Meneropong Durban Plaform

id meneropong durban plaform

Tiga puluh enam (36) jam setelah batas waktu yang telah ditetapkan (Jumat, 9/12/11), pada Minggu Subuh tanggal 11 Desember 2011, akhirnya para menteri, ketua delegasi, dan juru runding senior negara peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework on Climate Change Convention, atau dikenal juga sebagai UNFCCC) menyepakati keputusan untuk membentuk satu badan perundingan baru yang disebut sebagai Ad-Hoc Working Group on Durban Platform on Enhanced Actions atau disingkat sebagai AWG-DPEA.

Reaksi yang beragam muncul dari berbagai pihak, sebagian merasa lega karena negara berkembang dan negara maju masih bisa duduk bersama menyepakati satu keputusan yang mengikat semua pihak.

Tapi tidak sedikit yang merasa kecewa karena hasil tersebut dinilai tidak cukup ambisius untuk mengamankan upaya menanggulangi perubahan iklim paska berakhirnya komitmen pertama Protokol Kyoto di tahun 2012.

Durban Platform memang bukanlah suatu hasil akhir. Negara-negara belum berhasil menyepakati angka dan bentuk komitmen negara maju dalam periode komitmen kedua Protokol Kyoto. Negara-negara juga tidak dapat merumuskan bagaimana komitmen negara maju yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto serta kontribusi negara berkembang dalam upaya mitigasi akan diatur.

Namun Durban Platform berhasil memutuskan apa yang tidak bisa diselesaikan oleh Cancun Agreement yaitu kesepakatan bahwa rejim perubahan iklim paska 2012 akan dijalankan dengan proses berkerangka hukum dengan jadwal untuk menyelesaikan elemen-elemennya sebelum tahun 2020.

Durban Platform merupakan saksi dimana India dan China menyepakati kerangka kerja yang sama dengan Amerika Serikat dan Komisi Eropa. Durban Platform membuat dunia masih percaya pada kerangka kerja multilateral untuk perubahan iklim.

Tidak dapat dihindari bahwa dalam beberapa minggu bahkan bulan ke depan akan banyak analisis, berita, dan ulasan dari berbagai kacamata yang akan membahas Durban Platform. Namun, sebelum semua cerita ini akan memperkaya pemahaman kita akan reaksi dunia atas keputusan ini, mari kita lihat catatan Delegasi Republik Indonesia atau Delri terhadap jam-jam menegangkan di Durban tersebut.

Dukungan penuh bagi Afrika Selatan

Rancangan Durban Platform baru mulai mengerucut pada tiga hari terakhir dari kalender resmi perundingan, di saat semua menteri dan ketua delegasi berdatangan dan memulai High Level Segment (HLS). Kemacetan yang terjadi dihampir semua isu pembicaraan akibat kerasnya para juru runding dalam mempertahankan posisi masing- masing membuat beberapa negara kunci, termasuk Indonesia, mendukung usulan Presiden COP, Maite Nkoana-Mashabane, untuk membawa isu isu yang bersifat politis dan sulit ke dalam sesi perundingan tingkat tinggi para menteri dan ketua delegasi yang telah menjadi tradisi UNFCCC dalam mencari jalan keluar semenjak kepemimpinan Indonesia pada COP-13 di Bali.

Dukungan Indonesia terhadap pembicaraan tingkat tinggi didasari beberapa pemikiran utama. Pertama, dengan berakhirnya periode komitmen pertama Kyoto Protokol pada tahun 2012, apabila tidak terjadi kesepakatan di Durban mengenai proses yang dapat mewadahi pertemuan untuk rejim baru perubahan iklim paska Kyoto, maka sudah hampir dapat dipastikan bahwa pada COP 18 di Doha tahun 2012 dunia akan kehilangan rejim internasional yang dapat membuat para pelaku bisnis energi dan hutan di seluruh dunia berpikir ratusan kali untuk tetap melakukan metode bisnis sarat emisi karbon.

Pasar karbon akan turut mati dan insentif terhadap bisnis rendah karbon menjadi tidak menarik baik bagi sumber pendanaan publik maupun swasta.

Pemikiran kedua, ada tidak adanya Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto, beberapa negara maju kunci (Amerika Serikat, Jepang, Rusia dan Canada) telah menyatakan tidak akan turut serta. Apabila tidak ada proses yang disepakati di Durban mengenai bagaimana negara-negara ini dapat tetap dipertahankan komitmennya tanpa melalui Protokol Kyoto maka sudah pasti tidak akan terjadi rejim di mana negara bekembang besar, yang dalam konvensi tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi, akan dapat menerima burden sharing guna mempertahankan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir dibawah tingkat yang membahayakan.

Ketiga, elemen-elemen Bali Action Plan yang seharusnya dituntaskan modalitas dan prosedur pelaksanaannya di COP 15 di Copenhagen perlu sesegera mungkin dilaksanakannya rencana kerjanya. Cancun Agreement yang dihasilkan tahun lalu di COP ke 16 di Mexico memang berhasil mengeluarkan bahasan lebih detil dari beberapa elemen dari Bali Action Plan, namun gagal memberikan arahan lebih jelas akan implementasi dari elemen-elemen tersebut.

Dan yang terakhir, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Delri, Prof. Rachmat Witoelar, dalam pidatonya di High Level Segment (HLS), Delri berangkat ke Durban dengan misi untuk mengajak semua pihak agar menyadari bahwa perubahan iklim adalah masalah dunia yang harus diselesaikan bersama sebagai kewajiban moral dari semua pihak, bukan hanya dari sisi kepentingan politis dan ekonomi semata.

Pokok-pokok pemikiran inilah yang menjadi landasan bagi Delri untuk berunding tanpa henti selama empat hari terakhir. Secara aktif, beberapa anggota Delri yang dipimpin langsung Witoelar, melakukan analisis terhadap skenario-skenario paket keputusan Durban dan menyampaikannya sebagai usulan dalam negosiasi tingkat tinggi tersebut.

Beberapa usulan Delri yang akhirnya menjadi bagian dari Durban Platform terkait dengan kesepakatan akan proses untuk menyelesaikan isu-isu penting di tahun 2012 dan kejelasan akan adanya timeline bagi penyelesaian elemen KP dan BAP.

Prioritas Delri di Durban

Dalam pidato yang sama, Ketua Delri juga memaparkan daftar keputusan yang perlu terjadi di Durban terkait dengan kepentingan Indonesia:

Satu, Komitmen yang setara bagi negara negara maju baik yang meratifikasi protokol kyoto kedua maupun tidak;

Dua Mekanisme yang transparan bagi pelaksanaan upaya mitigasi maupun bantuan pendanaan dan teknologi dari negara maju yang terukur, terlaporkan dan terverifikasi (Measurable, Reportable and Verifiable atau MRV);

Tiga, Penyelesaian atas perangkat dari Green Climate Fund (mekanisme pendanaan sebesar 100 miliar dolar) agar dapat beroperasi secara penuh, termasuk didalamnya adopsi laporan Technical Committee dan juga mekanisme bagi pendanaan REDD+;

Empat, Kesepakatan akan perangkat dan tugas dari Adaptation Committee serta keputusan akan modalitas dari mekanisme loss and damage serta pelaksanaan rencana kerja Nairobi Work Programme (NWP)

Lima, Meminta negara maju melakukan terobosan baru dalam menyikapi transfer teknologi yaitu tidak melihat teknologi sebagai "barang" yang dijual melalui pasar tapi lebih pada "sarana" untuk meningkatkan kemampuan negara berkembang dalam melakukan upaya pembangunan rendah karbon.

Pada akhir sidang, dua dari daftar tersebut berhasil disepakati, yaitu operasionalisasi Green Climate Fund dan Adaptation Commitee.

Sementara dua lainnya, komitmen setara dan terobosan terjadap transfer teknologi muncul dalam bentuk intermediate result guna dibahas kembali pada COP 18. Satu hal masih menjadi ganjalan bagi Delri adalah belum dapat disepakatinya mekanisme MRV yang utuh di Durban.

Paska Durban

Durban memang belum menghasilkan kesepakatan dengan level ambisi yang diinginkan banyak pihak termasuk Delri. Namun tentunya mendapatkan kesepakatan dari 193 negara dengan beragam kepentingan politik dan ekonomi bukanlah hal yang semudah membalik tangan. Apabila negara-negara kunci tetap mempertahankan posisi masing-masing, bukan tidak mungkin Durban berakhir tanpa keputusan. Apabila beberapa negara masih mempraktikkan strategi lama mereka, menyudutkan Amerika Serikat dan China sembari mencoba menjadi pahlawan, Durban dapat menjadi detik detik kematian rejim perubahan iklim yang akan dikubur di Doha.

Apa yang terjadi di Durban adalah yang terbaik dari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Perjalanan menuju rejim perubahan iklim masa depan masih tetap panjang dan berliku. Namun marilah semua pihak mengingat kembali semangat yang ditunjukan semua pihak pada saat Bali Road Map lahir empat tahun silam.

Indonesia dan seluruh negara para pihak perlu bersyukur bahwa Indonesia memiliki Bali Action Plan yang akan terus menjadi pegangan dan arahan dalam upaya bersama menangani permasalahan perubahan iklim secara multilateral.

Bagi Delri, semangat berikut akan terus digaungkan dalam hati,

"perjuangan untuk menanggulangi perubahan iklim tidak akan berhenti sebelum tercapai hasil yang cukup bagi bumi".***4***

[i] Penulis adalah Anggota Delegasi RI(Delri) pada UNFCCC COP 17 di Durban dengan fokus pada kerangka kerja, arsitektur dan legal Paska 2012.

Penulis saat ini bertugas sebagai Asisten Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim dan merupakan mantan Penasehat Presiden UNFCCC COP ke 13 di Bali tahun 2007 serta Wakil Ketua Pokja Negosiasi Internasional di Dewan Nasional Perubahan Iklim pada periode tahun 2008-2010.