Putusan MK Selamatkan OJK

id putusan mk selamatkan ojk

  Putusan MK Selamatkan OJK

Oleh Maria Rosari

Jakarta, (Antarariau.com) - Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dipersoalkan oleh sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB).

Karena merasa fungsi pengawasan dan pengaturan OJK tidak diatur dalam konstitusi, akhir Februari 2014, TPKEB mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun pasal yang diujikan adalah Pasal 1 Angka 1 UU OJK yang dianggap oleh pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945.

Dalam Pasal 1 Angka 1 UU OJK ada tertulis kata "independen" yang menurut pemohon dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. Sementara itu, menurut pemohon, OJK secara konsep sangat jauh berbeda dengan bank sentral sehingga frasa independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional.

Dalam sidang lanjutan perkara pengujian UU OJK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/10), pemohon menghadirkan ahli untuk memberikan keterangan.

Kala itu ekonom Sri Edi Swasono yang menjadi ahli dari pihak pemohon berpendapat bahwa lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki kekuasaan yang sangat besar. Dia menilai OJK memiliki kewenangan yang berlebih dibandingkan dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang diamanatkan oleh UUD 1945.

"Otoritas Jasa Keuangan ini seperti negara dalam negara, dapat disimpulkan bahwa OJK memiliki kekuasaan yang sangat besar dan ruang lingkup kekuasaan OJK tidak dimiliki oleh lembaga mana pun di negara ini," ujar Sri Edi.

Lebih lanjut Sri Edi memaparkan bahwa berdasarkan UU OJK, lembaga ini memiliki kekuasaan mulai dari membuat regulasi, mengawasinya, memungut anggaran, dan menjatuhkan sanksi.

Selain Sri Edi Swasono, dua orang ahli lain yang menyampaikan keterangan lisan ataupun tertulis di bawah sumpah dalam persidangan tersebut adalah Syamsul Hadi dan Margarito Kamis.

Margarito Kamis juga memiliki pendapat yang sama bahwa kewenangan dan independensi OJK memang menyerupai negara dalam dalam negara.

"Itu sebabnya saya mengawali dengan mengatakan bahwa bila dikenali betul UU No. 21/2012 secara konstitusional terlalu sulit untuk tidak menyatakan OJK tampak seperti negara dalam negara," ujar Margarito.

Syamsul Hadi berpendapat bahwa dengan adanya UU OJK ini, peran Bank Indonesia sebagai otoritas tunggal pengawas dan pengatur bank yang diemban sejak 1953 beralih ke lembaga baru yang bernama Otoritas Jasa Keuangan.

"Bahwa terbentuknya OJK bukanlah didasarkan pada upaya melaksanakan prinsip-prinsip pengaturan ekonomi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, melainkan lebih untuk melayani kepentingan IMF, Bank Dunia, dan negara-negara investor," ujar Syamsul Hadi.

Sementara itu, dalam pokok perkara pemohon meminta mahkamah menyatakan UU OJK (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 111), khususnya Pasal 1 Angka 1, Pasal 5, Pasal 34, dan Pasal 7, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pemohon juga mengajukan petitum provisi yang menginginkan agar meminta supaya kegiatan operaional OJK diberhentikan untuk sementara waktu hingga ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat.

Bersambung ke hal 2 ...