Pekanbaru (ANTARA) - Sidang lanjutan gugatan wanprestasi koperasi produsen sawit sukses makmur (Koppsa-M) sebesar Rp140 miliar terhadap dana talangan negara kembali bergulir di Pengadilan Negeri Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau, Sabtu.
Dalam sidang yang berlangsung pada Selasa (25/3/2025) siang kemarin, pihak Koppsa-M menghadirkan dua saksi ahli, masing-masing Surizki Febrianto yang merupakan ahli perdata dari Universitas Islam Riau dan ahli dari Kementerian Koperasi, Ignatius Bona Sakti Gultom.
Menariknya, kedua saksi ahli yang dihadirkan pengacara Koppsa-M tersebut justru kian memperkuat dasar PTPN IV Regional III sebagai perusahaan negara atas gugatan wanprestasi sengkarut kepengurusan Koppsa-M sebesar Rp140 miliar.
"Pertama, tentu kami berterimakasih kepada Koppsa-M dan para kuasa hukumnya yang telah menghadirkan dua saksi ahli ini. Karena justru kian membuat perkara ini semakin terang benderang," kata Wahyu Awaludin, kuasa hukum PTPN IV Regional III di Pekanbaru, Jumat hari ini.
"Bahwa, gugatan ini adalah on the track, demi keadilan dan kepastian hukum atas biaya yang dikeluarkan negara, namun ketidakbecusan dan sengkarut kepengurusan sampai sekarang, membuat koperasi makin tenggelam, dan justru malah seolah jadi korban," tukasnya lagi.
Dalam penjelasannya, ahli perdata Universitas Islam Riau Surizki Febrianto menjelaskan bahwa tidak adanya sanggahan, gugatan, maupun tuntutan sejak awal kebun dibangun, hingga tercapainya perjanjian baru di tahun 2013, menandakan pembangunan kebun telah sesuai dengan ketentuan.
"Poin ini lah yang menurut saya krusial. Perjanjian 2013 itu tentang pengelolaan kebun tetap berada di PTPN V (sebelum menjadi PTPN IV Regional III saat ini). Artinya setelah selesai dibangun kebunnya, pengelola di bawah PTPN. Mereka sendiri yang bersepakat," jelasnya.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, justru perjanjian yang mereka ajukan dan telah disepakati pada tahun 2013, justru dilanggar sepihak. Alhasil, kebun menjadi tidak terkelola sesuai teknis budidaya yang baik dan akibatnya menjadi rusak.
Tidak hanya itu, perjanjian tersebut juga dilanggar dengan adanya praktik gelap jual beli lahan di bawah tangan, sementara dasar surat dan dokumen resmi areal masih berada di bank.
"Dampaknya adalah ketidakmauan membayar dana talangan. Ladahal dalam perjanjian itu semua dibuat dan disepakati, tapi dilanggar sama mereka. Itulah bentuk wanprestasi dan itu bisa dijadikan alasan untuk aduan gugatan wanprestasi oleh kita," tegas Wahyu.
Begitu juga dengan saksi ahli dari Kementerian Koperasi yang menyatakan bahwa adanya rapat anggota luar biasa yang diketahui dan ditandatangani oleh Kepala Dinas Koperasi Kampar merupakan alat bukti yang kuat sebelum perjanjian 2013 itu dilangsungkan.
" KAhli Kementerian Koperasi menyatakan pelaksanaan RALB itu harus ada berita acara RALB yang ditandatangani oleh pengurus. Dan kita sudah ajukan buktinya ke muka pengadilan. Kalau itu sudah ada, berarti pelaksanaan sudah terjadi. Makin jelas menguatkan bukti-bukti kita bahwa mereka telah wanprestasi," tutur pria berkacamata itu.
Sebelumnya, akademisi bidang hukum pertanian Ermanto Fahamsyah juga telah menilai pengambilalihan sepihak dan dilakukan secara paksa terhadap kebun sawit plasma oleh pengurus koperasi merupakan tindakan wanprestasi.
Dosen Universitas Jember yang sedang menempuh pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat untuk mendapatkan gelar profesor tersebut dengan tegas menjelaskan pengusiran paksa yang dilakukan oleh pengurus koperasi KKPA terhadap perusahaan sebagai bapak angkat di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Bangkinang yang dipimpin Hakim Soni Nugraha.
Tidak hanya pengusiran, pengurus koperasi juga diketahui telah melakukan kerjasama dengan pihak ketiga, di luar dari perusahaan sebagai bapak angkat. Akibatnya, kebun KKPA tersebut tidak terkelola dengan baik hingga kondisinya memprihatinkan.
Praktik semena-mena semakin melampaui batas kala peruntukan kebun KKPA yang seharusnya dibangun untuk masyarakat desa, ternyata diperjual belikan secara ilegal di bawah tangan.
"Apabila kebun yang awalnya milik si A, kemudian dilakukan jual beli di bawah tangan, padahal didalam perjanjian dinyatakan dilarang, maka dinyatakan wanprestasi. Dianggap melanggar hukum. Karena program KKPA selama petani masih terikat dengan perusahaan inti dilarang menyerahkan kebun kepada pihak lain," tegasnya lagi.
Duduk Perkara
Koppsa-M kini tengah menghadapi gugatan dari perusahaan perkebunan negara setelah beberapa kali upaya persuasif tidak diindahkan oleh kepengurusan koperasi.
Tidak hanya mengindahkan mediasi dan tindakan persuasif, pengurus koperasi yang mampu menghasilkan Rp3 miliar perbulan juga getol bermanuver dengan membayar pengacara dan framing seolah-olah korban kriminalisasi.
Gugatan itu terpaksa dilayangkan setelah perusahaan mengeluarkan dana talangan sebesar Rp140 miliar, terdiri dari pembiayaan pembangunan kebun, perawatan, hingga menyelesaikan seluruh kewajiban di perbankan.
Melalui langkah hukum ini, diharapkan menjadi upaya untuk menyelamatkan Koppsa-M dari kepengurusan yang tidak transparan, setelah terakhir kali ketua koperasi periode sebelumnya, Anthony Hamzah, tersandung masalah hukum hingga divonis penjara.