Pekanbaru (Antaranews Riau) - Tidak bisa dipungkiri bahwa orang keturunan Arab menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kebhinekaan Indonesia saat ini dalam banyak hal. Mari kita tengok sejarah mengenai eksodus besar-besaran orang Arab masuk ke Nusantara.
Masuknya orang Arab dalam jumlah besar mulai terjadi pada awal abad ke-19 yang dipicu oleh dampak kebijakan pertanian tebu untuk gula di Hindia Belanda. Hal ini dikupas cukup rinci di buku Understanding Islam In Indonesia Politics And Diversity (2010) yang disusun oleh Robert Pringle.
Penulis, Robert Pringle, adalah sejarawan dan mantan diplomat yang pernah menjadi Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia pada dekade 1970-an.
Belanda yang saat itu menjajah Indonesia mulai membuka areal pertanian secara massif untuk gula, terutama di Jawa Timur. Mereka menemukan terobosan bahwa pohon tebu bisa ditanam dengan sistem rotasi dengan padi di sawah dengan sistem irigasi.
Uang dari gula menimbulkan “ledakan” ekonomi fantastis, memunculkan sentra ekonomi baru seperti di Jombang, yang jadi pusat pabrik gula, menciptakan banyak lapangan kerja, dan tentu saja meningkatkan aktivitas perdagangan. Pelaku bisnis gula saat itu tidak hanya dikuasai oleh warga keturunan China, melainkan juga pedagang muslim.
Kesejahteraan di Hindia Belanda pada masa ekonomi gula juga menarik imigran Arab. Puncak kedatangan imigran Arab terjadi pada abad ke-19, dan pada 1930 sedikitnya ada 71.000 jiwa di Indonesia. Mereka mayoritas datang dari Hadramaut, di masa kini masuk teritorial Yaman. Hadramaut adalah daerah yang miskin, terisolir, rusak oleh kekeringan dan perang berkepanjangan, jauh dari kehidupan “mainstreams” Timur Tengah.
Baca juga: 85.000 Anak Diduga Telah Meninggal Akibat Kelaparan di Yaman
Meski begitu, Hadramaut surplus akan sayyid atau keturunan dari Nabi Muhammad SAW, dan banyak di antara mereka adalah ulama berpendidikan. Karena prestise keagamaan tersebut banyak dari mereka yang akhirnya menjadi mediator profesional untuk perang suku, yang banyak terjadi di Hadramaut kala itu.
Yang menonjol di antara diplomat turun-temurun ini adalah Keluarga al-Attas. Pada masa Orde Baru, Menteri Luar Negeri Indonesia yang paling terkenal dan dihormati adalah Ali Alatas. Bukan sebuah kebetulan, beliau adalah keturunan Arab Hadrami.
Orang Arab Hadrami meninggalkan tanah kelahiran mereka yang kering dengan berbekal ilmu agama dan kadang berbekal garis keturunan terkemukanya. Pulau-pulau di Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda, menjadi tujuan favorit mereka. Alasannya bukan hanya karena mengejar kesejahteraan, melainkan juga karena penduduk aslinya sangat terpesona dengan para keturunan Arab Hadrami dibandingkan jika mereka datang ke daerah Timur Tengah.
Bahkan bagi mereka yang bukan sayyid, orang Asia Tenggara masih menilainya sebagai suri teladan dalam menjalankan Islam. Apalagi bagi yang sayyid, mereka biasanya langsung dilihat sebagai pemuka politik. Sebagaimana yang terjadi pada abad ke-17 dimana salah satu Arab Hadrami menikah dengan Ratu Aceh dan menjadi penguasa disana. Seorang Arab Hadrami juga pernah menjadi Sultan Pontianak, yang kini daerahnya menjadi Provinsi Kalimantan Barat.
Para imigran Arab biasanya meninggalkan keluarga bahkan istri mereka di tanah kelahirannya, dan kemudian menikah dengan wanita Indonesia. Titel sayyid kemudian diturunkan kepada garis keturunan laki-laki, sedangkan perempuan disebut sharifa, yang pada akhirnya membentuk populasi besar arab modern yang kita kenal sekarang dan berdarah Indonesia.
Seiring waktu keturunan arab modern ini banyak yang menjadi saudagar, pemuka agama, dan juga politisi. Mereka pernah menjadi andalan di Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang bersifat moderat namun sosialis. Sayangnya, PSI dilarang hidup oleh Presiden Soekarno dan tidak pernah muncul kembali.
Pada masa Indonesia modern, keturunan Arab menjadi tokoh sentral dalam pemerintahan seperti Ali Alatas dan Mari’e Muhammad. Nama terakhir pernah menjabat Menteri Keuangan pada masa Presiden Soeharto. Meski begitu, ada juga keturunan arab yang dicap sebagai ekstrimis brutal, seperti Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar dari Jemaah Islamiyah serta Ja’afar Umar Thalib dari Laskar Jihad, aktor penting dalam kejadian-kejadian berdarah di Indonesia.
Baca juga: (Opini) - Gelar Kehormatan Rasa Gambut dan Pekerjaan Rumah Jokowi
Memahami Bagaimana Orang Arab Membentuk Indonesia
Para imigran Arab biasanya meninggalkan keluarga bahkan istri mereka di tanah kelahirannya, dan kemudian menikah dengan wanita Indonesia