Jakarta, (Antarariau.com) - "Cring! Cring! Cring! Cring!" Lonceng pada kuda-kuda para kesatria yang mengikuti ritual Pasola berdenting setiap kali binatang itu berlari, dipacu oleh penunggangnya memutari padang rumput hijau luas di Hobba Kalla, Lamboya, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.
Para kesatria dari kubu yang satu melemparkan lembing kayu dengan ujung tumpul berdiameter 1,5 sentimeter ke arah para kesatria dari kubu lawan.
Lembing-lembing kayu beterbangan di udara, di bawah langit biru cerah berhias awan-awan putih.
Sorak sorai "aaah" dan "uuuh" layaknya para penonton pertandingan olahraga terdengar tiap kali lembing nyaris mengenai kesatria peserta upacara Pasola.
Puluhan kesatria penunggang kuda mengikuti upacara tradisional orang Sumba penganut kepercayaan Marapu itu.
Pasola berasal dari kata sola atau hola, yang artinya lembing kayu atau tombak. Awalan "pa" membuat maknanya berubah menjadi permainan perekat jalinan persaudaraan menurut tulisan di laman resmi pariwisata Indonesia.
Tradisi Pasola, yang berakar dari legenda cinta segi tiga antara perempuan bernama Rabu Kaba dengan Umbu Amahu dan Teda Gaiparona, dilaksanakan setiap tahun antara Februari hingga Maret.
Setiap tahun jadwal penyelenggaraannya tidak menentu. Semua tergantung keputusan tetua adat setempat yang dibuat berdasar perhitungan munculnya bulan purnama.
Laman resmi wisata Nusa Tenggara Timur menyebutkan pasola biasanya didahului ritual Madidi Nyale atau pemanggilan cacing laut (nyale) yang muncul setahun sekali.
Masyarakat setempat percaya semakin banyak cacing laut yang muncul saat upacara berlangsung, niscaya panen akan melimpah ruah.
Saat Pasola berlangsung, para kesatria mengenakan tenun yang diikat di kepala dan pinggang. Kuda-kuda mereka juga dihias meriah, lengkap dengan pita dan umbul-umbul warna-warni.
Mata penonton bergerak mengikuti arah kuda yang berderap kencang di hamparan rumput hijau berlatar belakang pemandangan Pantai Marosi yang airnya berwarna biru kehijauan dan berpasir putih di kejauhan.
Ribuan orang dari berbagai usia, termasuk turis domestik dan asing, menyemut di pinggir arena Pasola menyaksikan pertarungan para kesatria penunggang kuda.
Polisi yang menjaga keamanan terkadang harus mengingatkan para penonton yang terlalu antusias agar menjauh dari arena pertarungan agar terhindar dari lembing para kesatria.
Tidak semua orang bisa berpartisipasi dalam Pasola. Butuh kemahiran berkuda, kelihaian melempar lembing dan keberanian untuk mati, atau setidaknya terluka, untuk mengikuti pertarungan itu.
Cedera memang tidak terelakkan dalam pelaksanaan tradisi yang pada masa lalu bisa mengakibatkan korban jiwa itu.
Dan kejadian semacam itu justru dinanti warga setempat. Mereka percaya darah yang tercucur ke tanah akan menjadi persembahan bagi Dewa Bumi yang memberi kesuburan ke tanah Sumba.
"Ada teman-teman saya yang cacat karena terluka saat Pasola," kata Ande Dangu, pemandu Antara News saat mengunjungi Sumba pertengahan Februari 2015.
Tidak ada yang bisa memastikan berapa lama ritual itu berlangsung. Semuanya tergantung keputusan para pemimpin adat yang memantau suasana Pasola.
Bila para pemimpin adat merasa para kesatria sudah kelelahan bertarung, Pasola akan dinyatakan selesai.
Festival Pasola di Lamboya tahun ini berakhir tanpa darah. "Sepertinya panen tahun ini tidak subur," kata seorang warga setempat yang menyaksikan festival.
Begitu upacara selesai, mereka yang menjadi lawan di arena pertarungan akan kembali menjadi kawan.
"Tidak ada dendam, bisa saja berangkat dan pulangnya bersama-sama walau di lapangan mereka saling berperang," tutur Ande.
Para kesatria pulang ke kampung masing-masing dengan menunggangi kuda, sementara masyarakat setempat pulang dengan berjalan kaki, mengendarai sepeda motor, atau naik angkutan umum.
Ada yang kembali ke perkampungan di sekitar arena Hobba Kalla, ada pula yang kembali ke kota Waikabubak, yang dapat ditempuh dalam waktu 45 menit mengendarai mobil.
Sebagian lagi memilih pergi ke Pantai Marosi yang hanya beberapa menit dari arena Pasola bila ditempuh dengan kendaraan bermotor.
Pesta Adat
Festival Pasola merupakan pesta bagi masyarakat setempat. Sekolah-sekolah di kampung yang mengadakan Pasola akan meliburkan murid-muridnya selama tiga hari mulai dari sehari sebelum Pasola, pada hari pelaksanaan dan sehari setelah Festival Pasola.
Pasola dilaksanakan bergiliran di kampung-kampung Sumba Barat sehingga hari libur tiap sekolah pun bervariasi.
Menjelang Pasola, masyarakat berbondong-bondong berangkat ke arena tarung. Para lelaki akan mengikatkan kain tenun di kepala dan memakai sarung tenun pendek selutut, seperti yang dipakai para kesatria Pasola.
Para perempuan mengenakan sarung tenun yang panjangnya mencapai mata kaki. Sementara anak-anak mengenakan pakaian kasual seperti kemeja dan kaus yang dipadu celana pendek.
Warga setempat yang sebagian tidak beralas kaki berbaris menyusuri jalan aspal menanjak dari perkampungan ke arena Pasola di Hobba Kalla demi menyaksikan upacara tahunan itu.
Selain di Hobba Kalla, Lamboya, ritual Pasola juga dilaksanakan di Kamaradena, Kecamatan Wanokaka, dan Gaura di Lamboya Barat, Maliti Bondo (Ratenggaro), Kecamatan Kodi Bangedo serta Waiha dan Wainyapu di Kecamatan Kodi Blaghar.
Setiap rumah di kampung yang mengadakan Pasola akan memasak dalam porsi besar. Mereka siap menyambut para tamu dari lingkungan sekitar yang akan bersilaturahmi usai perhelatan Pasola.
Salah satu ruang kelas di sekolah Lamboya disulap menjadi ruang prasmanan oleh guru yang rumahnya bersebelahan dengan sekolah tersebut.
Di meja panjang, berjejer bakul nasi, belasan ketupat, sepanci opor ayam, sepanci kambing berkuah dan setoples kerupuk. Satu persatu tetangga datang untuk makan dan bercengkrama dengan tuan rumah.
"Pasola itu mirip seperti suasana Lebaran," kata Ande.