Menelisik 78 persen hutan Riau yang dikuasai korporasi

id Jikalahari Riau,hutan Riau dikuasai korporasi

Menelisik 78 persen hutan Riau yang dikuasai korporasi

Petugas mengoperasikan alat berat untuk membatasi lahan gambut yang terbakar agar tidak semakin meluas sekaligus menjadi sumber air untuk pemadaman lahan gambut di Kabupaten Kampar, Riau. (ANTARA/Rony Muharrman)

Kota Pekanbaru (ANTARA) - Jikalahari Riau mencatat 78 persen atau seluas 6.238.868,85 hektare hutan di Riau dikuasai oleh korporasi dengan peruntukannya sebagai hutan produksi, kawasan industri, tambang dan perkebunan besar.

"Hanya 22 persen atau seluas 1.728.214,66 hektare saja yang diperuntukkan untuk hutan adat, hutan rakyat, ruang terbuka hijau, pariwisata, perkebunan rakyat, kawasan pertanian dan pemukiman," kata Made Ali, Koordinator Jikalahari di Pekanbaru, Jumat.

Menurut Made Ali, di tengah Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional (Hantaru) pada 8 November 2019, tata ruang Provinsi Riau masih dikuasai korporasi HTI, sawit, cukong dan perusahaan tambang. Korporasi itu menangguk keuntungan sebesar-besarnya dari merusak hutan, tanah, dan lingkungan hidup di Riau, termasuk menghancurkan kearifan lokal masyarakat adat yang bersumber pada ruang ekologis.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2013 yang ditandatanganinya pada 25 November 2013 memutuskan 8 November sebagai Hari Tata Ruang Nasional.

"Keputusan menetapkan Hari Tata Ruang Nasional pada setiap 8 November juga mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan pentingnya keterpaduan antar wilayah, antar sektor, dan antar pemangku kepentingan, serta peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang di masyarakat," katanya.

Pola ruang

Pola ruang dalam Peraturan Daerah (Perda) No 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Riau 2018 -2038 dari 8.908.254,14 ha luas Riau, diatur seluas 7.967.083,51 ha atau setara 89 persen dari luas Riau untuk budidaya dan kawasan lindung hanya seluas 941.170,63 ha atau setara dengan 11 persen luas Riau.

Dalam pola ruang budidaya telah dikuasai oleh korporasi sebanyak 78 persen atau seluas 6.238.868,85 ha untuk hutan produksi, kawasan industri, tambang dan perkebunan besar. Hanya 1.728.214,66 ha atau 22 persen yang diperuntukkan untuk hutan adat, hutan rakyat, ruang terbuka hijau, pariwisata, perkebunan rakyat, kawasan pertanian dan pemukiman.

"Berlakunya Perda tata ruang ini justru menguntungkan para korporasi dan cukong plus mereka mendapat legalitas ruang yang kian memberi mereka keleluasaan untuk melakukan green washing dan mengusir secara paksa masyarakat adat dan penduduk tempatan yang berada di dalam ruang mereka yang sesungguhnya milik masyarakat adat," kata Made Ali.

Dampak yang paling mengerikan, masyarakat Riau akan menerima bencana yang dibuat oleh para korporasi dan cukong berupa banjir di musim hujan, polusi asap dari kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau.

Selain banjir, karhutla juga menjadi bencana yang rutin muncul di kala kemarau. Data dari sipongi.menlhk.go.id menyatakan sejak 2015 hingga 2019 luas karhutla di Riau mencapai 395.302,56 ha atau setara 6 kali luas Kota Pekanbaru. Karhutla juga menelan korban jiwa. Sembilan orang yang meninggal diduga akibat terpapar asap karhutla, lebih dari 480 ribu orang menderita ISPA, asma, iritasi dan menyebabkan kerugian ekonomi mencapai Rp 50 triliun.

Untuk menghentikan monopoli korporasi dan cukong atas tata ruang Provinsi Riau, Jikalahari mendesak Gubernur Riau dan DPRD Provinsi Riau periode 2019-2024 untuk melakukan revisi Perda No.10 tahun 2018 tentang RTRWP Riau 2018-2038 berdasarkan putusan Mahkamah Agung No.63.P/HUM/2019 terkait Judicial Review Perda no 10 Tahun 2018 yang diajukan Jikalahari Bersama Walhi.

"Putusan MA ini bentuk koreksi atas kekeliruan yang dilakukan oleh DPRD Provinsi Riau periode 2014-2019 dan Gubernur Riau periode Asryadjuliandi Rachman. Mereka menutup ruang partisipasi publik untuk terlibat dalam penyusunan tata ruang dan wilayah Provinsi Riau," katanya.

Para pembakar

Sebelumnya, Jikalahari mendesak Gubernur segera mempublikasikan daftar nama perusahaan yang disegel karena melakukan pembakaran hutan dan lahan yang menyebabkan polusi asap.

"Perusahaan pelaku pembakar hutan dan lahan itu adalah PT Sumatera Riang Lestari 302 titik, PT Sari Hijau Mutiara 108 titik, PT Rimba Rokan Lestari 74 titik, PT RAPP 70 titik, dan PT Bukit Raya Pelalawan membakar lahan sebanyak 63 titik, " kata Made Ali, Koordinator Jikalahari Riau di Pekanbaru, Jumat (18/10).

Menurut Made Ali, perusahaan pelaku pembakaran hutan dan lahan yang harus segera disegel itu adalah bagian dari 10 pelaku karhutla lainnya, yakni PT Triomas FDI 47 titik, PT Perkasa Baru 47 titik, PT Arara Abadi 55 titik, PT Rimba Rokan Perkasa 52 titik, dan PT Satria Perkasa Agung 45 titik.

Selain itu PT Bina Daya Bintara yang membakar hutan dan lahan sebanyak 31 titik, PT Ruas Utama Jaya 25 titk, PT Sekato Pratama Makmur sembilan titik, PT Gandaerah Hendana 26 titik, PT Alam Sari Lestari sembilan titik dan PT Bhumireksa Nusa Sejati tujuh titik.

"Hingga detik ini belum ada satupun nama-nama perusahaan yang diumumkan oleh Gubernur Riau. Hasil analisa hotspot dipadu dengan temuan lapangan. Karhutla terjadi di areal korporasi, baik di gambut maupun di mineral,” kata Made.

Ia menyebutkan, hasil analisis hotspot Jikalahari melalui satelit Terra-Aqua Modis Januari – Oktober 2019 menunjukkan titik panas dengan tingkat keyakinan (confidance) di atas 70 persen sebanyak 4.065 titik dan 1.504 titik titik panas berada di korporasi HTI dan sawit.

Selain melakukan analisis titik panas, Jikalahari melakukan investigasi sepanjang 2019 untuk mendapatkan fakta lapangan bahwa kebakaran terjadi di wilayah korporasi hutan tanaman industri dan korporasi sawit. Perusahaannya adalah PT Sumatera Riang Lestari, PT Rimba Rokan Lestari, PT Satria Perkasa Agung, PT Riau Andalan Pulp & Paper dan PT Surya Dumai Agrindo.

Saat karhutla terjadi, katanya, salah satu tindakan Gubernur Riau pada 20 September 2019 adalah mengeluarkan instruksi melalui surat edaran No. 335/SE/2019 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan atau Lahan kepada seluruh Bupati/Walikota se Provinsi Riau.*