Siak (Amtarariau.com) - Ekowisata Mangrove Rumah Alam Bakau yang terletak di Desa Rawa Mekar Jaya, Kecamatan Sungai Apit saat ini sudah ramai dikunjungi wisatawan dalam dan luar Kabupaten Siak, Riau. Hamparan hutan bakau (mangrove) yang hijau dan luas memberikan suasana segar dan bisa menjadi tempat pelarian di akhir pekan.
Bagi pengunjung yang memiliki hobi memancing, di Rumah Alam Bakau juga ada spot (areal) memancing di tepian sungai rawa, dengan angin sepoi-sepoi ditambah suara kicauan burung dan monyet-monyet yang sesekali mendekat tanpa menganggu menambah suasana mancing semakin seru.
Bagi pengunjung yang sudah penat menjajaki kaki dan berkeliling memutari keindahan hutan bakau, bisa beristirahat di rumah pohon dan rumah hobbit sembari mengabadikannya dalam jepretan kamera dan smartphone dengan gaya andalan
Bagi wisatawan yang tidak terlalu berani ketinggian menapaki tangga untuk sampai di rumah pohon di ketinggian tiga sampai enam meter, ada tiga rumah Hobbit menjadi pilihan. Meskipun penampakan rumah Hobbit ini masih sederhana dengan bentuk setengah bundar beratapkan ilalang dan juga belum sekeren yang ada di Desa Hobbit, Selandia Baru sebagai lokasi syuting film Lord of The Rings, namun kehadirannya dipastikan mampu menghibur dengan hasil foto yang lucu duduk di rumah Hobbit yang tingginya hanya 50-75 centimeter.
Tapi siapa sangka, hutan bakau yang kini sudah menjadi ekowisata tersebut 5-10 tahun lalu terlihat gersang dan rusak akibat ulah manusia yang tidak bertanggungjawab karena tuntutan ekonomi tanpa memikirkan kerusakan yang timbul pada mangrove itu sendiri. Bertahun-tahun bakau terus ditebangi masyarakat tempatan dan luar untuk diambil kemudian dijual pada perusahaan, hingga maraknya ilegal logging.
Dialah Sutiono dan empat rekannya Sutrisno, Sugiono, Parno, dan Ajlin yang menjadi motor penggerak penghijauan kembali hutan mangrove yang sudah rusak tersebut. Misi konservasi untuk menyelamatkan mangrove ia cetuskan pada akhir 2013.
Melihat kondisi hutan bakau yang sudah kritis, tergeraklah hati saya dan kawan-kawan untuk melakukan konservasi, dengan harapan mangrove bisa diselamatkan, kata lelaki 37 tahun yang lahir di hari peringatan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus.
Bermodalkan pengalaman dan pengetahuan di Bina Cinta Alam Kabupaten Siak dari pak Sutarno, ia dan rekan-rekan pecinta alam lainnya menyuarakan pada masyarakat untuk tidak lagi menebang hutan bakau guna menyelamatkan tepian sungai dari abrasi dan kerusakan ekosistem.
Pembabatan hutan bakau selain menyebabkan abrasi juga berakibat pada kerusakan ekosistem. Padahal ekosistem yang hidup di hutan bakau berfungsi sebagai paru-paru dunia dan penyangga habitat di hutan tersebut.
Kalau bukan kita siapa lagi yang bergerak, itulah moto Sutiono dan kawan-kawan dalam memulai.
Dia katakan, awal mula penyelamatan hutan bakau dengan melakukan pembibitan sebanyak 1.500 batang yang ditanami di daerah paling rawan. Bibit seribuan tersebut ternyata tidak mencukupi kerusakan mangrove yang mecapai puluhan hektar.
Namun upaya penyelamatan hutan bakau tidak hanya datang dari kelompok masyarakat itu saja, dinas lingkungan hidup setempat pun memberikan bantuan bibit mangrove sebanyak 20 ribu batang untuk mendukung rehabilitas dan konservasi hutan yang sudah rusak.
Dari tahun 2014 hingga 2017 sudah tertanam sebanyak 22 ribu lebih pohon mangrove, kata pria dua anak ini.
Selang setahunan, disaat pohon yang ditanam mulai menghiasi hutan bakau, sembari terus menyuarakan konservasi kepada masyarakat untuk ikut dalam misi penyelamatan mangrove, ia tidak menyangka ada segerombolan anak muda datang berkunjung untuk berfoto-foto.
Pas kami membuat pondok untuk tempat beristirahat, datang beberapa orang anak muda yang membawa handphone untuk berfoto-foto di dalam hutan bakau. Padahal papan (akses masuk hutan) kami buat untuk melansir bibit yang akan ditanam di dalam hutan. Hasil foto-foto mereka dimasukkan ke media sosial facebook, ucapnya.
Hasil unggahan pegunjung itu mendatangkan daya tarik wisatawan lain untuk datang ke rumah alam bakau di akhir pekan berikutnya. Lantaran jumlah pengunjung yang datang terus bertambah setiap minggunya, Sutiono dan rekan-rekan pencinta alam lainnya mendapatkan ide untuk memperbesar jalan yang dibuat berupa jembatan dari papan.
track (jalur) untuk masuk ke hutan mangrove terus kami tambah. Bersyukurnya masyarakat sangat mendukung ide tersebut, hingga dibangunlah jembatan untuk masuk hutan bakau secara swadaya dan gotong royong. Maka terjadilah jalan sepanjang 450 meter sebagai tahap pertama, ucapnya.
Menjadi Destinasi Wisata
Siang itu beberapa pemuda yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) menyambut puluhan pengunjung dengan muka ramah di Ekowisata Rumah Alam Bakau. Dua orang diantaranya mengarahkan kendaraan yang hendak parkir dan lainnya menunjukkan tempat pembelian karcis masuk. Dari luar berdiri kokoh papan nama yang bertuliskan Selamat Datang di Ekowisata Rumah Alam Bakau.
Saat ini hutan bakau yang dirawat Sutiono dan rekan-rekan pecinta alam lainnya sudah menjadi ekowisata mangrove yang dikunjungi sebanyak seribuan pengunjung setiap bulannya. Semuanya tidak serta merta dapat terwujud kalau bukan berkat dukungan masyarakat setempat yang aktif di berbagai kelompok dan komunitas.
Untuk dapat menikmati lebatnya hutan bakau di track ekowisata mangrove Hutan Alam Bakau, Rawa Mekar Jaya ini pengunjung dapat menelusuri jalan yang terbuat dari papan untuk menembus hutan bakau, Wisatawan dapat melihat bakau yang masih kecil, baru ditanam hingga yang sudah besar dan tinggi-tinggi dengan akar-akar yang muncul dari air payau yang bentukya sangat unik dan menarik dipandang.
Biaya masuk pun tidaklah mahal, pengunjung hanya mengeluarkan uang sebesar Rp4.000 saja tanpa adanya batasan waktu di dalam hutan bakau, ditambah dengan retribusi parkir Rp2.000 untuk kendaraan roda dua, dan Rp5.000 untuk roda empat. Akses untuk menuju objek ini sudah bisa ditempuh dengan jalur darat, yang memakan waktu sekitar tiga jam-an dari Kota Pekanbaru, dan dua jam dari ibu kota Kabupaten Siak.
Pemungutan uang masuk ke hutan bakau baru dipungut sejak Januari 2018 ini, sebelumnya (2015-2017) tidak ada biaya karcis masuk alias gratis, kata pemuda yang juga aktif di masyarakat peduli api kecamatan Sungai Apit ini.
Sebab ia dan rekan-rekan tidak kepikiran untuk menjadikan hutan bakau yang niatnya hanya untuk pembenahan dan konservasi menjadi objek wisata seperti saat ini. Menurutnya pengunjung akan berpikir dua kali untuk datang ke daerahnya dengan kondisi infrastruktur yang belum bagus, sementara nilai jualnya pun belum ada.
Jalan menuju desa ini belum bagus ditambah lagi cukup jauh. Jadi kami berfikir potensi apa yang bisa diangkat. Dari segi lain tidak ada kami lihat, namun adanya hutan bakau dengan konsep konservasi, orang-orang bakal ada keinginan untuk datang kemari, sebutnya.
Bermula dari wacana-wacana dan keinginan yang demikianlah ia dan rekan-rekan membentuk sebuah kelompok yang masih berupa kelompok tani Rawa Lestari yang berjumlah masih belasan orang.
Pada 2016 nama kelompok tani rawa lestari pun diubah menjadi Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Rumah Alam Bakau, setelah diresmikan Wakil Bupati Siak Alfedri menjadi ekowisata pada April 2016 dengan jalan sepanjang 450 meter. Dengan tujuan untuk menunjung ekowisata yang ada di Kabupaten Siak, Riau.
Kedatangan orang nomor dua di kabupaten Siak itu pun dimanfaatkannya untuk menjadikan kegiatan konservasinya menjadi destinasi wisata. Menurutnya mewujudkan hutan bakau menjadi objek wisata punya tantangan besar, karena tidak adalnya dana untuk membangun infrastruktur, fasilitas lainnya seperti toilet.
Saat Wabup datang semuanya masih kosong, belum ada fasilitas apapun, kecuali pondok untuk anggota kelompok beristirahat. Dari situlah baru kita carikan anggota dari kelompok yang aktif seperti karang taruna, masyarakat peduli api (MPA) komunitas dan lainnya, sebutnya.
Adanya bantuan dari Badan Operasi Bersama (BOB) PT BSP - Pertamina Hulu untuk memperpanjang track menjadi 1.250 meter dan membuatkan fasilitas toilet semakin membantu Pokdarwis dalam mewujudkan ekowisata mangrove.
Hingga saat ini anggota Pokdarwis Rumah Alam Bakau sudah berjumlah 25 orang yang berasal dari beberapa kelompok dan komunitas untuk terus menyuarakan dan menjaga hutan mangrove dari kerusakan. Ekowisata mangrove ini tidak hanya menjadi tempat wisata, namun pengelola juga sering menerima kunjungan dari beberpa sekolah, perguruan tinggi untuk memperoleh edukasi terkait hutan mangrove.
Menurut sutiono, ada beberapa tantangan dalam menyuarakan misi konservasi tersebut, diantaranya masalah perekonomian masyarakat tempatan yang semulanya menggantungkan hidupnya dengan mengambil dan menebang pohon bakau untuk dijual kembali. Butuh waktu untuk memberikan kesadaran pada masyarakat akan pentingnya menjaga hutan bakau untuk kelangsungan ekosistem dan pinggiran sungai rawa, agar tidak menimbulkan bencana.
Selain itu masalah ekonomi dari kelompok itu sendiri. Karena dalam perawatan bibit dan dan hutan bakau dilakukan secara swadaya, ucanya.
Masih minimnya kesadaran masyarakat dalam mendukung rumah alam bakau menjadi objek wisata juga menjadi tantangan lainnya. Dia katakan, jika hanya Pokdarwis saja yang berjalan untuk mewujudkan ekowisata menjadi destinasi wisata, tentunya cita-cita itu tidak bisa jalan sebagaimana mestinya.
sepanjang kawasan rumah alam bakau tentunya harus ada pondok-pondok yang menjual makanan dan minuman untuk pengunjung berbelanja, ditambah dengan pernak-pernik khas wilayah setempat, imbuhnya.