Seandainya Dana Subsidi BBM Untuk Petani (bagian 2)

id seandainya dana, subsidi bbm, untuk petani, bagian 2

Seandainya Dana Subsidi BBM Untuk Petani (bagian 2)

Pekanbaru, (antarariau.com) -Siapa mereka yang selalu unjuk dada dan siapa pula mereka yang kerap mengelus dada ketika pemerintah menyediakan anggaran sekitar Rp198,3 triliun untuk mensubsidi bahan bakar minyak (BBM)?

Frasa-frasa indah agaknya berlawan dengan frasa-frasa kesedihan yang kian memilukan ketika lakon bawang putih dan bawang merah bernasib pilu. "Wah...!", bukan sebuah keterkejutan, melainkan suatu keheranan 'mengejek' si pemeran serakah (bukan bawang merah).

Fakta ini bukan tentang 'cicak dan buaya', melainkan nasib petani yang terus 'teraniaya' karena pemikiran para elite yang selalu mempolitisasi nasib mereka. Ragam janji untuk kesejahteraan kalangan ini hanya sebatas 'cuap-cuap' saat para petinggi berunjuk gigih memamerkan kekuatan politik demi mendapatkan segumpal kekuasaan.

Jangan juma janji, namun subsidi untuk para petani menurut pengamat ekonomi dari Universitas Riau Ediyanus Herman Halim sebaiknya juga dilakukan dengan cermat dan tepat. Semisal memberikan subsidi itu secara langsung. Namun jelas bukan seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang jelas-jelas gagal.

Terkait hal itu, kata dia, pemerintah bisa berkaca terhadap negara-negara maju semisal Jerman atau Amerika Serikat.

Dua negara ini menurut dia, merupakan negara termaju di dunia namun tidak pernah melupakan kedaulatan mendasar berupa pertahanan pangan dengan mensejahterakan dan memakmurkan para petaninya.

Jerman misalnya, para petani untuk produk unggulan seperti gula, hingga saat ini terus mendapatkan aliran dana subsidi dari pemerintah setempat.

Begitu juga dengan Amerika, menurut dia, seluruh petani di sana mendapatkan subsidi yang merata sehingga hasil pertanian di sana begitu maksimal seperti jagung dan lainnya.

Di dua negara ini, kata Ediyanus, subsidi yang diterapkan merupakan subsidi langsung yang diberikan besarannya sesuai dengan hasil pertaniannya.

"Semisal, jika petani tersebut menghasilkan satu ton jagung atau beras, maka akan mendapatkan subsidi tunai sekitar 20 persen dari harga hasil pertanian tersebut jika dijual ke industri," katanya.

Maksimal subsidi yang diberikan kata dia yakni 40 persen yang diterapkan jika hasil pertanian dapat terus meningkat setiap tahunnya.

"Dengan demikian, maka para petani lokal akan terus berupaya meningkatkan hasil pertaniannya untuk mendapatkan subsidi maksimal tersebut," katanya.

Pola tepat kedua untuk mensubsidi petani lainnya, kata dia, yakni dengan menerapkan harga tertinggi dengan hitungan per kilogram untuk kalangan industri. Namun hal itu tidak mungkin dilakukan.

Cara mensiasatinya, pemerintah harus mematok nilai subsidi hasil panen petani tersebut hingga sesuai dengan harga eceran tertinggi.

"Semisal panen berlimpah hingga mengakibatkan industri membeli hasil pertanian dengan murah. Maka pemerintah harus berani memberikan nilai kekurangan dari harga tersebut agar tidak mendatangkan kerugian dikalangan petani," katanya.

Jika dua hal demikian dilakukan, menurut dia, pemerintah tidak akan dipusingkan lagi dengan kelangkaan bahan kebutuhan pokok, dan 'mimpi' untuk melepaskan ketergantungan terhadap pihak asing semakin dekat dan menjadi kenyataan.

Dengan subsidi yang eksklusif, setidaknya para petani dapat mengedepankan 'dada' namun tidak harus berfrasa sombong seperti kalangan elite yang selalu bernada "ya iya lah..." namun finalisasinya justru berbalik "nanti dulu...!!!"