Oleh Muhammad Razi Rahman
Jakarta, (Antarariau.com) - Di saat krisis moneter terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998, sejumlah pebisnis perusahaan besar banyak yang mengalami kebangkrutan dan tidak sedikit yang mencari pertolongan pengucuran modal dalam jumlah masif dari pemerintah.
Namun, berbagai usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) banyak yang bertahan, dengan berbagai tantangan yang ada, terbukti dapat membantu menjadi solusi pertumbuhan perekonomian Indonesia yang saat itu sangat tersendat-sendat.
Ironisnya, nasib UMKM yang menjadi penyelamat perekonomian negara pada masa krisis, pada saat ini dinilai masih kerap kurang diperhatikan nasibnya, dan masih harus terus berjuang untuk menghadapi segala macam tantangan.
Untuk itu, Asosiasi Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro Indonesia (Akumindo) meminta pemerintah memperhatikan dan mencarikan solusi atas permasalahan masih seretnya akses permodalan yang dikucurkan perbankan kepada UMKM.
"Perbankan dinilai masih memberikan ruang sedikit bagi masyarakat yang menginginkan modal," kata Ketua Umum Akumindo M Ikhsan Ingratubun, Kamis (11/6).
Menurut Ikhsan, bila syarat peminjaman dapat dipermudah, maka perekonomian Indonesia akan lebih stabil terutama menjelang diberlakukannya masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015.
Untuk itu, ujar dia, pemerintah perlu mempermudah wirausaha dalam mengembangkan bisnisnya.
Ia melihat dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar ini baru sekitar 1,65 persen yang menjadi wirausahawan.
Hal tersebut, lanjutnya, berbeda dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia yang wirausahawan telah 5 persen dan Singapura sebesar 7 persen.
Sehingga, Akumindo mengingatkan perlunya penanganan khusus dalam meningkatkan kesiapan wirausaha UMKM menghadapi MEA 2015.
Sebelumnya, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia mengatakan perlu meringankan tingkat suku bunga untuk usaha mikro kecil dan menengah) agar dapat berkembang optimal serta membantu perekonomian nasional.
"Akses UKM ke perbankan semakin berat sebab dibebani suku bunga 19-23 persen. Sedangkan untuk korporasi hanya sebesar 10 persen, sementara di sektor ritel 11 sampai 12 persen," ujar Bahlil Lahadalia.
Menurut dia, saat ini banyak pelaku UKM yang saat ini yang ditolak mentah-mentah oleh perbankan saat mengajukan kredit.
Bahkan, lanjut Ketua Umum Hipmi, mereka ditolak oleh bank-bank milik negara yang modalnya dari pajak yang dibayar rakyat juga. "Padahal, jelas sekali bank-bank negara ini kian gencar menyalurkan pembiayaan korporasi ke grup-grup usaha swasta besar di Tanah Air," ucapnya.
Ia berpendapat bila sistem semacam ini tak juga diperbaiki maka dalam jangka panjang juga akan sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia.