Pekanbaru (ANTARA) - Di balik suksesnya Kabupaten Kampar sebagai pelaksana pencapaian vaksinasi harian tertinggi di Riau beberapa hari lalu, ternyata ada kisah beragam sebelum raihan catatan positif tercapai.
Dari angka 112. 000 setiap hari, Kampar telah menyelesaikan 16.055 dosis dua hari berturut-turut, dan ini merupakan angka tertinggi di Riau, dan itu mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk Kapolda Riau Irjen Pol. Agung Setya Imam Effendi.
Sebelumnya ada sejumlah dilema yang dihadapi masyarakat saat serbuan vaksinasi COVID-19 ini, terutama warga yang bekerja sebagai petani, nelayan, atau penduduk yang tinggal di pelosok desa serta jemaah masjid.
Ketika mereka diwajibkan mengikuti vaksinasi, akhirnya akan memiliki sertifikat sebagai bukti. Namun mereka kebingungan. Fasilitas gawai yang dimiliki tidak mendukung seperti hanya memilikihand phone jadul yang tidak mengikuti perkembangan zaman, hanya bisa untuk bicara biasa.
Mereka tidak mengetahui bagaimana caranya menggunakan aplikasi untuk mencetak bukti telah divaksin.
"Mana bukti sertifikat saya sudah divaksin? Katanya kita diberi sertifikat, bagaimana saya bisa punya sertifikat itu", ujar salah seorang jemaah masjid Al Muhsinin Desa Salo, Kecamatan Salo, Kabupaten Kampar belum lama ini.
Ketika ada yang berupaya menjelaskan kepadanya, ada sebuah kalimat yang cukup menggelitik. "HP saya tidak android, cuma HP butut ini saja yang saya punya," ujarnya beralasan.
Keterbatasan waktu petugas untuk menjelaskan kepada warga yang antre di tempat vaksinasi membutuhkan proses yang cukup lama. Warga pemilik HP jadul juga tidak bisa disalahkan. Telepon genggam yang belum canggih turut mempersulit petugas kesehatan untuk menjelaskan secara detail terkait cara mencetak kartu vaksin.
Hal ini diperparah lagi ketika warga itu diminta untuk mengirimkan tautan pesan singkat yang dikirim ke HP mereka. Masih ada yang tidak mengetahui bagaimana cara mengirimkan atau meneruskan pesan masuk itu agar dapat dibantu oleh orang lain.
Kendala ini yang mempersulit warga untuk mendapatkan sertifikat vaksin sehingga menemui kendala pada saat akan berurusan yang menyertakan syarat itu. Mereka tidak bisa menunjukkan bukti itu.
Dilema ini biasa dialami oleh para orang tua yang tidak memahami perkembangan teknologi serta jemaah masjid yang kesehariannya hanya khusuk melaksanakan ibadah sehingga HP bukanlah alat yang selalu mereka pegang ataupun lihat setiap saat. Hanya di waktu tertentu menggunakannya untuk bicara lewat sambungan seluler.
Memakai android hanya akan mengganggu waktu berzikir. Tidak sama dengan anak muda saat ini yang menjadikan HP sebagai cinta pertamanya.
Bukan itu saja, cetakan sertifikat vaksin menjadi persoalan jaringan atau signal HP bagi yang tinggal di pelosok juga menambah repot untuk mengetahui hasilnya.
Barangkali jika hasil vaksin itu disediakan oleh pemerintah akan menambah biaya cetak kartu vaksin karena jumlah yang dibutuhkan mencapai jutaan lembar kartu. Ini justru menambah beban baru.
Di sisi lain, para petugas yang menerima turunan dari aturan yang diterapkan seperti petugas pembagi bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) juga harus dibekali cara agar semua itu dapat diterapkan dengan baik, tidak kaku mesti menunjukkan kartu vaksin.
Petugas juga bisa menerima alasan warga jika mereka tidak bawa bukti vaksin karena hanya memiliki HP jadul.