RUU Peraturan Harmonisasi Perpajakan untuk Indonesia maju

id Pajak, djp riau, djp, menkeu, sri mulyani

RUU Peraturan Harmonisasi Perpajakan untuk Indonesia maju

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (ANTARA/HO-Kemenkeu)

Pekanbaru (ANTARA) - Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakanmemiiki

enam kelompok pengaturan, yakni Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), pajak karbon, serta cukai.

Selain itu, RUU HPP juga menyangkut tiga hal utama yaitu asas dari perturan perpajakan, tujuan, muatan isi dan pemberlakuan. Tujuannya adalah meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan

ekonomi. Pemulihan ekonomi dan mengembalikan pertumbuhan membutuhkan banyak sekali pemihakan dan resources dan harus di design secara sangat hati-hati dan detail.

"Kita menggunakan semua halinstrumen yang ada di dalam pemerintahan, APBN, perpajakan baik pajak dan bea cukai, PNBP, belanja negara, belanja daerah,” jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangan pers yang diterima ANTARA di Pekanbaru, Jumat (8/10).

“Kita juga ingin UU ini mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem pajak yang berkeadilan dan memberikan kepastian hukum serta melaksanakan

reformasi, administrasi serta kebijakan perpajakan yang makin harmonis dan konsolidatif untuk memperluas

juga basis perpajakan kita di era globalisasi dan teknologi digital yang begitu sangat mendominasi.

Dan terakhir adalah dengan UU HPP, maka kita ingin terus meningkatkan sukarela kepatuhan wajib pajak,” paparnya.

Dalam RUU HPP memuat tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, yaitu pemberlakukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP).

Pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan (SPT), selama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).

Selanjutnya. sinkronisasi dengan UU Cipta Kerja dalam penerapan sanksi administrasi perpajakan, pengaturan asistensi penagihan pajak global, kesetaraan pengenaan sanksi melalui penurunan sanksi terkait permohonan keberatan atau banding wajib pajak. Serta, pengaturan pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP) agar dapat berjalan secara simultan dengan proses keberatan atau banding.

Kemudian, kuasa wajib pajak harus memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali Kuasa Wajib Pajak yang merupakan suami, istri, keluarga sedarah, atau semenda sampai dengan derajat kedua.

Serta, sinergi antar instansi pemerintah untuk melakukan pemberian data dalam rangka penegakan hukum dan kerja sama.

Dalam RUU HPP juga diatur kelompok pajak penghasilan, berupa pemberian dalam bentuk natura yang dapat dibiayakan, penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta pengaturan kembali penyusutan dan amortisasi.

Lalu, pemberlakuan tarif PPh Badan menjadi 22 persen mulai Tahun Pajak 2022, penyempurnaan upaya mencegah penghindaran pajak dengan menerapkan metode yang sesuai dengan international best practice serta penambahan kewenangan Pemerintah Indonesia untuk ikut serta dalam perjanjian multilateral.

Sebelum adanya RUU HPP, tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi diatur menjadi empat lapis yaitu untuk penghasilan sampai Rp50 juta per tahun dikenakan tarif 5 persen dan di atas Rp50 juta sampai Rp250 juta per tahun dikenakan tarif 15 persen Kemudian penghasilan di atas Rp250 juta sampai Rp500 juta per tahun dikenakan tarif 25 persen dan penghasilan di atas Rp500 juta per tahun dikenakan tarif sebesar 30 persen.

Sementara melalui RUU HPP mengatur perubahan lapisan dan tarif penghasilan kena pajak yaitu untuk penghasilan Rp1 sampai Rp60 juta per tahun dikenakan tarif 5 persen, di atas Rp60 juta sampai Rp250 juta per tahun dikenakan tarif 15 persen dan diatas Rp250 juta sampai Rp500 juta dikenakan tarif 25 persen.

Selanjutnya, penghasilan di atas Rp500 juta sampai Rp5 miliar per tahun dikenakan tarif sebesar 30 persen dan penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun dikenakan tarif sebesar 35 persen.

Dalam UU HPP juga mengatur kelompok pajak pertambahan nilai berupa penghapusan barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dari barang dan jasa yang tidak dikenai PPN (negative list) dan memindahkannya menjadi barang dan jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN.

Pemberlakuan kenaikan tarif PPN dari 10 persenmenjadi 11 persen yang mulai berlaku 1 April 2022, kemudian menjadi 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025. Serta, kemudahan dan kesederhanaan PPN dengan tarif final untuk barang atau jasa kena pajak tertentu.

Dalam RUU HPP, diatur juga kebijakan dalam program pengungkapan sukarela yaitu subyek dalam kebijakan I yaitu wajib pajak (WP) obyek pajak (OP) dan badan peserta tax sedangkan kebijakan II WP OP.

Basis aset dalam kebijakan I yaitu aset per 31 Desember 2015 yang belum diungkap saat TA sedang dalam kebijakan II yaitu aset perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020.

Untuk tarif PPh Final, dalam kebijakan I berupa 11 persen, untuk deklarasi, 8 persen, untuk aset Luar Negeri (LN) repatriasi dan aset Dalam Negeri (DN), 6 persen, untuk aset LN repatriasi dan aset DN, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN)/ hilirisasi/ renewable energy sedangkan dalam kebijakan II berupa 18 persen untuk deklarasi, 14 persenuntuk aset LN repatriasi dan aset DN, 12 persen untuk aset LN repatriasi dan aset DN, yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/renewable energy.

Untuk kebijakan dalam pengenaan pajak karbon, tarif pajak karbon ditetapkan Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara dengan implementasi 1 April 2022 untuk badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batu bara.

Sementara itu, terkait dengan perubahan pengaturan cukai, kewenangannya berada pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.