam, penulis memilih hadir ke pesta Indonesia. Pasalnya, mau bertemu dengan teman-teman Kedubes Indonesia yang dari Geneva dan Zurich, Menteri Perdagangan, Gita Wiryawan, dan lainnya.

Saat jam bergerak menuju jam 21.00, penulis cabut dari lokasi pesta 'kita'. Soalnya, masih ada satu lagi jamuan makan malam dengan kalangan aktivis NGO dunia.

Bertemu dengan kelompok ini selalu menarik. Karena bagi mereka, semuanya masih jauh dari harapan, jadi tempo perjuangan tidak boleh melambat.

Panitia layak mendapat anjungan jempol atas efesiensi mereka melayani ribuan peserta. Bahkan jauh hari sebelum acara dimulai semua, informasi detil sudah disampikan ke peserta.

Setiap peserta memiliki 'account' informasi pribadi dengan 'password' tersendiri. Jadi, setiap saat memasuki internet, langsung layar menampilkan foto dan identitias, jadwal pribadi, dokumen, info, dan semuanya.

Perangkat komputer bertaburan di banyak tempat. Begitu juga dengan panitia yang sangat cekatan memberi informasi.

Yang terpenting lagi, makanan dan minuman semuanya cuma-cuma. Jadi orang tidak perlu pergi ke luar ruangan untuk mencari makanan.

Bahkan di jalanan, banyak perusahaan dari makanan-minuman internasional yang mempromosikan produknya dengan cuma-cuma.

Penulis yang sudah menghadiri ratusan kali forum internasional, tidak pernah menemui panitia yang seefisien ini.

Itu pula sebabnya, situasi ini memberi motivasi lebih bagi para buruh, termasuk penulis untuk menderaskan aliran aspirasi mayoritas warga dunia.

Lalu, forum yang berlabel resmi 'WEC', akhirnya menjadi arena perdebatan multi inter-disipliner, dan hampir semua sependapat: dunia perlu sebuah model baru (=tinggalkan era neo-kolonialisme).

Tegasnya, pertemuan Davos berambisi mencari model baru yang bisa memperbaiki harkat kemanusiaan.

*) Oleh Rekson Silaban--Presiden K-SBSI & Peserta/Anggota Delegasi Organisasi Perburuhan Internasional di WEC.