Keluarga korban dugaan perundungan di Inhu tuntut keadilan

id Perundungan di Inhu

Keluarga korban dugaan perundungan di Inhu tuntut keadilan

Ilustrasi - Pelaku kasus perundungan. ANTARA/Pinterest

Pekanbaru (ANTARA) - Keluarga KB (8) siswa kelas dua SD di Indragiri Hulu (Inhu) yang meninggal dunia usai diduga menjadi korban perundungan, meminta kasus tersebut segera ditindaklanjuti dan para pelaku diadili secara hukum.

“Kami menuntut kasus ini ditindaklanjuti. Para pelaku secepatnya diadili, termasuk pihak sekolah dan wali kelas,” kata ayah korban, Gimson Butarbutar di Pekanbaru, Sabtu.

Ia menekankan bahwa keluarga sangat berharap keadilan tetap ditegakkan meskipun para terduga pelaku masih berstatus anak di bawah umur.

“Kami minta Pak Prabowo menolong kami. Anak kami sudah ditindas. Beri kami hukum yang adil meskipun terduga pelaku merupakan anak di bawah umur,” ujarnya.

Gimson mengungkapkan, tragedi yang menimpa keluarganya juga berdampak pada kondisi psikologis istri dan anaknya yang lain.

“Ibu korban juga mulai sakit-sakitan karena masalah ini. Adiknya juga tak punya teman lagi di rumah,” tutur dia.

Lebih lanjut, Gimson memaparkan kronologi kondisi kesehatan korban yang terus memburuk pasca-peristiwa dugaan perundungan.

Ia mengatakan anaknya pulang lebih cepat dari sekolah dengan alasan ada rapat. Namun sang ibu mendapati korban demam dan mengeluhkan sakit di bagian bawah pusar.

“Sebelumnya dia sehat, tidak ada sakit apa-apa. Tapi waktu ditanya, dia baru mengaku sakit di bawah pusarnya. Saat itu dia belum cerita kalau sudah dikeroyok,” jelasnya.

Perubahan perilaku korban kembali terlihat keesokan harinya. Korban enggan bermain bersama adiknya, tidak mau bermain sepeda, dan tampak lemas.

Menurut Gimson, dugaan perundungan baru terungkap setelah teman korban bercerita bahwa korban dipukul oleh kakak kelas di belakang sekolah. Korban ditendang di bagian perut hingga terjatuh, kemudian tubuhnya ditimpa oleh terduga pelaku lain.

“Setelah kami tanya lagi, barulah anak kami mengaku bahwa dia dipukul kakak kelas yang kelas lima dan enam,” katanya.

Peristiwa tersebut bermula dari saling ejek terkait suku dan agama. Laporan sempat disampaikan ke pihak sekolah, namun penanganan awal dinilai kurang maksimal.

“Sekolah hanya menasihati pelaku tanpa memanggil orangtua mereka. Kami akhirnya mendatangi langsung rumah orangtua pelaku,” ungkap Gimson.

Di sana, orangtua pelaku justru menyarankan agar korban dibawa ke tukang urut. Kedua pihak sempat saling meminta maaf, namun kondisi korban terus memburuk, bahkan bolak-balik ke kamar mandi.

“Ketika kami duduk bersama lagi, mereka tetap menyarankan tukang urut, bukan berobat ke dokter,” tambahnya.

Setelah hampir seminggu, korban akhirnya dibawa ke klinik. Di sana korban muntah cairan bercampur darah dan mengalami kejang-kejang. Malam harinya korban dirujuk ke rumah sakit di Inhu, namun kembali muntah darah.

Dalam kondisi kritis, korban sempat direncanakan dirujuk ke rumah sakit di Pekanbaru. Namun, saat masih dalam perawatan di Inhu, korban dinyatakan meninggal dunia.

Sebelumnya, hasil autopsi di RSUD Indrasari Rengat pada 26 Mei 2025 mengungkapkan bahwa penyebab kematian korban adalah infeksi rongga perut akibat pecahnya usus buntu. Pemeriksaan medis juga menemukan sejumlah memar pada tubuh korban akibat kekerasan benda tumpul.

Polisi hingga kini masih mendalami dugaan keterkaitan antara aksi perundungan dengan kondisi medis korban. Sebanyak 22 saksi telah diperiksa, termasuk lima terduga pelaku yang masih berstatus anak di bawah umur.