Marwah Melayu Riau perlu dibangkitkan kembali

id Lam riau

Marwah Melayu Riau perlu dibangkitkan kembali

Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau serta masyarakat adat di Bumi Lancang Kuning mengadakan pertemuan untuk mengumpulkan informasi dan data masyarakat hukum adat, wilayah adat serta hutan adat. ANTARA/ LAM Riau

Pekanbaru (ANTARA) - Ketua Dewan Pengurus Harian Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Datuk Seri Syahril Abubakar, mengatakan semangat dan marwah Melayu Riau perlu dibangkitkan kembali agar masyarakat adat setempat bisa mengelola ladang sendiri.

"Tekad tersebut diperlukan sebab sampai sekarang masyarakat adat di Riau masih mengalami kesulitan dalam mengelola ladang mereka sendiri. Mau berkebun di tanah sendiri pun bisa dipenjara, seperti kasus Bongku ini," kata Datuk Seri Syahril Abubakar di Pekanbaru, Jumat.

Ia mengatakan itu terkait pemberian penghargaan ditandai dengan digelarnya acara prosesi adat yakni "upah-upah dan tepuk tepung tawar" untuk Bongku bin Jelodan yang pernah menjalani masa tahanan akibat didiskrminalisasi PT Arara Abadi.

Prosesi adat "upah-upah dan tepuk tepung tawar" tersebut digelar untuk Bongku bersama Datuk Safrin, disaksikan Jikalahari, Walhi Riau, LBH Pekanbaru dan Perkumpulan Elang sebagai bagian solidaritas atas kriminalisasi terhadap Bongku.

Selain ini acara tersebut juga disaksikan oleh Datuk M Yatim, LAMR Kawasan Sakai, Datuk Amat Kepala Suku Batin 8 dan 5 Sakai Riau, Datuk Johan Ketua DPH LAMR Kawasan Batin 8 dan 5 Sakai Riau, Datuk Ridwan, Kepala Suku Batin Beringin Sakai serta Datuk Safrin Ketua MKA LAMR Kawasan Batin 8 Sakai Riau.

“Momentum prosesi adat yakni ' upah-upah dan tepung tawar' yang dipersembahkan kepada Bongku adalah pemaknaan untuk mengembalikan marwah masyarakat Adat Melayu Riau," katanya.

Bongku dan Datuk Safrin menceritakan situasi terkini masyarakat sakai dan perjuangan Bongku menghadapi kriminalisasi. Bongku juga menceritakan kehidupan Suku Sakai sejak zaman nenek moyang, hidup bergantung pada hutan dan sungai.

“Kami hidup sampai saat ini karena makan ubi menggalo, mencari ikan, menjerat kancil, rusa, babi hutan, kijang dan ayam hutan, namun kebiasaan itu hilang sejak perusahaan beroperasi di wilayah kami yakni pemilik konsesi

PT Arara Abadi tidak hanya menganggu Masyarakat Adat Sakai yang hidup dengan merampas hutan adat, mengkriminalisasi hingga konflik yang berkepanjangan," katanya.

Bahkan PT Arara Abadi menggangu mereka yang sudah mati dengan merusak kuburan leluhur Masyarakat Sakai, dan perusakan ini untuk menghilangkan jejak keberadaan Masyarakat Suku Sakai.

Kronologis kasus Bongku berawal pada 3 November 2019, Bongku ditangkap oleh security PT Arara Abadi dan dilaporkan ke Polsek Pinggir karena menebang akasia-ekaliptus untuk ditanam ubi menggalo seluas setengah hektar di dalam konsesi PT Arara Abadi di Dusun Suluk Bongkal, Desa Pait Beringin Kecamatan Talang Mandau, Kabupaten Bengkalis.

Kemudian Bongku dijatuhi hukuman setahun penjara, denda Rp 200 juta oleh Majelis Hakim PN Bengkalis Pada 18 Mei 2020, namun pada 10 Juni 2020 Bongku dinyatakan bebas melaui asimilasi sesuai dengan Permenkumham No 10 tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi bersyarat dalam pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19 serta Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.0104.04 tahun 2020 tentang pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19.

“Sejak awal kasus Bongku bertentangan dengan kebijakan FCP APP, termasuk ketidak patuhan PT Arara Abadi terhadap putusan MK 35, MK 95, Perda 10/2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya; Perda 10/2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” kata Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari.

Jika merujuk pada komitmen FCP APP, selayaknya PT Arara Abadi melakukan serangkaian FPIC, menghormati hak asasi Bongku dan masyarakat adat, lalu mencari jalan penyelesaian berupa mengeluarkan wilayah adat dari izin PT Arara Abadi.

“Upah-upah ini memberikan semangat baru kepada Bongku, sekaligus pembuktian dari LAM Riau bahwa Bongku bertindak benar dalam memperjuangkan kedaulatan tanah ulayat suku sakai. Majelis upah-upah ini juga bentuk perlawanan atas kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan oleh korporasi,” kata Okto.