Pekanbaru (Antarariau.com) - Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), meminta DPRD Provinsi Riau agar tidak menyetujui draft Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Riau 2016-2035, yang diajukan oleh Gubernur Riau ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan jika tidak mengakomodir partisipasi masyarakat adat.
"Penolakan itu bisa dilakukan karena DPRD juga berfungsi untuk tidak menyetujui draft Raperda RTRW tersebut juga tertuang dalam Pasal 96-97 UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," kata Wakil Koordinator Jikalahari, Made Ali, di Pekanbaru, Senin.
Menurut dia, penolakan tersebut dibutuhkan apalagi pemberian partisipasi masyarakat adat Riau sudah sejalan dengan kebijakan Presiden Jokowi antara lain memberikan ruang kelola kepada masyarakat berupa perhutanan sosial dan reformasi agraria.
Ia mengatakan, tugas dan fungsi DPRD bisa dilakukan dalam bentuk pembahasan bersama gubernur dan menyetujui atau tidak menyetujui rancangan Perda yang selanjutnya tentu DPRD meminta Gubernur Riau dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk Tim Terpadu.
"Tim terpadu dibutuhkan, sebab untuk mengubah suatu lahan dari kawasan hutan menjadi nonkawasan hutan atau sebaliknya, merujuk UU Kehutanan,"katanya.
Namun demikian mirisnya, katanya, mustahil memberikan ruang kelola kepada masyarakat, jika kawasan hutan dan lahan dan masih dikuasai korporasi HTI dan Sawit.
Ia menjelaskan, bahwa draft RTRWP Riau juga tidak mengacu dengan rencana aksi GNPSDA KPK dan Laporan Panitia Khusus (Pansus) DPRD Bengkalis tentang monitoring dan identifikasi sengketa lhan kehutanan dan perkebunan.
"Pada September 2016, Pansus DPRD Bengkalis merekomendasikan kepada pemerintah mencabut atau sekurang-kurangnya meninjau ulang izin PT Rimba Rokan Lestari, PT Arara Abadi, PT Bukit Batu Hutani Alam, PT Sakato Pratam Makmur (Perusahaan HTI) dan PT Murini Sam-sam dan PT Murini Wood Indah (Perusahaan Sawit) di Bengkalis karena areal perusahaan tumpang tindih dengan lahan dan perkampungan masyarkat desa," katanya.
DPRD Bengkalis, katanya, juga meminta pemerintah mengevaluasi SK 314/MenLHK/2016. Namun di lapangan terlihat jelas, sekitar lima ribu warga dari 19 Desa di Kecamatan Bantan dan Kecamatan Bengkalis menolak kehadiran PT RRL karena ruang hidup masyarakat berupa pemukiman, rumah, perkebunan kelapa, karet, pinang, sagu dan sawit yang menjadi mata pencaharian mereka masuk dalam konsesi PT RRL.
Temuan Jikalahari, ruang hidup masyarakat sudah ada sebelum Indonesia merdeka atau jauh sebelum PT RLL beroperasi pada 1998. Sepanjang proses pembahasan RTRW luasan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Pulp and Paper tidak berubah secara signifikan. Justru kian melegalkan sekitar 1,9 juta hektar luasan HTI di Riau yang masih penuh dengan persoalan tumpang tindih dengan lahan masyarakat tempatan dan tanah milik ulayat masyarakat hukum adat.
"Bahkan luasan hutan produksi yang peruntukannya hanya untuk HTI bertambah menjadi 2,3 juta hektar.
Padahal KPK bersama Gubernur Riau telah menyusun 19 Renaksi Pemda Riau (gubernur dan bupati/walikota)," katanya.
Sementara itu rencana aksi tersebut mengacu pada hasil kajian KPK dengan fokus area yaitu penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, penataan ruang dan wilayah administrasi. Penataan perizinan kehutanan dan perkebunan. Perluasan wilayah kelola masyarakat penyelesaian konflik kawasan hutan. Penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan. Membangun sistem pengendalian anti korupsi, namun 19 Renaksi perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan, tidak pernah dijalankan Gubernur Riau.
"Oleh karena itu Jikalahari perlu mendesak DPRD Riau agar tidak menyetujui Raperda RTRW Riau 2016-2035 tersebut karena tidak berpihak pada masyarakat adat, tempatan dan ekologis," katanya.