Kisah Teruci Chaplaku menembus Kilometer Nol

id Teruci,Titik nol,Chaplaku

Kisah Teruci Chaplaku menembus Kilometer Nol

Pasukan Teruci Chaplaku berpose di depan Tugu Kilometer Nol Indonesia di Kota Sabang, Aceh. (ANTARA/dok)

Pekanbaru (ANTARA) - Malam itu Om Indra Clarista gelisah jelang mengikuti Touring Explore Sumut 2024 pada akhir Juni lalu. Kegelisahan itu dinilai wajar karena putri sulungnya belum jelas apakah diterima di salah satu SMA idamannya. Berangkat touring atau mengurus pendaftaran sekolah buah hatinya di Pekanbaru? Demikian pula apa yanh dirasakan Om BH, gundah gulana menggelayuti benaknya.

Apapun yang terjadi, sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.

Akhirnya, touring 11 kendaraan yang dijadwalkan berhari-hari hingga berganti bulan dimulai pada 26 Juni 2024. Skuadnyaadalah Om Indra, Om BH, Om Dody, Om Usman, Om WK, Om Yudha, Om Devin, Om RM, Om Robby,Om HY serta Om Agus Warok. Rangkaian ditarik dari Pekanbaru mulai pukul 10.00 WIB usai sarapan di Kedai Rumpun.

Setelah melalui perjalanan 10 jam, rombongan lalu menginap di Rantau Prapat (Sumut) pada sekitar pukul 20.00 WIB usai santap malam di sebuah rumah makan yang cukup luas bernama Lembur Kuring.

Sebenarnya bermalam di Lembur Kuring pun tanpa disengaja mengingat malam mulai larut, nasi sudah penuh di perut, dan bola mata pun terasa bergelayut meminta haknya untuk surut. Dengan kebaikan pemilik rumah makan, akhirnya tikar dan alas tidur pun dibentangkan di beberapa sudut. Tidur pun serasa "nyaman" dengan diiringi bising suara ngorok dari dua premium member yang dirahasiakan identitasnya. Peserta tidur pun terkadang susah membedakan, apakah itu suara ngorok manusia atau auman sapi. Zzzzz...

Teruci Chaplaku saat singgah di Air Terjun Ponot, Kabupaten Asahan, Sumut. (ANTARA/dok)


Pada 27 Juni pagi usai melakukan ritual MCK dan berpamitan dengan Uni si pemilik resto, rangkaian diseret lagi menuju Air Terjun Ponot di Kabupaten Asahan. Iring-iringan sampai di air terjun tertinggi di Indonesia itu sekitar pukul 11.30 WIB.

Usai puas menikmati panorama air terjun, lagi-lagi pecinta touring melanjutkan perjalanan ke Parapat dan sampai di hotel di tepian Danau Toba pada sorenya. Sejumlah anak dan orangtuanya menyempatkan mandi di danau vulkanik terbesar di dunia itu.

Ternyata di sana sudah menunggu Om Icuk dan Om Irvan Purba. Rombongan dari Pekanbaru pun pura-pura terkejut melihat dua makhluk tersebut demi menjaga persaudaraan, sambil tertawa lepas.

Pada malamnya, masih di tanggal 27 Juni, kegiatan dilanjutkan dinner bersama dengan menu ikan dan ayam bakar. Acara barbekiu malam yang diselingi cerita dan berdendang lagu itu juga dimeriahkan pesta ulang tahun sederhana Adek Raya, putri Kumendan Riau.

Suasana semakin syahdu, hingga akhirnya satu per satu personel menghilang ke peraduan masing-masing, entah dengan alasan menidurkan anak atau meniduri pasangan masing-masing. Hanya Tuhanlah yang tahu.

Setelah bangun dengan kondisi yang bisa dianggap segar, pada Jumat (28/6) esok harinya, rombongan bergegas naik kapal menuju Tomok di Pulau Samosir untuk belanja, menikmati cerita mitos Batu Gantung serta beraksi bersama Sigale-Gale.

Teruci Chaplaku saat singgah di Pulau Samosir, Sumut. (ANTARA/dok)


Pada siang usai mendarat lagi ke hotel untuk check out, rangkaian ditarik menuju Kawasan Tahura di Berastagi untuk camping di hutan pinus. Namun sayang seribu sayang, hujan deras membatalkan rencana camping yang telah disusun manis.

Om Irvan Purba dari Chapter Medan yang mengawal rombongan Chaplakudi Sumut, akhirnya memutuskan rombongan untuk menginap di Tamora Sibayak, Berastagi, alih-alih pengganti camping. Sepanjang jalan, hujan terus turun mengawal konvoi kendaraan.

Suasana sejuk dan syahdu menyelimuti kegiatan dari petang hingga mentari menghadang. Pada Sabtu pagi (29/6), peserta touring dimanjakan dengan pemandian air panas supaya bisa merelaksasi otot-otot serta urat yang kaku usai menginjak pedal gas dan kopling selama perjalanan.

Usai puas berendam air panas hingga kulit berkerut, sekitar pukul 10.00 WIB, rangkaian ditarik lagi menuju Pasar Buah Berastagi. Di situ, para Buneg berbelanja, sementara para Oms berkuda bersama mengelilingi pasar. Sebuah kenyataan yang jarang dilakukan mengingat kebiasaan berkuda isunya hanya bisa dilakukan oleh para bangsawan atau Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Teruci Chaplakuusai dijamu TeruciChapterMedan, Sumut. (ANTARA/dok)


Usai puas menikmati kuda dan kegiatan lainnya, rombongan bergeser menuju Kota Medan untuk menginap selama dua hari di sebuah hotel di Jalan Gatot Subroto.

Selama di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, pada malam pertama rombongan disambut hangat dan dijamu oleh saudara-saudara dari Chapter Medan sembari bertukar cerita seputar ke-Teruci-an. Suasana canda tawa dan keakraban pun kian terjalin hingga akhirnya waktu jua yang memisahkan.

Pada Ahad (30/6) pagi, rombongan berhasil mengacak-mengacak Kota Medan dengan mengunjungi Istana Maimun, Masjid Al Amshun, Mal Podomoro serta destinasi lainnya, seperti Durian Ucok atau pusat oleh-oleh lainnya.

Pada Senin pagi (1/7), usai menyantap nasi goreng dengan sayur ubi tumbuk dan kerupuk ubi, pasukan Chaplaku bersiap menuju Kota Bertuah, Pekanbaru dengan dilepas oleh Om Ali dan Om Joko dari Chapter Medan.

Om Irvan, touristguideselama di Sumut, saat berada di depan Istana Maimun Medan, Sumut. (ANTARA/dok)


Menuju Kilometer Nol

Beberapa saat usai sarapan, Om Agus Warok yang sedari awal bertekad sendirian menuju Kilometer Nol di Kota Sabang, pun berpamitan ke rekan-rekan lainnya dengan sesekali mengibaskan rambut gondrongnya. Entah apa maksudnya.

Entah terbius dengan pesona rambut panjang atau Tugu Kilometer Nol, akhirnya tiga premiummemberyakni Om Robby, Om Usman dan Om RM terpincut juga untuk menuju Sabang yang dikenal sebagai destinasi primadona bagi para anggota klub-klub otomotif di Tanah Air.

"Sudah sampai Medan, sudah separuh perjalanan ini. Ayo, 12 jam lagi sampai ke Banda Aceh! Kalau kita balik lagi ke Pekanbaru, kapan lagi kita bisa tembus Kilometer Nol," teriak Om Robby menyemangati kawan lainnya.

Sebenarnya para Buneg pun terlihat ragu apakah bisa sampai ke Aceh, mengingat kondisi badan sudah letih serta hanya tinggal beberapa helai pakaian bersih di koper. Dengan tekad baja, akhirnya kisah perjalanan menuju Kilometer Nol pun diukir di lembaran sejarah Chaplaku.

Rombongan yang menuju Pekanbaru dan ke Aceh berpisah di tol untuk mencapai tujuan masing-masing.

Ritme perjalanan empat kendaraan menuju Aceh terasa agak cepat mengingat kondisi tol yang relatif sepi. Begitu memasuki Aceh, tepatnya di Kabupaten Langsa, jalan terlihat agak lebar dan mulus, tanpa kelak-kelok ataupun tikungan yang mirip omongan tetangga alias tajam.

Di sepanjang perjalanan, empat pasukan touring disuguhi pemandangan masjid-masjid dengan arsitektur menawan dan unik. Hampir setiap 10 menit sekali, ada masjid dengan keunikannya masing-masing di pinggir jalan. Pantas saja daerah ini disebut Serambi Mekah.

Memasuki kawasan Matang di Kabupaten Bireun, salah satu kendaraan mengalami trouble, AC rusak, tidak bisa mengeluarkan hawa dingin. Suasana tak nyaman mulai merasuk, badan berkeringat, terlebih lagi salah satu anak mengalami demam dan terlihat lemah tak bertenaga.

Akhirnya, para tourer beristirahat sambil beristirahat di Warkop Matang di Kabupaten Bireun, di situlah mereka mencicipi seduhan kopi Aceh yang sesungguhnya.

Usai santap malam dan sholat jamak, perjalanan diteruskan hingga akhirnya sampai ke Banda Aceh pada Selasa dinihari (2/7).

Menunggu Penyeberangan

Usai menempatkan para Buneg dan anak-anak di sebuah hotel di sekitar Pelabuhan Ule Lheu Banda Aceh, ke empat driver dengan menahan kantuk menuju pelabuhan dengan harapan bisa menyeberang ke Sabang pada pagi hari di urutan pertama.

Ternyata oh ternyata, satu dari dua kapal feri yang biasa beroperasi di Pelabuhan Ule Lheu-Balohan mengalami kerusakan sehingga hanya satu kapal yang berlayar dengan tiga trip per hari.

Empat kendaraan Teruci Chaplaku pun akhirnya bisa bertolak menuju Pelabuhan Balohan Sabang menjelang pukul 17.00 WIB karena kapal sedang proses isi bahan bakar.

Namun sebelumnya, selama proses menunggu penyeberangan, rombongan menyewa lima becak untuk bertamasya berkeliling Kota Banda Aceh, seperti Museum Tsunami, Kapal PLTD Apung yang sudah berada di darat akibat tsunami dahsyat pada 2004 silam, Masjid Baiturrahman, dan sekitar pantai untuk mengabadikan momen spesial ini.

Berfoto bersama di Pulau Rubiah. (ANTARA/dok)


Alhamdulillah, akhirnya penyeberangan menuju Sabang berhasil dan kapal berlabuh sekitar pukul 20.30 WIB. Masing-masing kendaraan juga harus mengisi minyak fulltank di SPBU Sabang yang akan segera tutup pada pukul 21.00 WIB.

Dari SPBU, masih sekitar 30 menit lagi untuk sampai di Desa Iboih, lokasi menginap di bibir pantai nan jernih airnya. Pasukan touring akhirnya beristirahat di penginapan usai berdiskusi dengan pengelola wisata untuk kegiatan esok hari.

Pada Rabu pagi (3/7), peserta touring berlayar menuju Pulau Rubiah dengan mencarter perahu fiber dengan tarif Rp300 ribu untuk 12 penumpang.

Di Pulau Rubiah, anak-anak dan lainnya dimanjakan dengan air laut yang jernih berisikan ikan warna warni dengan berbagai ukuran dan jenis.

Untuk melihat biota laut itu, harus snorkling dan memakai rompi pelampung demi keamanan, maklum banyak bocil yang ikutan. Setelah puas dan memberi umpan ikan secara langsung, akhirnya mereka kembali ke penginapan untuk bersiap menuju destinasi utama, Tugu Kilometer Nol!

Suasana pemandian air panas di Berastagi. (ANTARA/dok)


Kilometer Nol

Sekitar lima menit perjalanan dari penginapan, akhirnya sampailah di Tugu Kilometer 0. Harus bawa orang atau pemandu dalam untuk bisa memarkirkan kendaraan di depan tugu karena seharusnya memang tidak boleh parkir di situ untuk pengunjung umum karena pada saat tertentu kondisinya macet.

Setelah puas berfoto, pasukan Chaplaku juga sempat hunting aneka suvenir dan oleh-oleh khas Sabang, seperti kaos, gantungan kunci, pin cor, dan tak lupa sertifikat pengunjung Titik Kilometer 0 seharga Rp30.000 per lembar yang ditandatangani Wali Kota Sabang.

Usai puas menikmati Kota Sabang, pada Kamis (4/7) pagi, rombongan berencana menyeberang dari Pelabuhan Balohan menuju Ule Lheu Banda Aceh.

Mobil Om Usman saat berada tepat di belakang portal area steril di Pelabuhan Balohan, Sabang. (ANTARA/dok)


Oknum di Pelabuhan

Empat driver harus bergegas dari hotel di pusat Kota Sabang sebelum Subuh dengan harapan bisa mendapatkan antrean awal saat naik kapal feri. Sesampainya di sana ternyata antrean awal sudah penuh dan siap berangkat pada trip pertama sekitar pukul 11.00 WIB. Tibalah giliran rombongan kedua yang ada pasukan Chaplakuuntuk dipersilahkan masuk di area steril (area parkir untuk kendaraan yang pasti menyeberang). Setelah tiga kendaraan Chaplaku melewati portal, ternyata mobil Om Usman tidak bisa lewat karena area steril dianggap sudah penuh meski menyisakan enam space yang masih kosong.

Petugas mengatakan space yang kosong itu untuk jatah lima kendaraan Muspida yang akan menuju Banda Aceh. Namun, katanya, ada kemungkinan mobil Om Usman bisa lewat pada menit-menit terakhir jika ada perubahan antrean.

Sambil menunggu penyeberangan dengan ngopi-ngopi di kedai, ternyata menjelang Dzuhur,space yang kosong tadi sudah penuh dengan lebih dari tujuh kendaraan, termasuk dua mobil bak terbuka pengangkut sembako. Terlihat, mobil Om Usman, masih terparkir manis tepat di belakang portal. Seharusnya, mobil Om Usman bisa masuk, jika tak ada oknum petugas yang meloloskan beberapa kendaraan ke area steril. Ternyata, siapa cepat, dia dapat. Di situ ada beberapa petugas pelabuhan dan beberapa aparat kepolisian yang diduga setiap hari berada di situ, salahsatunyaadalah Aiptu K.

Beberapa petugas di Pelabuhan Balohan, Sabang. (ANTARA/dok)


Hal ini harus menjadi perhatian pihak PT ASDP Indonesia Ferry mengingat Kota Sabang merupakan destinasi wisata unggulan sehingga harus mencitrakan positif daerahnya dengan menjauhkan praktik-praktik yang merugikan wisatawan dari luar.

Beberapa jam sebelumnya, ada seorang warga lokal yang mendata kendaraan dan mengaku akan membantu membelikan tiket kapal. Sebenarnya, pemilik kendaraan pun bisa membeli tiket kapal sendiri seharga Rp457.000 per mobil. Pemuda lokal itu hanya mencari upah dengan berlagak bisa membantu mempercepat pembelian tiket dengan meminta sejumlah rupiah per mobil. Petugas di lapangan pun seolah menutup mata atas aksi tersebut.

Dengan mengesampingkan apa yang terjadi di Pelabuhan Balohan, rombonganpun meninggalkan Kota Sabang dengan puas hingga akhirnya kapal feri mulai menyeberang sekitar pukul 14.30 WIB. Om Usman juga bisa menyeberang dengan kapal Papuyu yang lebih lambat 1,5 jam dari kapal feri.

Sesampainya di Kota Banda Aceh, peserta touring mulai terpecah, ada yang memperbaiki AC mobil, langsung ke hotel atau sekedar membeli baju ganti. Usai menginap semalam di hotel syariah, keesokan paginya pada 5 Juli, perjalanan sejauh 1.250 KM menuju Kota Pekanbaru telah menanti.

Rencananya, rombongan yang terdiri 19 jiwa itu akan menginap semalam di Kota Medan sebelum tancap gas ke Pekanbaru.

Namun apalah daya, ketika sampai di Kabupaten Langsa sekitar pukul 20.00 WIB, Om Mahyu (PM Chapter Medan) memportal rombongan dengan menawari kopi sanger dan mi Aceh dan membekali sejumlah emping melinjo khas Bumi Rencong. Hal semacam ini sulit dihindari bagi komunitas yang mengedepankan persaudaraan, meskipun para Buneg bersikeras melanjutkan perjalanan untuk menginap di Medan demi efektifitas waktu agar bisa sampai di Bumi Lancang Kuning.

Bujuk rayu Om Mahyu akhirnya melelehkan hati, rombongan akhirnya menginap di Langsa dan bisa beristirahat lebih lama sebelum bertolak ke Pekanbaru.

Pada 6 Juli, rombongan sampai di Kota Medan untuk sarapan dan membeli oleh-oleh yang tertunda di Bolu Meranti. Dalam kondisi tersebut, sejumlah bocil mengalami penurunan daya tahan tubuh hingga mengalami masuk angin, demam, muntah-muntah hingga diare akibat perjalanan panjang yang melelahkan hati, pikiran, fisik dan rekening tabungan.

Sepanjang perjalanan dari Medan menuju Pekanbaru diselingi beberapa kali istirahat di beberapa masjid, SPBU atau warung makan sambil beribadah dan meluruskan kaki sembari menyeduh kopi Gayo racikan Om Agus Warok.

Rombongan pun sempat disesatkan oleh Google Map saat memasuki Kabupaten Labuhanbatu Utara. Om Roby yang bertindak sebagai RC dengan percaya diri mengarahkan mobilnya ke jalan pintas di sebuah kebun sawit milik PPTN IV. Dari jalan pintas yang awalnya beraspal, kemudian berubah menjadi kerikil dan beralih ke tanah dengan kondisi yang tidak karuan seperti roman muka RC. Dalam hati, benarkah jalan yang kita tempuh ini? "Tenang saja, tahun lalu saya pernah lewat sini dari Medan," kata Om Roby mencoba menyemangati meski sebenarnya ia pun ragu.

Dengan keyakinan yang tidak yakin, akhirnya keempat mobil tembus lagi ke Jalan Lintas Sumut-Riau pada siang menjelang sore. Uhh, lega.

Para bocilsedang menikmati pemandian air panas di Berastagi. (ANTARA/dok)


Selama perjalanan, beberapa kali rombongan tidur beberapa saat di emperan SPBU atau masjid terutama pada malam hari karena mata kembali tidak bisa diajak kompromi.

Finally,pada Minggu (7/7) pagi, pendekar touring Chaplaku sampai di Kota Pekanbaru tercinta dengan disambut Kumri, Mankumri, Pembina dan sejumlah PM lainnya untuk sarapan di sebuah kedai kopi di Jalan Sudirman.

Beragam cerita mengalir terkait seputar perjalanan selama di Sumut dan Aceh dengan total jarak 2.850 KM yang telah ditempuh dan menghabiskan pertalite sekitar 350 liter. Inti dari sebuah perjalanan adalah kembali lagi ke titik awal atau ke titik nol.

Menjelajah tempat-tempat yang awalnya dianggap mustahil untuk disinggahi bersama Teruci Chaplaku adalah suatu perjuangan tersendiri dengan tidak mengesampingkan pekerjaan utama dan waktu sekolah anak-anak.

Berkelana ke tempat jauh adalah salah satu wujud syukur kepada Allah SWT untuk mengagumi ciptaan-Nya, bukan untuk disombongkan kepada orang lain.

Sekali lagi, Salam Teruci, "Berani Join, Berani Kopdar, Berani Touring".

Pasukan Titik Nol saat sampai di sebuah warkop di Kota Pekanbaru. (ANTARA/dok)